Reformasi Bidang Hukum

Sesuai Tap MPR No.X/MPR/1998 reformasi di bidang hukum diarahkan untuk menanggulangi krisis dan melaksanakan agenda reformasi di bidang hukum yang sekaligus dimaksudkan untuk menunjang upaya reformasi di bidang ekonomi, politik dan sosial budaya.

Keberhasilan menyelesaikan 68 produk perundang-undangan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu hanya dalam waktu 16 bulan. Setiap bulan ratarata dapat dihasilkan sebanyak 4,2 undang-undang yang jauh melebihi angka produktivitas legislatif selama masa Orde Baru yang hanya tercatat sebanyak 4,07 undang-undang per tahun (0,34 per bulan).

Untuk meningkatkan kinerja aparatur penegak hukum, organisasi kepolisian telah dikembangkan keberadaannya sehingga terpisah dari organisasi Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian, fungsi kepolisian negara dapat lebih terkait ke dalam kerangka sistem penegakan hukum.

Tekad untuk mengadakan reformasi menyeluruh dalam kehidupan nasional, telah berulang kali ditegaskan oleh B.J Habibie bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertinggi negara yang selama ini seakanakan disakralkan haruslah ditelaah kembali untuk disempurnakan sesuai dengan kebutuhan zaman. Penyempurnaan Undang-Undang Dasar dipandang penting untuk menjamin agar pemerintahan di masa-masa yang akan datang semakin mengembangkan sesuai dengan semangat demokrasi dan tuntutan ke arah perwujudan masyarakat madani yang dicita-citakan. Untuk itu pada era pemerintahan B.J. Habibie Ketetapan MPR No 11/1978 mengenai keharusan dilakukannya referendum terlebih dahulu sebelum diberlakukannya amandemen terhadap Undang-undang Dasar dicabut.

Pada tanggal 1 sampai 21 Oktober 1999, diadakan Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999. Tanggal 1 Oktober 1999, 700 anggota DPR/MPR periode 1999-2004 dilantik. Lewat mekanisme voting, Amin Rais dari Partai Amanat Nasional (PAN) terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung dari Partai Golkar terpilih sebagai Ketua DPR. Pada 14 Oktober 1999, Presiden B.J. Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang
Umum MPR. Dalam pemandangan umum fraksi-fraksi atas pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie tanggal 15-16 Oktober 1999, dari sebelas fraksi yang menyampaikan pemandangan umumnya, hanya empat fraksi yang secara tegas menolak, sedangkan enam fraksi lainnya masih belum menentukan putusannya. Kebanyakan fraksi itu memberikan catatan serta pertanyaan balik atas pertanggungjawaban Habibie itu. Pada umumnya masalah yang dipersoalkan adalah masalah Timor-Timur, pemberantasan KKN, masalah ekonomi dan masalah Hak Azasi Manusia.

Setelah mendengar jawaban Presiden Habibie atas pemandangan umum fraksifraksi, MPR dalam sidangnya tanggal 20 Oktober 1999, dini hari akhirnya menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie melalui proses voting. Tepat pukul 00.35 Rabu dini hari, Ketua MPR Amin Rais menutup rapat paripurna dengan mengumumkan hasil rapat bahwa pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak pagi harinya, 20 Oktober 1999, pada pukul 08.30 di rumah kediamannya. Presiden Habibie memperlihatkan sikap kenegarawanannya dengan menyatakan bahwa dia ikhlas menerima keputusan MPR yang menolak laporan pertanggung jawabannya. Pada kesempatan itu, Habibie juga menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan presiden periode berikutnya.

Pada 20 Oktober 1999, Rapat Paripurna ke-13 MPR dengan agenda pemilihan presiden dilaksanakan. Beberapa calon diantaranya adalah Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Yusril Ihza Mahendra. Calon yang disebut terakhir menyatakan pengunduran dirinya beberapa saat menjelang dilaksanakannya voting pemilihan presiden. Lewat dukungan poros tengah (koalisi partai-partai Islam) Abdurrahman Wahid memenangkan pemilihan presiden melalui proses pemungutan suara. Ia mengungguli Megawati yang didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang nota bene adalah pemenang pemilu 1999. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Presiden Habibie yang hanya berlangsung singkat kurang lebih 17 bulan.

Buku sejarah indonesia xii k13