Ulama arif billah pernah mengatakan bahwa salah satu dari sekian banyak penyebab kekacauan, yang sayangnya sulit diatasi, adalah
karena arogansi intelektual yang tidak pada tempatnya. Makin banyak
orang dengan ilmu seadanya, belum mengalami berbagai ujian hidup dan
keruhanian, mendadak dipanggil ustadz, ulama, dan mengeluarkan pendapat
yang diklaim paling sahih.
Di sisi lain ada pula anak-anak muda begitu bersemangat membaca, menggaungkan semangat iqra’ dengan keinginan mengubah dunia, menciptakan peradaban yang agung atas dasar ‘pembacaan’ dan tafsir mereka tentang apa itu peradaban yang agung. Tetapi sepertinya ada yang luput. Banyak yang menyerukan iqra’ tapi tidak dengan menyertakan “bismi rabbikalladzi khalaq,” dengan menyertakan Rabb, Allah Yang Maha Mendidik. Banyak yang membaca seolah merasa mampu menelisik sendiri segala ilmu segala pengetahuan, tanpa menelisik ke dalam “ruh” dari apa yang mereka baca — padahal ‘ruh’ dari ayat ilahiah, baik dalam kitab suci maupun kosmos, hanya bisa dipahami jika orang selalu menyertakan Rabb dalam aktivitas belajarnya dengan segala kerendahan hati dan kesucian jiwa.
Tanpa itu, agama lalu menjadi tumpukan doktrin kering, kaku, keras, mencetak jiwa-jiwa yang mudah marah dan merasa selalu benar sendiri. Pada akhirnya, agama yang
tujuannya membereskan akhlak dan menghancurkan berhala, justru dijadikan berhala, dan bahkan lebih buruk lagi, sebagian orang menjadikan “berhala agama” sebagai justifikasi untuk memberhalakan dirinya sendiri, mengaburkan makna rahmatan lil-alamiin. Ada yang mencoba memonopoli rahmat Allah hanya untuk kelompok sendiri dan menyerang pihak yang tak sepaham. Dan jika terhadap sesama saudara seiman tak bisa menjadi manifestasi rahmat, bagaimana kita akan bisa menjadi rahmatan lil’alamin?
Belajar agama dengan menyertakan Rabb berarti berusaha meleburkan kehendak diri ke dalam kehendak Allah, dan itu berarti tazkiyatun nafs, mensucikan jiwa. Tetapi tak semua orang berani masuk ke dalamnya, karena tazkiyatun nafs selalu mengandung unsur membingungkan, tak nyaman dan menyakitkan. Maka Maulana Rumi pun berkata, “Banyak orang ingin m
sumber : https://www.facebook.com/luthfi.kamiel/posts/10205440945006449
diambil dari: http://farid.zainalfuadi.net/
Di sisi lain ada pula anak-anak muda begitu bersemangat membaca, menggaungkan semangat iqra’ dengan keinginan mengubah dunia, menciptakan peradaban yang agung atas dasar ‘pembacaan’ dan tafsir mereka tentang apa itu peradaban yang agung. Tetapi sepertinya ada yang luput. Banyak yang menyerukan iqra’ tapi tidak dengan menyertakan “bismi rabbikalladzi khalaq,” dengan menyertakan Rabb, Allah Yang Maha Mendidik. Banyak yang membaca seolah merasa mampu menelisik sendiri segala ilmu segala pengetahuan, tanpa menelisik ke dalam “ruh” dari apa yang mereka baca — padahal ‘ruh’ dari ayat ilahiah, baik dalam kitab suci maupun kosmos, hanya bisa dipahami jika orang selalu menyertakan Rabb dalam aktivitas belajarnya dengan segala kerendahan hati dan kesucian jiwa.
Tanpa itu, agama lalu menjadi tumpukan doktrin kering, kaku, keras, mencetak jiwa-jiwa yang mudah marah dan merasa selalu benar sendiri. Pada akhirnya, agama yang
tujuannya membereskan akhlak dan menghancurkan berhala, justru dijadikan berhala, dan bahkan lebih buruk lagi, sebagian orang menjadikan “berhala agama” sebagai justifikasi untuk memberhalakan dirinya sendiri, mengaburkan makna rahmatan lil-alamiin. Ada yang mencoba memonopoli rahmat Allah hanya untuk kelompok sendiri dan menyerang pihak yang tak sepaham. Dan jika terhadap sesama saudara seiman tak bisa menjadi manifestasi rahmat, bagaimana kita akan bisa menjadi rahmatan lil’alamin?
Belajar agama dengan menyertakan Rabb berarti berusaha meleburkan kehendak diri ke dalam kehendak Allah, dan itu berarti tazkiyatun nafs, mensucikan jiwa. Tetapi tak semua orang berani masuk ke dalamnya, karena tazkiyatun nafs selalu mengandung unsur membingungkan, tak nyaman dan menyakitkan. Maka Maulana Rumi pun berkata, “Banyak orang ingin m
sumber : https://www.facebook.com/luthfi.kamiel/posts/10205440945006449
diambil dari: http://farid.zainalfuadi.net/