Loethfie Kamiel
Baginda Rasulullah Saw tidak pernah sekalipun merencanakan pertempuran dipadang Badar. Tapi Beliau Saw terpaksa menghadapi resiko besar yang sangat berbahaya itu. Awalnya Beliau Saw hanya berencana menghadang kafilah dagang kafir quraisy untuk mengambil hak harta mereka yang ditinggal di Mekkah. Sebab saat hijrah meninggalkan Makkah, para sahabat Radhiallahu’anhum dilarang membawa harta kekayaan mereka oleh kaum musuh Mekkah.
Sebelum berangkat Baginda Nabi Saw memberi pengumuman bahwa beliau akan pergi menghadang kafilah dagang kaum musuh dan bagi kaum muslimin yang siap saat itu silahkan ikut sedang yang belum siap tidak ikut tidak apa – apa. Dan tercatat 316 sahabat yang siap ikut, sebagian besar yang lain memilih tetap di Madinah karena (pikir mereka) hanya penghadangan kafilah saja. Dan Baginda Nabi Saw juga tidak mempermasalahkan apapun, lalu beliau keluar dengan 316 sahabatnya itu. Karena momennya penghadangan kafilah saja dan tidak jauh dari Madinah, maka para sahabat Radhiallahu’anhum membawa senjata seperlunya saja. Sebagian sahabat Radhiallahu’anhum juga hanya membawa 13 onta dan dua orang saja yang berkuda. Nabi Saw sendiri dengan ontanya. Sisanya infantri, berjalan kaki. Itupun di tengah jalan, beliau memulangkan 3 orang sebab ada keperluan mendadak di Madinah, salah satunya Sahabat Utsman bin Affan Radliallahu’anhu.
Seluruh sahabat besar ( Akaabirussahabah ) dan tokoh - tokoh penting Islam turut dalam pasukan penghadangan kafilah ini. Hanya saja (dan ini yang tidak diperhitungkan tentara Islam), kafilah dagang quraisy melalui spionase mereka, mengetahui keluarnya baginda Nabi Saw beserta segenap pasukan, dan mereka segera mengirim kurir ke Mekkah memberitahu tentang keberadaan pasukan Madinah yang menghadang mereka. Maka kurir inilah provokator peperangan ini. Dengan memberi informasi seolah kafilah dagang mereka telah dirampok besar - besaran oleh pasukan Madinah, pakai acara potong hidung ontanya segala.
Tentu saja seisi kota Mekkah gempar dan mereka segera mempersiapkan 1000 pasukan dengan 600 persenjataan lengkap, 700 unta, dan 300 kuda yang terdiri dari hampir semua suku dan klan di Makkah yang dipimpin oleh Amr bin Hisyam alias Abu Jahal untuk menyerbu Madinah. Pasukan militer besar itu segera berangkat. Di saat yang sama, Abu Sufyan dengan cerdik mengubah rute kafilah (caravan) dagangnya. Ia dan rombongan berhasil lolos setelah berbelok melalui Yanbu menyusuri pesisir Laut Merah
Singkat cerita, tim spionase Nabi Saw mengetahui keluarnya tentara Mekkah dan memberitahu Nabi Saw. Pada 11 Maret 624, pasukan Abu Jahal telah berada kira-kira satu hari perjalanan dari Badar. Beberapa pasukan muslim, termasuk di antaranya Sahabat Ali bin Abi Thalib Radliallahu’anhu, berhasil menangkap dua orang pembawa persediaan air pasukan Abu Jahal di sumur Badar. Dari hasil interogasi, kedua orang itu mengaku sebagai pasukan Abu Jahal, bukan kafilah dagang Abu Sufyan. Pengakuan ini mengejutkan kaum muslimin. Mereka tak menyangka Abu Sufyan berhasil meminta pertolongan dan mengirim bantuan yang jaraknya semakin dekat. Artinya, perang sukar terhindarkan
Setelah melalui berbagai pertimbangan akhirnya tidak ada pilihan bagi Beliau Saw kecuali harus menghadapi tentara kafir yang sedang kalap itu, terlebih kafilah dagang juga bisa meloloskan diri. Sebenarnya saat kafilah itu lolos, pemimpin kafilah mengirim pesan bahwa kafilah telah selamat dan tentara Mekkah baiknya kembali saja, tetapi panglima militer Makkah, Amr bin Hisyam (Abu Jahal) menolak saran itu dan bernafsu untuk bertempur menghabisi Nabi Saw. Sempat terjadi friksi dalam militer Makkah karena beberapa suku menolak melanjutkan perjalanan. Karena kepentingan awal adalah menyelamatkan kafilah, bukan bertempur dengan Nabi Saw tanpa sebab. Apalagi masih banyak famili di pasukan Madinah.
Bani Zuhrah dan Bani Adi menarik diri karena khawatir pengaruh politik Abu Jahal bakal menguat jika mengalahkan kaum muslimin. Sementara Thalib bin Abi Thalib membawa serombongan keluarga Bani Hasyim karena tak sanggup bertempur dengan saudara sendiri tanpa alasan. Tapi Abu Jahal sudah di luar nalar. Ia memaki orang-orang Makkah yang memilih pulang. Termasuk Utbah bin Rabi’ah, “Uthbah pengecut!” maki Abu Jahal. Orang-orang Makkah tak suka disebut pengecut. Dengan seketika, ucapan Abu Jahal membangkitkan lagi semangat perang kaum Mekkah. Abu Jahal dengan segala kesumat dan kesombongannya serta kekuatan sukunya menekan suku - suku lain untuk melanjutkan perjalanan.
“Demi Tuhan! Kita tak akan kembali sampai kita tiba di Badar. Kita akan menginap tiga hari di sana, menyembelih unta-unta, berpesta dengan minum anggur dan gadis akan bermain untuk kita. Orang-orang Arab akan mendengar bahwa kita telah datang dan akan menghormati klan Thalib pada masa yang akan datang,” kata Abu Jahal. Maka mau tak mau mereka berjalan terus menuju pertempuran yang sebenarnya tidak pernah diinginkan itu.
Dari pihak Nabi sendiri saat mendapat informasi bahwa tentara Makkah di bawah komando Abu Jahal menginginkan perang, beliaupun mengumpulkan tokoh - tokoh besar sahabatnya baik dari Mekkah (Muhajirin) dan Madinah (Ansor) untuk berunding apa sebaiknya yang dilakukan. Seluruh orang muhajirin setuju menghadapi tentara kafir itu, meski senjata seadanya. Namun Nabi Saw tidak hendak memaksa orang Ansor, Karena dalam draft piagam Madinah yang disepakati tidak ada keharusan bagi Ansor untuk bertempur di area luar kota Madinah. Dan Nabi ingin tahu pendapat mereka. Ternyata orang Ansor pun bersedia bertempur membela Nabi dalam keadaan apapun. Atas saran seorang sahabat, Nabi menggeser pergerakan kaum muslimin ke sumur mata air terdekat musuh. Beliau juga memerintahkan agar sumur-sumur yang tersisa ditimbuni. Taktik ini brilian. Kaum Quraisy Mekkah terpaksa perang dengan bergerak ke arah yang diinginkan kaum muslimin demi mendapatkan sumber mata air terakhir. Sementara itu, Nabi telah berhasil memosisikan para prajuritnya agar pasukan Mekkah menghadap ke timur dengan sinar matahari langsung ke mata mereka.
Hari yang menentukan akhirnya datang. Tepat 17 Ramadan 2 Hijriah, atau 13 Maret 624, kedua kubu saling bertemu di lembah Badar. Singkat cerita, akhirnya dua pasukan tak seimbang itu bertatap muka. Keadaan sangat tegang, sebab boleh dikata ini adalah perang saudara. Hari itu, 17 Ramadhan 2 H. Hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh siapapun dari kedua belah pihak, khususnya tentara Islam. Tentara yang berangkat tanpa pernah berlatih, tanpa senjata lengkap dan tanpa persiapan apapun. Hanya persiapan iman yang luar biasa saja. Malam sebelum pertempuran berkecamuk, Nabi Saw berdoa dengan sangat mengibanya pada Allah Swt. Bahwa jika pasukan islam ini binasa maka Allah Swt selamanya tak akan disembah lagi di muka bumi ini. Nabi Saw berdoa mengangkat tangan memohon sampai selendangnya terjatuh. Matahari semakin naik, kedua tentara telah saling berhadapan. Nabi Saw turun langsung mengatur tentara ini dengan strategi - strategi baru yang cukup asing sebelumnya. pasukan muslimin disiplin dalam satu komando dan terlatih. Di awal perang, pasukan Nabi menghindari pertarungan jarak dekat dan lebih memilih menyerang menggunakan panah. Pertarungan jarak dekat hanya dimungkinkan jika musuh mendekat. Nabi juga membagi pasukan muslim menjadi tiga kelompok sayap kanan, sayap kiri, dan tengah. Pasukan tengah adalah kaum Muhajirin dan Anshar yang telah berbalik membela Nabi sampai titik darah penghabisan. Salah satu orang yang berada di pasukan tengah terdepan adalah Sahabat Ali bin Abi Thalib Radliyallahu’anhu.
Sebelum perang berkecamuk sempat terjadi duel perang tanding antar dua pasukan. Dan 3 tentara Islam sukses membabat 3 tentara kafir. Setelah itu perang berkecamuk dengan luar biasa. Bulan puasa yang panas itu semakin memantik api pertempuran. Dengan penuh keberanian tentara Islam bertempur dengan menggelora menghadapi serbuan tentara Quraisy Mekkah yang sebenarnya mentalnya sedang down. Dengan adanya bantuan dari langit yang datang, ditambah strategi tempur yang diterapkan Nabi Saw maka mampu memporakporandakan barisan militer quraisy Mekkah. Menjelang sore pertempuran itu berakhir dengan kaburnya sebagian besar tentara quraisy Mekkah sebab ternyata yang banyak terbunuh adalah jendral - jendral mereka. Salah satunya Abu Jahal, Panglima besar mereka yang tewas mengenaskan dengan kepala terpisah dari badannya. Itulah juga yang membuat tentaranya kabur. Sekitar 70 tokoh quraisy yang terbunuh dan 70 lainnya tertangkap oleh pasukan Islam. Pertempuran yang benar - benar luar biasa.
Usai perang, Baginda Nabi Saw tidak langsung balik ke Madinah, tapi berdiam 3 hari di Badar, berjaga - jaga siapa tahu tentara kafir Mekkah kembali lagi. Saat itu jg beliau mengirim kurir untuk mengirimkan kabar gembira ke Madinah perihal kemenangan gilang gemilang tentara Islam di Badar. Suasana segera berubah di Madinah dengan kebahagiaan dan kebanggaan luar biasa. Perasaan begitu berkecamuk khususnya yang tidak ikut, antara gembira, bangga, sekaligus menyesal kenapa saat Nabi Saw mengumumkan penghadangan kok memilih tidak ikut. Terlebih setelah ada kabar langit bahwa 313 orang ini mendapat khususiyah sebagai kelompok terbaik di muka bumi. Terkenal dengan Badriyyin.
Sebaliknya di Mekkah keadaan seolah gempa bumi yg menghancurkan segalanya. Kesedihan tak tergambar, teriakan tangisan pecah di mana – mana, ditambah kebiasaan Arab kuno jika ada kematian, wanita - wanitanya memukul - mukul kepala, merobek - robek baju, menabur - naburkan debu ke wajah seperti orang edan. Perang yang membuat Mekkah bermuram durja dan membuat Madinah semakin cerah bercahaya.
Seketika itu juga nama Nabi Saw dan kaum muslimin tersohor di Jazirah, mereka menjadi buah bibir di manapun, banyak suku kuat yang ciut nyali. Tidak mengira jika muncul kekuatan baru yang meski dengan sedikit pasukan saja mampu memukul mundur militer terkuat dijazirah. Kaum Quraisy Makkah. Baginda Nabi Saw kemudian pulang kembali ke Madinah dengan kebahagiaan yang tidak bisa digambarkan. Begitu pula kaum muslimin, kepercayaan diri semakin menguat. Sementara ke-70 tawanan perang itu diperlakukan dengan manusiawi, tidak diapa - apakan dan boleh bebas dengan tebusan. Atau jika tidak mampu menebus diri dengam nominal yang ditentukan, mereka cukup mengajari 10 anak madinah baca tulis sampai bisa.
Banyak sekali pelajaran - pelajaran kehidupan yang bisa kita petik dari perang Badar ini. Pelajaran langsung dari sang Junjungan Saw kepada ummatnya. Bahwa kualitas jauh lebih penting dari kuantitas. Al-kaif ahammu min al-kam. Bahwa seseorang yg tidak takut akan kematian, mampu mengeksplorasi seluruh kemampuan terbaik dalam dirinya. Bahwa kepercayaan diri tinggi attsiqoh binnafs (high confidence,) mampu mengantar pada kesuksesan tanpa takut akan halangan – halangan. Bahwa kesuksesan, tidak akan datang begitu saja. Harus ada persiapan dan strategi untuk menjemputnya.