Langkah-langkah Nahdlatul Ulama Sebelum Kemerdekaan


Sesuai dengan Anggaran Dasar 1926 (yang disusun 1929 dan  disahkan oleh pemerintah 1930) NU menetapkan tujuannya adalah untuk mengembangkan Islam berlandaskan ajaran keempat mazhab. Tujuan itu diusahakan dengan: 
  1. Memperkuat persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat mazhab.
  2. Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran ahlusunnah wal jamaah.
  3. Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab.
  4. Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya. 
  5. Membantu pembangunan mesjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin.
  6. Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.(69)
Dengan berdirinya NU maka lapisan terbesar masyarakat Indonesia yang terdapat di pedesaan dibenahi oleh NU untuk mengimbangi kemajuan yang telah dicapai oleh kaum pernbaharuan di kota-kota.  Sejak pembentukannya, Nahdlatul Ulama mampu membatasi penyebaran pikiran-pikiran Islam Moderen ke desa-desa di Jawa, yang sejak akhir tahun 1920-an tercapai suatu status quo ketika kaum Islam moderen memusatkan misinya di lingkungan perkotaan, sedangkan Nahdlatul Ulama cukup puas menarik pengikutnya, terutama mereka yang berasal dari daerah pedesaan.(70) 
NU muncul pada saat penguasa tradisional (pribumi) telah menjadi alat kekuasaan Belanda; sehingga makin rnemperkuat wibawa 
ulama di mata umat Islam. "Dalam waktu bersamaan dengan menurunnya penguasa tradisional di mata publik, suatu kelompok elite baru muncul dengan menonjol yaitu para haji dan kyai," demikian Bernhard Dahm.(7l) 
Salah seorang kyai dan haji yang paling menonjol adalah Hasyim Asyari pendiri NU. Di bawah kepemimpinannya NU diantarkan sampai kepada masa kemerdekaan bangsa Indonesia. Masa hidupnya (1871-1947) merupakan karunia sejarah bagi NU, karena masa itu adalah masa yang penuh pergolakan bagi bangsa Indonesia, yaitu saat mulai memudarnya perlawanan bersenjata, kemunculan berbagai gerakan kebangsaan dengan berbagai aspirasinya, masa penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya dalam masa kemerdekaan. Mungkin jarang ditemui sebuah organisasi secara utuh dipimpin oleh seorang tokoh saja melewati berbagai periode sejarah seperti yang dialami NU di bawah kepemimpinan Hasyim Asyari. 
Segera setelah terbentuk, NU mengirim utusan khususnya kepada Raja Saud dengan permohonan agar diberlakukan kemerdekaan (kebebasan) di Tanah Suci menjalankan salah satu dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Permohonan ini disambut baik oleh Raja Saud.(72) Kalau pun sikap Raja Saud dapat rnengherankan — mengingat hubungannya dengan aliran Wahhabi — rupanya hal itu menyatakan telah terjadi pergeseran nilai di Tanah Suci. Antara 1924 dan 1932 Raja Saud dalarn usahanya membangun Saudi Arabia telah memutuskan hubungan dengan golongan fanatik para pendukungnya dan mulai mengambil langkah-langkah pragmatis.(73) 
Seperti dikatakan di atas bahwa yang paling penting bagi NU adalah kelangsungan mazhab. Hal itu segera ternyata dalam Muktamar pertama yang diadakan di Surabaya pada bulan Oktober 1926. Pertanyaan pertama dalam Muktamar: "Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat Mazhab?" Yang langsung dijawab oleh Muktamar, yang semua pesertanya ulama, bahwa "pada masa sekarang wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu empat mazhab yang tersohor dan mazhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan)."(74) Tanpa menantikan kembalinya utusan Komite Hijaz (K.H Abdulwahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Chanaim yang baru kembali tahun 1928(75) ), NU telah menegaskan kemandiriannya dalam menganut mazhab! Memang Muktamar pertama langsung membahas masalah agama, praktek keagamaan dan etika. Yang menarik dari banyak muktamar NU adalah cara mengambil keputusan yang selalu bersandar pada pendapat (fatwa) ulama-ulama terdahulu dan selalu dihindarkan jawaban-jawaban yang mutlak (kecuali dalam soal agama). Sudah tentu cara ini hanyalah penegasan peranan ulama sebagai orang yang paling mengetahui masalah agama dan sebagai pemimpin keagamaan umat. Sebuah ilustrasi dari muktamar akan menjelaskan fenomen ini. 
Bolehkah menterjemahkan khutbah jum'ah selain rukunnya atau beserta rukunnya? Apabila ia diperbolehkan apakah yang terbaik dengan bahasa Arab saja atau beserta terjemahnya? Apabila yang terbaik beserta terjemahnya apakah faedahnya? Menterjemahkan khutbah jum'ah selain rukunnya itu boleh sebagaimana tersebut dalam kitab-kitab mazhab Syafii, dan Muktarnar memutuskan: Bahwa yang terbaik adalah khutbah dengan bahasa Arab kemudian diterangkan dengan bahasa yang dimengerti oleh hadirin. Adapun faedahnya adalah supaya hadirin mengerti petuah yang ada dalam khutbah. 
Bagaimana hukumnya alat-alat yang dibunyikan dengan tangan? 
Muktamar memutuskan, bahwa segala alat yang dipukul (dibunyikan) dengan tangan seperti rebana dan sebagainya itu hukumnya mubach (boleh selama) alat-alat tersebut tidak dipergunakan untuk menimbulkan kerusakan dan tidak menjadi tanda-tanda orang fasiq...(76) 
Cara yang sama masih terjadi sampai sekarang dalam pengajian-pengajian yang dipimpin oleh ulama. Sepintas lalu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkesan picik dan naif, tetapi itu terjadi kalau kita kurang memahami apa arti hukum agama (syariat) bagi umat Islam. Agama atau keimanan tidak terlepas dari prakteknya yang konkret dalam kehidupan sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya yang dapat diatur oleh hukum. Dengan demikianlah umat Islam menyatakan ketaatannya secara bulat dan menyeluruh. Islam selalu mencoba sekuat tenaga menyesuaikan kehidupannya dengan hukum yang bersumber dari Allah. 
S.H. Nasr merumuskannya dengan indah: 
Syariah adalah hukum Tuhan, dalam pengertian ia adalah pelembagaan kehendakNya, dengan mana manusia harus hidup secara pnbadi dan bermasyarakat. Dalam setiap agama kehendak Tuhan selalu dimanifestasikan dalam satu atau lain cara . . . Tetapi di dalam Islam pelembagaan ini sesuatu yang konkret . . . Syariah berisi perintah agung yang mengatur segala keadaan dalam kehidupan...(77) 
Dalam konteks inilah para ulama (kyai) melakukan peranannya sebagai juru bahasa agama terhadap masyarakat. Kalau ia sering dituduh hanya membahas hal-hal yang sepele (furu'), itu karena ulama tidak dapat melepaskan pengetahuan keagamaannya dari kehidupan umat Islam yang mengharapkan bimbingannya. Di samping menganjurkan sesuatu perbuatan, ulama juga menilai sesuatu perbuatan yang tak dianjurkan tetapi berlangsung terus (seperti menilai ziarah, selamatan, soal jual beli, perkawinan dan sebagainya). Dalam perimbangan mana yang harus (wajib), mana yang dianjurkan (mandub), mana yang terlarang (haram), dan yang kurang baik (makruh) dan mana yang tak dilarang (halal) dan mana yang tak dianjurkan (mubah), para ulama membimbing umat menyesuaikan segala perbuatan dan tindakannya dengan kehendak Tuhan.(78) 
Setelah terbentuk NU setiap tahun mengadakan muktamar yang jumlah ulama peserta selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada Muktamar II (1927) pembahasan bukan lagi masalah mazhab tetapi bergeser pada masalah kemasyarakatan (perkawinan dan pendidikan agama).(79) Menarik untuk dicatat bahwa dalam Muktaar II, NU meminta kepada pemerintah Belanda agar pendidikan agama Islam dimasukkan di dalam kurikulum sekolah-sekolah umum di seluruh Jawa dan Madura karena mayoritas penduduknya beragama Islam, "Bila dinegara mayoritas muslim tidak diajarkan pelajaran agama Islam, menurut pandangan NU, sama artinya dengan berusaha mendangkalkan dan menanggalkan Islam."(80) 
Dalam memutuskan sesuatu hal yang dianggap baru Muktamar NU tidak menerima atau menolak begitu saja, tetapi memutuskan dengan hati-hati atau memutuskan dengan memandang manfaatnya. Bagaimanakah hukumnya mengambil hasil dari barang jaminan (sebidang tanah) yang diambil hasilnya dalam pegadaian? Muktamar II menyodorkan tiga pendapat, yaitu haram, halal dan syubhat (belum jelas haram atau halal). "Adapun Muktamar memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama (haram)."(81) Bagaimana hukumnya mendengarkan siaran radio? Muktamar X menjawab: "Kalau yang didengarkan haram maka haramlah mendengarnya. Kalau makruh, ya makruhlah mendengarnya begitulah seterusnya, begitu pula hukum menyimpannya."(82) Keputusan ini sesuai dengan pendapat Mufti Mesir, Bakhit El Muthi'ie, yang disiarkan dalam majalah El-Hidayatul Islamiyah bulan Agustus 1933.(83) Berarti keputusan Muktamar di samping berlandaskan buku klasik juga menggunakan pendapat lain yang datang dari luar dirinya. 
Besar sekali keuntungan yang diperoleh NU dengan mengadakan muktamar setiap tahun sehingga ia mampu mengikuti perkembangan dan kejadian yang timbul di masyarakat umum. 
Dalam perkembangannya Muhammadiyah organisasi pendidikan dari golongan pembaharuan juga melakukan hal yang sama agar dapat memberikan pedoman bagi umat Islam. Muhammadiyah pada tahun 1927 mernbentuk sebuah badan yang berhak mengeluarkan fatwa, yaitu Majelis Tarjih.(84) Badan ini juga diharapkan menjaga agar tidak terjadi "pelanggaran-pelanggaran terhadap keputusan-keputusannya."(85) Majelis Tarjih banyak membahas tentang masalah non-agama, yang dianggap akan menimbulkan pertikaian di kalangan umat, seperti bunga bank, upacara api unggun, soal pakaian, dan sebagainya.(86) Menurut Deliar Noer — yang memuji peranan Majelis Tarjih ini — dalam memutuskan fatwanya bersifat longgar dan toleran dalam arti "memberikan kelapangan pada praktek yang berbeda dengan pendapatnya."(87) Abdurrahman Wahid yang tergolong pemikir dan tokoh muslim progresif dewasa ini (sekarang Ketua NU), dalam sebuah diskusi panel dengan warga Muhammadiyah pada tahun 1981, memuji potensi organisasi ini karena sesuai dengan wataknya yang egaliter telah mampu menghimpun kaum profesional (dokter, guru, pedagang, pekerja, dan lain-lainnya) bergiat dalam memperjuangan missi Islam dalam masyarakat.(88) Namun ia juga memberikan kritiknya bahwa dalam perkembangan Muhammadiyah peranan ulama makin tergeser ke belakang oleh kaum profesional sehingga agama kemudian hanya menjadi pemberi legitimasi bagi kegiatan kemasyarakatan Muhammadiyah.(89) Menurut hemat saya, kritik Wahid itu secara tidak langsung menegaskan ciri khas NU bahwa yang berhak memberikan fatwa yang berwibawa adalah para ulama orang yang paling mengetahui masalah agama. Peranan ulama memberikan fatwa dalam masalah kemasyarakatan, bukanlah sesuatu tanda kekolotan tetapi sesuai dengan watak Islam itu sendiri yang tidak mengenal pemisahan lingkup agama dan dunia! 
Secara bertahap NU membenahi organisasasinya terutama dalam usaha mengembangkan agama. Sebenarnya kurun waktu lahirnya NU dalam dekade duapuluhan adalah suatu kurun yang sengit. Dekade duapuluhan adalah dekade kemunculan berbagai organisasi, baik yang bersifat sosial maupun politik (yang bercorak suku daerah dan keagamaan). Kaum nasionalis berhasil menghimpun kekuatan dalam Partai Nasional Indonesia (untuk selanjutnya disebut PNI) yang didirikan dan dimotori oleh kaum intelektual muda seperti Soekarno dan Mohammad Hatta).(90) Serikat Islam mulai menegaskan aspirasi nasionalisme yang berdasarkan Islam dengan menyatakan diri sebagai partai, yaitu Partai Serikat Islam Indonesia (1929). Dorongan untak merdeka dari penjajahan membuat kaum nasionalis Islam makin dekat dengan kaum nasionalis netral agama.(91) Tetapi terjadi perbedaan pandangan (bahkan pertentangan) dalam kalangan pembaharu (antara Serikat Islam kontra Muhammadiyah dan Persatuan Islam). Menurut Deliar Noer dalam karyanya yang terbaru Partai Islam di Pentas Nasionalis, perbedaan itu terjadi "disebabkan oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan agama; tetapi pertimbangan yang bersifat pribadi juga menentukan.(92) Sambil lalu ia juga menilai kaum tradisional atau NU ketika itu "belum menjadi penting."(93) 
Walaupun penilaiannya itu dapat diterima secara fakta sejarah karena NU belum terjun ke dalam kancah politik pada awal penampilannya, tetapi belum tentu ketidaksertaannya dalam dekade 1920-an menjadikan NU tidak penting. Sebagai wadah ulama, NU bukanlah organisasi dari sebuah gagasan (ideologi) melainkan organisasi massa dengan basis pesantren. Di atas, kita telah melihat bahwa sebelum abad XX kaum ulama dan santri telah terjun dalam perlawanan bersenjata terhadap Belanda. Abad XX corak perlawanan sudah tentu berbeda, sudah harus mengikuti cara-cara modern. Di sini kaum tradisional atau NU belum siap. Namun demikian dengan caranya sendiri melalui muktamar-muktamarnya NU mempersiapkan diri untuk terjun dalam pergerakan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Ketika kaum nasionalis (PNI) muncul sebagai saingan Islam dan kaum pembaharuan berada dalam pertikaian, maka kemunculan NU di bawah kepemimpinan Hasyim Asyari membuat peranan Islam dalam pergerakan bangsa dapat berlangsung terus. Dhofier, merumuskan dengan tepat, 
.... para pemimpin organisasi-organisasi Islam menghadapi saingan dengan munculnya pemimpin-pemimpin muda yang dengan mengorbarkan panji-panji nasionalisme segera memperoleh dukungan kuat dari rakyat, sehingga mampu menggantikan pemimpin-pemimpin nasionalis Islam seperti Cokroaminoto dan Haji Agus Salim. 
Dalam menghadapi saingan baru ini, kedudukan Kyai Hasyim Asyari dinilai .... sangat penting karena pengaruhnya yang demikian kuat dalam lingkungan kaum Islam tradisional di pedesaan dapat turut menjamin bagi kelangsungan peranan Islam dalam pergerakan kebangsaan secara keseluruhan.(94) 
Langkah penting diayunkan oleh NU pada Muktamar IX (1934 di Banyuwangi. Choriul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama menyatakan Muktamar ini sebagai awal masa perkembangan NU.(95) Ada tiga alasan diajukannya: Pertama, pemisahan sidang Syuriah (Dewan Tertinggi Keagamaan) dari Tanfidziyah (Badan Pelaksana Organisasi); Kedua, tatacara persidangan mulai dibenahi; Ketiga, munculnya tokoh-tokoh muda yang berpandangan luas seperti Mahfuzd Siddiq, Wahid Hasyim, Thohir Bakri, Abdullah Ubaid dan sebagainya.(96) Di sini pula NU melengkapi organisasinya dengan membentuk wadah pemuda yang disebut Ansor Nahdlatul Ulama.(97) Pembagian pengurus atas Syuriah dan Tanfidziyah menurut Mahrus Irsyam sesuai dengan "pola hubungan antara kyai dengan santri" — antara Guru dan Murid.(98) NU membenahi organisasinya menurut pola yang sudah mapan sebelumnya dalam kehidupan di pesantren sehingga kedudukan ulama tetap diakui kendatipun suatu organisasi (termasuk 
NU) tidak luput dari pengaruh zaman modern. Di kemudian hari ketika Indonesla memasuki masa pembangunan secara besar-besaran ulama tetap menuntut posisi utama; ia tidak mau disingkirkan oleh kaum politisi atau intelektual. 
Dekade tiga puluhan adalah dekade mencari identitas pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Ketika golongan nasional yang dimotori oleh PNI membentuk wadah persatuan pergerakan nasional dalam Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan 
Politik Kebangsaan Indonesia (untuk selanjutnya disebut PPPKI) 
pada tahun 1927, dari golongan Islam yaitu SI turut bergabung. 
Tetapi ia tidak lama betah dalam wadah itu. Pada tahun 1930 SI 
ketika itu sudah menjadi Partai Serikat Islam Indonesia — PSII) 
menyatakan diri keluar karena beberapa alasan; SI tidak setuju didirikannya Bank Nasional Indonesia karena "bank ini memungut 
bunga uang, sesuatu hal yang dianggap bertentangan dengan agama 
Islam" dan SI berpendapat bahwa keinginan beberapa anggota 
memperbaiki kedudukan wanita dalam masyarakat (larangan perkawinan anak dan asas monogami) bertentangan dengan "dasar 
PPPKI yang menghormati keyakinan tiap-tiap orang dalam agamanya masing-masing."(99) Sebenarnya alasan yang dikemukakan di atas hanyalah perwujudan hal yang sangat mendasar sebelumnya ketika PPPKI dibentuk, yaitu pertentangan pendapat antara golongan nasional dan Islam (SI) tentang siapakah yang berhak menjadi anggota PPPKI. Golongan nasional berpendapat semua bangsa Indonesia (dan ini memang menjadi bagian dari anggaran dasarnya) sedangkan SI berpendapat (sesuai dengan anggaran dasarnya) semua orang Islam.(100) Semua pihak menderita kerugian dengan keluarnya SI. Golongan nasional kehilangan basis untuk menjangkau lapisan terbesar masyarakat, umat Islam yang tinggal di perkotaan. Sedangkan SI merasa makin "terjepit antara kaum pembaharu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang konservatif dan kehilangan momentum dalam hubungan dengan golongan nasionalis sekuler."(101) Nampaknya kaum pembaharuan yang diwakili oleh SI belum siap menanggapi secara lebih terbuka gagasan-gagasan moderen. Sebenarnya pertentangan pendapat telah menjadi keras dan tajam dalam tahun-tahun terakhir dekade duapuluhan seperti yang ditunjukkan oleh polemik antara Sukarno dan Agus Salim; bagi Salim tanpa nilai Islam, nasionalisme akan melahirkan "berhala" modern.(102) Pertentangan itu mencuat pula dalam dekade tiga pulahan antara Sukarno dan Mohammad Natsir (juru bicara kalangan pembaharuan yang sangat tajam pandangannya). Kalangan nasional ingin melaksanakan nasionalisme sebagai tumpuan perjuangan sedangkan kalangan pembaharuan ingin menempatkan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, bagi kalangan nasional persatuan tidak akan tercapai kalau agama ditonjolkan sedangkan bagi golongan Islam (kalangan pembaharuan) persatuan tanpa Islam sesuatu yang tidak mempunyai nilai sama sekali. 
Selama kaum pembaharuan sibuk berpolemik dengan kaum nasionalis, kaum tradisi atau NU lebih banyak menoleh kedalam. NU sadar, pesantren dengan sistem hubungan kyai dan santri saja (dengan lebih banyak menekankan pengajian dan penghapalan buku-buku mazhab) sudah tidak memadai untuk membentuk kader baru. Atas Jasa dan prakarsa tokoh muda Wahid Hasyim, NU mulai membuka sekolah kejuruan, dan tahun 1938 telah memiliki pedoman pendidikan yang baru.(l03) Sementara itu NU mulai dipimpin oleh tokoh muda, Mahfudz Siddiq, yang menjadi Ketua Umum Tanfidziyah (1937-1942). Di bawah pimpinannya NU memperoleh banyak kemajuan dalam lapangan sosial, ekonomi pertanian, dan organisasi.(104) 
Walaupun NU bukan organisasi politik tetapi ia tanggap terhadap perkembangan yang terjadi. Tantangan makin mendekatkan sesama organisasi Islam, berbagai peraturan yang dirasakan merugikan umat Islam (ordonansi perkawinan, hukum waris, milisi, dan sebagainya), membuat NU menggalang kekuatan bersama dengan organisasi Islam lainnya (SI, Muhammadiyah, dan sebagainya) dengan membentuk Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang diharapkan menjadi wadah perjuangan umat Islam. Semboyan MIAI adalah sebuah ayat Qur'an yang mengajak umat Islam bersatu: "Berpegang tegublah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah." (Sura 3: 103)(105) Pemrakarsa terbentuknya MIAI adalah Abdul Wahab Hasbullah dan setelah terbentuk diketuai oleh Wahid Hasyim.(106) Tampaknya sedikit banyak wibawa ulama diakui oleh kaum pembaharuan. Sementara itu kekuatan politik yang koperatif dan non-koperatif, baik dari 
kalangan nasional maupun Islam, berhasil rujuk kembali dalam wadah Gabungan Aksi Politik Indonesia (untuk selanjutnya disingkat GAPI) pada tahun 1939. Adapun maksud dan tujuan MIAI, antara 
lain: 
  1. Menggabungkan segala perhimpunan umat Islam untuk bekerja sama.
  2. Berusaha untuk menyelesaikan apabila timbul pertikaian di antara umat Islam.
  3. Mempererat hubungan dengan umat Islam di luar negeri. 
  4. Berusaha memajukan agama Islam dan
  5. Membangun Kongres Muslimin Indonesia.(107)
Bergabungnya NU dengan golongan Islam lain merupakan langkah baru; ternyata bahwa golongan tradisional mampu bekerja sama dengan golongan lain sepanjang masalahnya dilihat bersangkut paut dengan kehidupan langsung agama Islam! Mungkin Juga NU mulai merasakan bahwa ia membutuhkan tenaga intelektual. "Perjuangan politik tidak bisa hanya bermodalkan jumlah massa yang banyak saja. Ia membutuhkan taktik strategi yang direncanakan secara baik. Dengan begitu maka kelahiran MIAI adalah merupakan tangga bagi NU ke dalam dunia politik..."(108) Dengan berdirinya MIAI kita melihat bahwa organisasi Islam dapat bersatu dalam masalah sosial tetapi berpisah atau bertentangan dalam masalah politik!  Sebagai organisasi keagamaan NU juga tanggap terhadap masalah politik. Ketika Perang Dunia II makin membara Belanda memerlukan dukungan jajahannya menghadapi Jepang yang dicap sebagai kekuatan Fasis. Kalangan pergerakan di dalam GAPI berdasarkan keprihatinan terhadap nasib bangsa Indonesia sempat menyambut seruan Belanda untuk bersama menghadapi Jepang. Tetapi NU mengambil sikap lain, bahwa bangsa Indonesia yang dijajah Belanda tidak terikat membela pemerintah Hindia Belanda. 
Menurut Nahdlatul Ulama, bangsa Indonesia yang sebagian terbesar adalah muslimin, selama masih menjadi bangsa jajahan tidaklah terikat oleh kewajiban-kewajiban perang yang menjadi tanggung jawab penjajah (Hindia Belanda). Bagi Nahdlatul Ulama, masalah mati adalah paling serius, dan mati untuk kepentingan penjajah adalah mati yang sia-sia.(109) 
Perbedaan sikap di antara kalangan nasionalis (GAPI) dan kalangan agama (MIAI) tentang sikap terhadap perang Pasifik berlanjut sampai Jepang menguasai Nusantara, padahal menjelang akhir kekuasaan Belanda kalangan nasionalis dan agama telah berhasil menggalang kekuatan dalam wadah yang disebut Kongres Rakyat Indonesia (disingkat Korindo). Perbedaan sikap yang kemudian menimbulkan krisis dalam Korindo tak sampai terselesaikan karena Jepang keburu masuk sehingga situasi pun berubah.(110) Kalangan nasionalis yang memperihatinkan nasib bangsa Indonesia bersedia berunding dengan Belanda, tetapi sebalilnya sikap kalangan agama terhadap Belanda makin keras.(111) 
MIAI merupakan langkah nyata keterlibatan NU dalam perjuangan bangsa Indonesia tanpa perlu mengubah karakternya sebagai organisasi keagamaan. Posisi NU cukup kuat di dalamnya, bukan saja karena kemudian wakilnya Wahid Hasyim menjadi ketua, tetapi juga karena atas desakan NU kongres MIAI yang pertama (1938) tidak menjadi lanjutan Kongres Islam yang sebelumnya yang menyebabkan golongan tradisional pernah bentrok dengan golongan pembaharuan. Kongres MIAI yang pertama dianggap sebagai permulaan yang baru, menjadi Kongres Al-Islam Indonesia Pertama,(112) NU menyadari sepenuhnya rnanfaat persatuan dalam perjuangan, seperti yang dinyatakan oleh seruan Hasyim Asyari kepada pesantren. 
Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka. Kadang-kadang suatu kebathilan mencapai kemenangan disebabkan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknva kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai berai dan saling bersengketa.(113) 
Tampilnya MIAI yang dimotori oleh dua organisasi non-politik — NU dan Muhammadiyah — telah memberikan warna baru bagi kiprah umat Islam dalam arus pergerakan bangsa. Pada saat SI — kalau boleh disebut 'wakil' Islam dalam bidang politik — makin mundur dan terjepit di antara golongan nasionalis dalam GAPI umat Islam dapat memperkuat barisannya dalam pergerakan bangsa menuju kemerdekaan. Kemerdekaan bukan saja aspirasi partai 
politik Islam dengan segelintir politisinya dan bukan pula hanya aspirasi golongan nasionalis, tetapi menjadi aspirasi seluruh umat Islam, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Organisasi keagamaan mampu mengikuti perjuangan bangsa dan mampu menjalankan peranan yang kritis; dengan memberi dukungan kepada sesuatu aspirasi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan atau memberikan kritik terhadap sesuatu perkembangan yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan! 
Harry Benda memberikan kepada kita catatan menarik bahwa terjadinya polarisasi sikap di antara golongan nasionalis (yang disebutnya golongan sekuler) dengan golongan agama karena secara ideologis paham nasionalisme terikat kepada Barat sedangkan pemimpin Islam tidak terikat.(114) Itulah sebabnya menjelang akhir kekuasaan Belanda peranan Islam makin besar, seperti yang dicatat oleh Benda; 
Pada tahun-tahun terakhir Belanda, Islam Indonesia dengan demikian memainkan peranan yang semakin penting dalam kehidupan politik 
tanah jajahan tersebut, sebuah peranan yang serentak menggaris bawahi persamaan dan perbedaan antara pemimpin Islam dan para pemimpin non-religius.(115) 
Mungkin dapat ditambahkan pula, bahwa menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda bangsa Indonesia telah berhasil menggalang persatuan karena mempunyai tujuan yang sama (kemerdekaan), tetapi berbeda dalam strategi mencapai tujuannya. Dan tujuan itu pula yang merujukkan golongan tradisional (NU) dan golongan pembaharuan (Muhammadiyah)! 
Setelah Perang Pasifik meletus dan Jepang dengan cepat menguasai Nusantara yang dianggap mempunyai potensi besar mendukung ambisi Jepang untuk menguasai selurah Asia. Sama dengan pendahulunya (Belanda), Jepang melihat Islam adalah faktor penting untuk keberhasilan politik penjajahannya. Ia telah siap untuk memasuki bumi Nusantara "dengan suatu rencana kebijaksanaan yang ditujukan untuk memenangkan dukungan Islam. Kebijaksanaan ini — sebagian merupakan kebalikan terang-terangan dari tujuan Belanda — terutama ditujukan kepada masalah-masalah Islam di tingkat rakyat pedesaan (grassroots).''(216) Belanda dan Jepang berbeda dalam tujuan politik Islam mereka; kalau Belanda bertujuan menguasai jajahannya maka Jepang bertujuan memperalat Islam untuk mengembangkan kekuasaannya. Terlepas dari tujuan politik Islamnya di bawah kekuasaan Jepang, Islam memperkuat diri. Tampaknya golongan agama lebih leluasa bergerak ketimbang saingannya golongan nasionalis. Tentang hikmah yang dipetik oleh Islam karena politik Islam Jepang itu, Deliar Noer menguraikannya dengan Jelas, 
Berbeda dari pemerintah Belanda, memang pihak Jepang sangat banyak menaruh perhatian kepada gerakan dan perkembangan umat Islam. Tampaknya mereka, mendorong dan memberi prioritas kepada kalangan Islam dalam mendirikan organisasi mereka sendiri, sedangkan organisasi kalangan nasionalis yang netral agama tidak digalakkan.Untuk pertama kali dalam sejarah moderen, pemerintah di Indonesia secara resrni memberi tempat yang penting kepada kalangan Islam. 
Sikap pihak Jepang itu tidak dengan sendirinya berarti melaga golongan nasionalis dengan golongan Islam dengan maksud menguasai keduanya, sungguhpun kemungkinan politik pecah belah ini terdapat. Yang ielas ialah pemerintah Jepang kemudian secara berangsur mengakui organisasi-organisasi Islam sedangkan tetap tidak membolehkan organisasi nasionalis dari masa sebelum perang didirikannya kembali. Organisasi Taman Siswa pun yang beroperasi dalam bidang pendidikan mendapat pembatasan dalam bergerak. Banyak sekolah menengahnya ditutup. Pada tanggal 10 September 1943 pemerintah Jepang mengesahkan berdirinya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama....(117) 
Bagaimana posisi NU pada zaman Jepang? Untuk sementara umat Islam melupakan pertikaiannya dan berusaha sedapat mungkin memperkuat posisi. Deliar Noer menggarisbawahi keunggulan Muhammadiyah (golongan pembaharuan non-politik) dengan duduknya K.H. Mas Mansur sebagai salah seorang anggota Empat Serangkai (tiga lainnya adalah Soekarno, Hatta dan Ki Hajar Dewantara).(118) Sedangkan Benda mencatat keunggulan SI dengan naiknya Abikusno Tjokrosujoso yang dianggap "sebagai tokoh Islam Indonesia di Jawa yang disponsori Jepang" menjadi ketua Persiapan Persatuan Umat Islam sebuah lembaga bentukan Jepang untuk menghimpun kekuatan Islam.(119) Penilaian Noer dan Benda saya rasa terlalu terburu-buru karena telah mengabaikan NU. 
Kurang lebih setahun setelah Jepang menduduki Nusantara Jepang membentuk Kantor Urusan Agama (bahasa Jepang Shumubu) dan lembaga yang sangat strategis ini pada tahun 1944 dipegang oleh Hasyim Asyari sebagai pimpinan resmi tetapi secara praktis fungsi pimpinan dijalankan oleh anaknya Wahid Hasyim yang dijuluki oleh Dhofier sebagai "Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern."(120) Wahid Hasyim (1914-1953) adalah seorang tokoh muda yang sangat cerdas yang telah banyak berjasa bagi perkembangan NU. Ketika Hasyim Asyari ditangkap oleh Jepang dengan tuduhan terlibat kerusuhan di Jombang, dia melakukan pendekatan kepada Jepang sehingga beberapa bulan kemudian Hasyim Asyari dapat dibebaskan.(121) Tampaknya dalam zaman Jepang sikapnya lebih fleksibel ketimbang ayahnya Hasyim Asyari. Wahid Hasyim pula yang dipercayai memimpin Majelis Syuro Muslimin Indonesia (yang disingkat Masyumi) sebuah lembaga perhimpunan golongan Islam yang dibentuk oleh Jepang sebagai pengganti MIAI.(122) Setelah Indonesia merdeka ada tiga peran yang menyatakan kapasitasnya sebagai tokoh nasional, salah seorang penandatangan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), menteri agama yang pertama setelah pengakuan kedaulatan, dan pendiri NU sebagai partai politik.(123) "Ketiga peran yang dimainkan oleh K.H.A. Wahid Hasyim tersebut," demikian Dhofier, "memberikan kumandang yang cukup kuat hingga sekarang, dan mungkin sampai beberapa puluh tahun yang akan datang."(124) Di bawah Wahid Hasyim, NU mulai menapak zaman baru, yaitu zaman perjuangan politik bersama golongan pergerakan lainnya agar NU seperti yang dikatakannya sendiri "senantiasa dapat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan, asal di dalam dasarnya tidak bertentangan dengan pokok-pokok Islam."(125)
Adalah tidak lengkap gambaran perjuangan NU tanpa menyinggung sikap keras yang pernah diambilnya. Ketika Jepang mewajibkan setiap orang harus menghormati kaisar Jepang dengan membungkuk ke timur (bahasa Jepang : seikerei), Nu menolak dengan tegas. Seorang ulama, K.H. Zaenal Musthafa dari Singaparna (Jawa Barat) mengangkat senjata. Walaupun kemudian dapat dipadamkan, tetapi jelas NU pernah melakukan perlawanan bersenjata terhadap Jepang. Sebab perintah Jepang itu bagi NU sama dengan perbuatan syirik (mempersekutukan Tuhan).(126)
Beberapa bulan setelah bangsa Indonesia memproklamasikan  kemerdekaannya (17 Agustus 1945), NU menutup periode sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah) dengan gemilang; NU mengeluarkan resolusi Jihad(127) (Resolusi Perjuangan) pada tanggal 22 Oktober 1945 (tiga minggu sebelum pertempuran 10 November di Surabaya yang kemudian hari tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Pahlawan) yang mengajak umat Islam menentang aksi pendudukan Tentara Sekutu.(128) Resolusi itu berbunyi: 
  1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan. 
  2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.
  3. Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang kemudian dengan membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. 
  4. Ummat Islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. 
  5. Kewajiban tersebut adalah suatu jihat yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (Fardlu Ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak di mana umat Islam diperkenankan sembahyang jama' dan qasar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.(129) 
Kita melihat betapa NU sangat prihatin terhadap negara Indonesia yang ditegaskannya harus dibela sebagai kewajiban sebagaimana kewajiban menjalankan tugas keagamaan.(130) Ia menyadari sepenuhnya bahwa pemerintahan Republik Indonesia adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia termasuk NU! Di dalam semangat keagamaan NU ikut membela kemerdekaan sehingga umat Islam tidak terasing secara keagamaan dengan semangat perjuangan bangsa! 

http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku10/002c.htm