Apakah Nabi shalllalahu alaihi wasallam pernah salah? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan singkat "pernah/tidak pernah".
Harus diperjelas dulu maksud dari kata "salah" yang ingin ditanyakan. Apakah salah dalam arti berbuat dosa, maksiyat, ataukah lupa, atau keliru, atau makna lain.
1. Jika yang dimaksud adalah dosa dan maksiyat maka tidak ada satupun nabi dan rasul yang pernah melakukan perbuatan dosa dan maksiyat durhaka kepada Allah. Beliau semua memiliki sifat makshum, dijaga oleh Allah dari melakukan perbuatan maksiyat.
Salah besar jika ada yang menceritakan salah satu nabi pernah melakukan maksiyat, apalagi pernah mengalami kekafiran di masa kecilnya.
2. Jika yang dimaksudkan adalah kekeliruan tak sengaja (السهو) dan berkaitan dengan pekerjaan (فعل) maka bisa saja Nabi keliru. Misalnya beliau pernah keliru saat sholat, baru dua rakaat langsung salam padahal seharusnya empat rakaat. Kekeliruan semacam ini mengandung hikmah syariat agar ummat mengetahui apa yang harus dilakukan pada saat mengalami kekeliruan.
Sedangkan kekeliruan (السهو) dalam perkataan (قول) misalnya hendak mengatakan "zaid berdiri", keliru menyebut "zaid duduk", maka kekeliruan seperti ini mustahil. Tidak mungkin terjadi sebab akan menjadikan syubhat seluruh perkataan nabi.
3. Jika yang dimaksud adalah salah menyampaikan risalah dan wahyu dari Allah maka hal itu sangat mustahil. Misalnya menghalalkan perkara yang diharamkan Allah atau smengharamkan perkara yang dihalalkan Allah.
4. Jika yang dimaksud adalah "kurang tepat dalam berijtihad", ini pembahasan daqiq yang perlu serius memahaminya :
- Ada keputusan dan perbuatan nabi yang langsung berdasarkan risalah wahyu dari Allah. Perbuatan seperti ini pasti benar sebagaimana uraian poin 3.
- Ada keputusan dan perbuatan nabi, yang beliau diberikan hak ijtihad oleh Allah. Dalam ranah ijtihad ini Rasul memilih berdasarkan kebijaksanaan dan atau musyawarah bersama shahabat untuk memutuskan sesuatu.
Apapun keputusan dan perbuatan yang Nabi ambil berdasar ijtihad tentu bukan sebuah kesalahan, sebab di ranah itu beliau mendapat izin untuk berijtihad.
Akan tetapi, pilihan ijtihad nabi belum tentu sesuai dengan apa yang menurut Allah paling tepat. Nah di sinilah muncul pernyataan "Nabi bisa saja khilaf".
"Khilaf" bukan berarti beliau melakukan kesalahan, pelanggaran, dosa, kekeliruan, bukan. Beliau sudah sangat tepat karena menggunakan hak ijtihadnya. Hanya saja hasil ijtihad beliau terkadang berbeda dengan apa yang menurut Allah lebih tepat dipilih.
Contoh, tentang tawanan perang badar. Sayyidina umar berpendapat agar mereka dibunuh sedangkan Sayyidina Abu Bakar menyarankan untuk dibebaskan dengan membayar tebusan harta. Ijtihad Rasulullah shallalhu alaihi wasallam sama dengan pendapat Sayyiduna Abu Bakar. Akhirnya tawanan dibebaskan dengan tebusan.
Tetapi apa yang terjadi? Allah menurunkan wahyu Al Anfal 67 yang menyalahkan pilihan Nabi dan membenarkan pendapat sayyiduna Umar.
Contoh lain, saat Beliau berijtihad dan memutuskan untuk mendahulukan dakwah kepada para pembesar Qurais, mengakhirkan dakwah kepada Ibn Ummi Maktum yang tuna netra. Ijtihad beliau disalahkan oleh Allah melalui surat Abasa.
Apapun keputusan dan perbuatan yang Nabi ambil berdasar ijtihad tentu bukan sebuah kesalahan, sebab di ranah itu beliau mendapat izin dari Allah untuk berijtihad.
Sedangkan Allah yang maha mengetahui dan maha bijaksana tentu lebih tahu pilihan mana yang seharusnya lebih tepat. Dan hanya Allah lah yang berhak menyalahkan pilihan Nabi, bukan kita ummat manusia.
Kaedah ijtihad : Jika benar mendapat dua pahala jika salah tetap mendapat satu pahala.
Bojonegoro, 10 Maret 2021
Najih Ibn Abdil Hameed
----
-