Hak Cipta dan Pemalsuan Lukisan

Undang-Undang Hak Cipta tidak membahas masalah “pemalsuan lukisan”, suatu fenomena yang men-dunia, termasuk di Indonesia. Karya-karya pelukis Indonesia terkemuka seperti Raden Saleh, Affandi, S.Soedjojono, Basoeki Abdullah, Hendra Gunawan, Trubus, Dullah, Le Man Fong, Ahmad Sadali, Popo Iskandar, Jeihan, sekedar contoh, banyak dipalsukan orang untuk mendapatkan keuntungan finansial. Dalam undang-undang hak cipta belum ada pasal-pasal yang berkaitan dengan pemalsuan lukisan ini. Deskripsi berikut kiranya dapat memberikan wawasan baru tentang hal ini. Eddy Soetriyono melaporkan “Kasus yang baru dan menghentak masyarakat pencinta seni rupa di Indonesia adalah soal “lukisan kembar” Raden Saleh dalam lelang Christie’s bertajuk Southeast Asian and Modern Indian Painting, Including Contemporary Art, edisi 29 Mei 2005, di Hongkong. Balai lelang ini menawarkan lot 21 berupa lukisan Raden Saleh berjudul deskriptif: A Family promenades along a path with two tigers in wait and the Borobudur in the background, berukuran 112 x 156 cm dan ditandatangani dengan tahun 1849. Lukisan ini “hampir” dengan seluruh bagiannya mirip dengan karya Raden Saleh yang pernah di lelang di Sotheby’s bertajuk Southeast Asian Painting edisi 3 Oktober 1999 di Singapura dengan judul Lying in Wait (Mengintai) dan sudah terbeli dengan harga S$ 2.423.750 (sekitar Rp 14 milyar). Kedua lukisan itu dinyatakan “asli” oleh ahli yang sama.”

Dewan Hak Cipta
Dalam kasus ini, yang memprihatinkan adalah Undang-Undang Hak Cipta tidak dapat melindungi Hak Cipta Raden Saleh, oleh karena usia Raden Saleh di tambah 50 tahun tidak dilindungi Hak Cipta lagi. Hal ini diciptakan oleh Raden Saleh. Dengan kata lain Nama Raden Saleh dalam lukisannya tidak bisa dihapus dan diganti oleh nama orang lain. Artinya pemilik lukisan Raden Saleh (siapa pun dia, lembaga apapun dia) tidak dapat mengklaim bahwa lukisan itu adalah ciptaannya. Pengertian Ciptaan dalam karya seni bersifat “Abadi”. Siapakah pewaris hak cipta karya Raden Saleh? Jika keturunan Raden Saleh sebagai ahli waris pemegang hak cipta tidak peduli dengan pemalsuan lukisan itu, maka negara adalah pemegang hak cipta itu, artinya Negara Republik Indonesia sesungguhnya dapat menyampaikan gugatan kepada pemalsu lukisan Raden Saleh melalui Pengadilan Niaga. Tetapi negara sendiri tampaknya belum menyadari bahwa pembelaan Hak Atas Kekayaan Intelektual senimannya adalah juga bagian dari ketaatan hukum dan pembangun wibawa serta martabat bangsa. Apresiasi “elit bangsa” pada seniman dan karya seni merupakan fakta yang menyedihkan, padahal Raden Saleh adalah seniman pertama yang mempunyai reputasi internasional di bidang seni lukis.
Untuk membantu Pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan pembimbingan serta pembinaan Hak Cipta, dibentuk Dewan Hak Cipta, DHC. Keanggotaan DHC terdiri atas wakil pemerintah, wakil organisasi profesi, dan anggota masyarakat yang memiliki kompetensi di bidang Hak Cipta yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri. Jika demikian maka adalah tanggung jawab DHC untuk pem-binaan dan pemasyarakatan UUHC.
Sampai kini, sejauh pengamatan kita, kerja sama DHC dengan Institusi Pendidikan Seni belum terlaksana. Sehingga boleh dikatakan sosialisasi UUHC kepada siswa dan mahasiswa seni belum terselenggara, sebagai akibatnya pemahaman, pengertian, dan apresiasi siswa dan mahasiswa seni terhadap UUHC sangat memprihatinkan. Jika para guru dan dosen seni memasukkan UUHC sebagai bagian dari proses belajar mengajar mereka, maka di masa depan para lulusannya akan lebih sadar akan hak-haknya, dan dapat mengapresiasi hak-hak orang lain dalam penciptaan karya seni.