Latar belakang & proses pendudukan Jepang di RI

Masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan periode yang penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada masa ini telah terjadi berbagai perubahan yang mendasar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan yang terjadi itu merupakan dampak dari pendudukan Jepang yang sangat menekan dan sangat memeras.
Masa pendudukan Jepang di Indonesia selama tiga setengah tahun tersebut sering dipandang sebagai masa yang singkat tetapi akibat yang diterima oleh masyarakat sebanding dengan masa penjajahan Belanda sebelumnya dengan jangka waktu yang lebih lama.
Kesan seperti itu wajar sekali, terutama karena didasari dari sudut pandang yang merugikan saja. Selain segi-segi merugikan yang menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat akibat pendudukan Jepang, segi-segi yang menguntungkanpun ada dan dirasakan pula oleh bangsa Indonesia menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan, terutama yang menyangkut perkembangan gerakan nasionalisme Indonesia.
Terdapat pula hal-hal yang menguntungkan bangsa Indonesia, sehingga pemahaman dan penyebaran tentang konsep kebangsaan menjadi lebih luas jangkauannya. Pendudukan Jepang ini dapat disebut sebagai garis pemisah dalam sejarah Indonesia modern, yaitu sebuah garis yang memecahkan hubungan sosial tradisional pada tingkat lokal serta menyiapkan kondisi bagi terciptanya latar belakang revolusi nasional dan sosial tahun 1945-1949 (Aiko Kurasawa, 1988).
Namun demikian, masa ini sebenarnya dapat dipandang sebagai sebuah masa transisi dari periode penjajahan kolonial Belanda dengan masa kemerdekaan (Frederik, 1989). Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun tersebut merupakan satu periode yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia (Ricklefs, 1981).
Meskipun masa pendudukan Jepang merupakan suatu pengalaman berat dan pahit bagi kebanyakan orang Indonesia, akan tetapi ini merupakan suatu masa peralihan, di mana dalam beberapa hal gerakan nasionalis mendapat kemajuan (Frederick, 1986).
Penduduk Jepang di Indonesia merupakan bagian dari rangkaian politik imperialismenya di Asia Tenggara. Kedatangannya di Indonesia merupakan bagian dalam usahanya untuk membangun suatu imperium di Asia (Marwati Djonet, 1984).
Munculnya imperialisme Jepang ini didorong oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang penting ialah keberhasilan Restorasi Meiji di Jepang yang berdampak pada proses modernisasi di berbagai bidang kehidupan. Modernisasi tersebut berimplikasi pada persoalan-persoalan yang sangat kompleks seperti kepadatan penduduk, lapangan pekerjaan, bahan mentah, dan daerah pemasaran hasil produksinya.
Persoalan kepadatan penduduk dan upaya peningkatan produksi pertanian pangan, pada tahun-tahun awal dari pemerintah Meiji juga menunjukan suatu pertumbuhan yang terus-menerus dalam produksi pangan. Dengan penduduk yang tumbuh cepat dan mengalami lonjakan dari 33,1 juta pada tahun 1872 menjadi 41 juta pada tahun 1892, dan menjadi 52,1 juta pada tahun 1912.
Maka meningkatnya produksi pangan sangat diperlukan untuk melindungi Jepang dari beras dengan kelaparan yang begitu umum pada negara-negara yang terlambat perkembangannya. Fenomena ini pada hakekatnya merupakan suatu pengukuhan pada tahap perkembangan ekonomi modern (Peter Duus, 1976).
Bahkan sebagai akibat dari kemajuan industri yang pesat di Jepang, ditempuhlah strategi ekspansi untuk mencari bahan mentah dan daerah pemasaran baru, yang dalam prakteknya juga sebagai sumber bahan pangan. Dalam buku yang berjudul The Rise of Modern Japan, lebih lanjut Peter Duus (1976) menyatakan : bahwa di lain pihak Jepang juga tertarik dalam bidang eksploitasi sumber ekonomi padi dari daerah-daerah yang baru saja dikuasainya untuk mendukung peperangan, bersama-sama dengan minyak, timah, karet, dan barang-barang krusial lainnya.
Selain didorong oleh faktor ekonomi seperti diatas, imperialisme Jepang didorong pula oleh filsafat Hakko Ichiu, yaitu ajaran tentang kesatuan keluarga umat manusia. Jepang sebagai negara yang telah maju, mempunyai kewajiban untuk ''mempersatukan bangsa-bangsa di dunia dan memajukannya'' (Moedjanto, 1992).
Ajaran tersebut merupakan dorongan psikologis sekaligus sebagai legitimasi moral politik atas tindakan ekspansionisme Jepang ke wilayah-wilayah lain. Ajaran Hakko Ichiu bagi Jepang bahkan merupakan motivasi ''ideologis'' (Nugroho Notosusanto, 1979). Itulah sebabnya Jepang dalam imperialisme itu melakukan langkah-langkah kongkrit suatu upaya ''pembentukan lingkungan kemakmuran bersama'' di kawasan Asia Timur Raya.
Setelah dicapai tahap pembentukan lingkungan di kawasan Asia Tenggara dengan Jepang, Cina dan Manchukuo sebagai tulang punggungnya, kemudian Jepang menempuh langkah politik global yang dikombinasi dengan kekuatan militer yang mencakup negara-negara yang berjauhan seperti Srilangka, Selandia Baru, seluruh Oceania (termasuk Hawai) dan negara-negara kecil di Amerika Tengah.
Menguatnya ambisi militerisme Jepang di samping itu didorong juga oleh konstalasi politik di Jepang sendiri, yaitu adanya kerjasama antara kaum kapitalis (Zeibatsu) dengan kaum militer (Gunbatsu). Kerjasama itu terjadi dan semakin kuat ketika pertimbangan minyak dianggap sebagai faktor penting dalam kerangka invasinya di Indonesia ( Koen, 1962 ).
Dalam kerangka politik makro, imperialisme Jepang memiliki hubungan erat dengan ''dokumen Tanaka'', yaitu dokumen tentang rencana ekspansionisme Jepang. Dengan demikian, invasi Jepang ke Indonesia merupakan bagian dari kerangka politik ekspansionisme Jepang di Asia Tenggara.
Cita-cita Jepang untuk membangun Kawasan Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya di bawah naungannya, dicoba direalisasikan dengan mencetuskan Perang Asia Timur Raya yang picunya dimulai dengan penyerangan mendadak atas pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour pada hari Minggu tanggal 7 Desember 1941.
Dalam perhitungan Jepang, serbuan atas kekuatan Amerika Serikat di Pearl Harbour adalah untuk menghancurkan (paling tidak sebagian) kekuatan Amerika Serikat. Sebab dalam perhitungannya kalau tidak dilakukan dengan cara diserang lebih dulu, kekuatan Amerika Serikat yang utuh sewaktu-waktu akan menyerang Jepang.
Karena bagaimanapun Amerika Serikat pasti akan ikut campur dalam peperangan yang terjadi. Sejak serbuannya ke Pearl Harbour tanggal 8 Desember 1941 itu gerakan invasi militer Jepang dengan cepat merambah ke kawasan Asia Tenggara. Asia Tenggara memang wilayah yang dalam perhitungan Jepang harus diduduki lebih dahulu.
Asia Tenggara merupakan daerah yang cukup kaya, sehingga dapat dijadikan benteng logistik untuk mengamankan kekuasaan Jepang. Dengan cara ini Jepang merasa tidak akan tergantung dalam hal apapun kepada pihak lain, khususnya dari Eropa-Amerika.
Philipina pada bulan Januari 1942 diduduki dan segera disusul dengan pendudukan Singapura pada bulan Februari 1942, dan selanjutnya giliran Indonesia pada bulan Maret 1942. Tentang pendaratan Jepang di wilayah Indonesia secara berturut-turut dapat dilihat pada peta.
Kekuatan invasi Jepang di Jawa menunjukan jumlah yang lebih besar dari pada jumlah kekuatan pihak Sekutu. Pertempuran-pertempuran di Jawa berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang dalam waktu yang sangat singkat. Serbuan-serbuan yang dilakukan oleh Jepang di beberapa tempat di Jawa sejak 1 Maret 1942 tidak dapat dibendung oleh pasukan Belanda yang memang sudah tidak punya kekuatan itu, sampai akhirnya memaksa Belanda untuk segera menyerah.
Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, di Kalijati tentara dan pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu berakhir pulalah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, dan dengan resmi ditegakkan kekuatan Kemaharajaan Jepang di Indonesia. Jepang tidak hanya ingin mengenyahkan kekuasaan politik bangsa Barat di kawasan Asia Pasifik, melainkan sebagaimana yang dicita-citakannya juga ingin menjadi ''Tuan Besar'' di Asia Pasifik.
Invasi militer atau perang yang dikorbankan oleh Jepang tersebut bagi bangsa Asia Tenggara-khususnya Indonesia-dirasakan sebagai suatu malapetaka baru atau paling tidak dirasakan sebagai suatau penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia, yang peran tersebut selama ini telah dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Rakyat tidak hanya mengalami penderitaan lahiriah karena kekurangan pangan dan sandang yang kemudian mengakibatkan kelaparan dan kematian, tetapi juga penderitaan yang sifatnya rohaniah (moral). Penjajah Jepang telah menyebabkan terobek-robeknya nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula dengan sistem sosial, atau institusi sosial yang ada telah dirusak.
Martabat wanita yang telah dijunjung tinggi telah menjadi korban langsung kebiadaban tentara-tentara Jepang. Banyak anak gadis yang dengan paksa diambil dari keluarganya dengan bujukan akan disekolahkan ke Jepang, tetapi sebenarnya dibelokkan ke bordil-bordil ataupun ke medan perang untuk dijadikan umpan nafsu kebinatangan tentara-tentara Jepang.
Sebagian dari mereka tidak dapat menahan hati dan memilih mati karena malu pulang ke kampung halaman. Perlakuan tentara Jepang terhadap kaum wanita yang dituduh bersalah karena dianggapnya ikut terlibat dalam gerakan bawah tanah lebih tidak manusiawi.
Seseorang itu dimasukkan ke dalam tong yang berisi air lalu ditutup, di atas tong itu duduk para pemeriksanya, sehingga tertuduh hampir mati tenggelam, sesudah itu ditelanjangi dan diikat, kemudian diperkosa oleh algojo-algojo itu. Wanita itu dikurung enam bulan lamanya.
Kebijaksanaan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas : pertama, menghapuskan pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan kedua, memobilisasikan rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya.
Seperti halnya Belanda, Jepang bermaksud menguasai Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri. Untuk itu, suatu kampanye propaganda yang insentif dimulai untuk menyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka dan bangsa Jepang adalah saudara seperjuangan dalam perang yang luhur melawan Barat.
Namun upaya propaganda ini sering mengalami kegagalan dengan adanya kenyataan-kenyataan akibat pendudukan Jepang itu sendiri seperti kekacauan ekonomi, teror polisi militer (Kenpeitai), pemerkosaan, serta kewajiban memberi hormat kepada setiap orang Jepang.
Kesemua tindakan dan perlakuan tersebut telah menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia yang hampir-hampir tak tertahankan lagi. Politik imperialisme Jepang di Indonesia terlihat berorientasi pada eksploitasi sumber alam, serta mengupayakan mobilisasi tenaga kerja untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Berdasarkan orientasi itulah, Jepang secara ekstensif melakukan eksploitasi ekonomi, penetrasi politik, dan tekanan kultural pada masyarakat Indonesia hingga tingkat pedesaan.
Dalam lapangan politik, pemerintah Jepang mengadakan campur tangan yang sangat dalam pada struktur pemerintahan hingga tingkat pedesaan. Tatanan politik di pedesaan mengalami keguncangan yang serius. Terjadi depolitisasi atas lembaga-lembaga politik  tradisional di pedesaan Jawa.
Lembaga-lembaga politik tradisional bukan lagi diarahkan untuk kepentingan politik, melainkan demi kepentingan ekonomi, sosial budaya maupun mentalitas masyarakat pedesaan. Politik Jepang untuk mengatur ekonomi masyarakat terwujud dalam politik penyerahan padi secara paksa yang berakibat pada kemiskinan endemis, menurutnya derajat kesehatan, meningkatnya angka kematian serta berbagai penderitaan fisik masyarakat pedesaan.
Sedangkan untuk mendukung kemenangan perangnya, Jepang telah memobilisasi massa di pedesaan ke dalam pengerahan tenaga kerja (romusa), perekrutan pemuda dan masyarakat desa dalam latihan-latihan kemiliteran. Perubahan-perubahan sosial itu telah menandai bentuk pendudukan Jepang yang berorientasi ekonomi dengan kebijakan yang sangat menekan dan memeras rakyat.
Dengan demikian yang terjadi bukan saja perubahan struktural, melainkan pada aspek-aspek kultural masyarakat di pedesaan Jawa pada waktu itu. Pada umumnya Jawa dianggap sebagai daerah yang secara politis paling maju, namun secara ekonomi kurang penting, sumber dayanya yang utama ialah manusia.
Awal kedatangan Jepang di Indonesia secara umum diterima dan ditanggapi dengan baik oleh masyarakat. Hal ini disebabkan di samping propaganda yang dilakukan secara intensif sebelum mereka tiba, yang dikoordinir melalui Sendenbu (bagian propaganda), juga dipengaruhi oleh sikap pemerintah kolonial Belanda yang selalu mempertahankan prinsip ketenangan dan keteraturan dengan tindaka-tindakannya yang picik, sehingga mengecewakan kaum pergerakan.
Di samping itu bagi masyarakat pedesaan di Jawa terdapat kebanggaan terhadap bangsa Jepang yang dapat mengalahkan Sekutu, yang dengan demikian itu membawa pengharapan pulihnya saat-saat normal yang dinanti-nantikannya. Sikap masyarakat pedesaan Jawa juga dipengaruhi oleh ramalan Jayabaya, yang secara tidak langsung telah mengarahkan pandangan masyarakat untuk menyambut kedatangan ''wong kuntet kuning saka lor'' yang hanya akan berkuasa di Indonesia ''seumur jagung''.
Kata-kata ini dipahami sebagai suatu keadaan baru akibat perginya Belanda dan datangnya Jepang, dan Jepang akan memerintah dalam waktu yang tidak lama, sesudah itu bangsa Indonesia akan ''merdeka''. Pemahaman yang berkembang seperti ini telah memberikan harapan akan hari kemudian yang lebih baik.
Sartono Kartodirjo (1985) menyebutnya sebagai motivasi spekulatif teoritis masyarakat Jawa terhadap datangnya masa kebahagiaan. Dalam menjalankan kebijakannya, pemerintah Jepang berpegang pada tiga prinsip utama, yaitu: (1) mengusahakan agar mendapat dukungan rakyat untuk memenangkan perang dan mempertahankan ketertiban umum; (2) memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan yang telah ada; dan (3) meletakkan dasar agar supaya wilayah yang bersangkutan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri bagi wilayah Selatan (Lapian, 1988).
Oleh karena itu pemerintah Jepang awalnya senantiasa berupanya mencapai keadaan yang stabil, jika tidak bisa memulihkan keadaan seperti yang sebelumnya (status quo ante), paling tidak mendekati seperti itu. Sejak 9 Maret 1942 Jepang menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda.
Dengan segala cara, Jepang menguras kekayaan dan tenaga rakyat itu dengan kekerasan, dengan rayuan, dan sebagainya. Rakyat Indonesia yang sudah jemu terhadap perang dan penjajahan menyambut kedatangan Jepang itu dengan harapan Jepang akan memberikan kedamaian dan kemakmuran.
Jepang datang dianggapnya sebagai pembebas penderitaan bangsa Indonesia. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh Jepang dengan sebaik-baiknya. Propaganda Jepang segera dilancarkan dan kekuasaan Fascisme Jepang segera ditanamkan dalam menyusun pemerintahan di Indonesia.
a. Tentara Ke-16 di pulau Jawa dan Madura dengan pusatnya di Jakarta.
b. Tentara Ke-25 di pulau Sumatera dengan pusatnya di Bukit tinggi.
c. Armada Selatan Ke-2 di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat dengan pusatnya di Makasar.
Pada awal pendudukannya, pemerintah pendudukan Jepang mengambil dua langkah penting, yaitu pertama menstabilkan kondisi ekonomi, yang terlihat dari upayanya untuk menguasai inflasi ekonomi, menetapkan patokan harga bagi sebagian besar barang dan menangani secara keras penimbun barang (Frederick, 1985).
Kahin (1980) menyebut langkah ini sebagai langkah menaikkan taraf sosio-ekonomi yang memaksa pemerintah baru itu menjalankannya. Kedua, Jepang pada awal pendudukannya mengalami keadaan berlanjutnya ketidakpastian hukum, sehingga pemerintah Jepang dituntut untuk mengeluarkan aturan produk hukum baru yang disesuaikan dengan kepentingan pendudukan Jepang di Indonesia.
Terutama di wilayah Jawa, Tentara Keenambelas mengeluarkan Undang-Undang no.1 tanggal 9 Maret 1942. Pasal 1 berbunyi : Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer untuk sementara waktu di daerah yang ditempatinya agar supaya mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera.
Pemerintah militer Jepang disebut Gunseibu. Di Jawa Barat berpusat di Bandung; di Jawa Tengah berpusat di Semarang ; dan Jawa Timur berpusat di Surabaya. Daerah Surakarta dan Yogyakarta dijadikan daerah Istimewa (Koci). Para penjabatnya di samping orang Jepang, juga dibantu oleh orang-orang Indonesia.
Misalnya di Jawa Barat Gubernur Kolonel Matsui didampingi oleh R. Pandu Suradiningrat. Sebagai wakil Gubernur dia dibantu oleh Atik Suardi. Di Jakarta, H. Dahlan Abdulah untuk sementara diangkat sebagai kepala pemerintahan daerah. Jabatan polisi diserahkan kepada Mas Sutandoko. Di Jawa Tengah, Gubernur dijabat oleh Letnan Kolonel Taga. Pendampingnya Rd. Muhammad Cholil, sebagai Wakil Gubernur, dan Salaman sebagai Residen.
Selanjutnya sejak 1 April 1942 oleh Jepang dikeluarkan peraturan Kepegawaian. Di samping itu usaha Men-Jepang-kan Indonesia mulai dilaksanakan disebarluaskan kepada penduduk. Cara yang paling awal untuk men-Jepang-kan itu ada memasang bendera Hinomaru pada hari-hari besar Jepang, dan menyanyikan lagu Kebangsaan Jepang Kimigayo pada setiap upacara negara.
Di samping bangsa Jepang mulai diajarkan di sekolah-sekolah. Begitu Sumatera dari Jepang digunakan dalam sistem penanggalan di Indonesia. Hari lahirnya Kaisar Hirohito harus dirayakan setiap tahun (Hari Raya Tenosetu). Untuk alat pembanyaran, mata uang Hindia Belanda tetap yang digunakan.
Dalam aspek politik pemerintahan, berdasarkan berita pemerintah nomor 14 bulan Maret 1943, dibentuk 8 bagian pada pemerintah pusat dan memberikan tanggung jawab pengelolaan ekonomi. Pemerintah daerah pada masa pendudukan Jepang diaktifkan kembali untuk memperkuat dukungan terhadap kebutuhan ekonomi perang.
Karesidenan (syu), berdasarkan Undang-Undang nomor 27 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 28 tentang Aturan Pemerintahan Karesuidenan (Syu) dan Tokobetsu Si secara prinsip telah mengarah pada pengaturan ekonomi.
Swasenbada penuh dalam bidang ekonomi dengan demikian telah dipaksakan secara halus pada setiap syu untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Selama itu pula syu telah menjadi pembatas yang berdaya guna bagi Jepang dalam mengekang perkembangan berbagai organisasi di Indonesia.
Dengan kaum nasionalis diadakan kerjasama dengan tujuan bersatu dan berdiri sepenuhnya di belakang Jepang, serta memperlancar pekerjaan Gunseibu. Di samping itu Jepang menyuruh kaum nasionalis untuk turut aktif di dalam pemerintahan Gunsei. Di dalam pemerintahan Gunsei ini muncullah tokoh Ir. Sukarno.
Dalam pertemuan dengan pihak Jepang di Bukittinggi , Ir. Sukarno tidak akan dihalang-halangi dalam membina ke Indonesia Merdeka. Pertemuan antara Moh Hatta dengan Ir. Sukarno mengambil keputusan mengesampingkan perselisihan pehamnya jaman Partidon dan PNI Baru dan bersatu memimpin rakyat Indonesia di dalam masa sulit itu. Persatuan antara keduanya itu kemudian dikenal dengan sebutan Dwi Tunggal Sukarno-Hatta.
Kerjasama Ir. Sukarno dengan pihak Jepang dimulai dalam komisi yang menyelidiki adat istiadat dan tata negara yang dibentuk oleh Gunsei pada 8 November 1942. Komisi beranggotakan 13 orang Jepang serta pimpinan politik dan sosial bangsa Indonesia, seperti : Moh. Hatta, Sutarjo Kartohadikusumo, Abikusno Cokrosuyoso, KH Mas Mansyur, Ki Hajar Dewantoro, Prof. Husein Joyodiningrat, Dr. RNg, Purbocaroko, Mr. Supomo.
Dari anggota tersebut dikenal sebagai Empat serangkai itu diberi kepercayaan untuk memimpin  gerakan Pusat Tenaga Rakyat (Putera), yang dibentuk pada 9 Maret 1943. Pembentukan putera itu adalah atas usulan Ir. Sukarno. Tuan Putera ialah mempersatukan rakyat Jawa untuk menghadapi serangan Sekutu yang semakin dekat dengan Indonesia (Jawa).
Pada pembukaan Kantor Putera pada tanggal 26 April 1943. Somuboco (Kepala Departemen Urusan Umum) menegaskan tugas Putera ialah: menggerakkan tenaga dan kekuatan rakyat untuk memberi bantuan kepada usaha-usaha untuk mencapai kemenangan akhir dalam Perang Asia Timur Raya.
Dengan demikian Jepang dapat menggunakan para pemimpin Indonesia untuk menanamkan kekuasaannya. Sebaliknya para pemimpin Indonesia juga tidak mau begitu saja diperalat oleh pemerintah Jepang. Mereka mencoba menggunakan sarana dari Jepang itu guna tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Campur tangan pemerintah pendudukan Jepang bukan saja pada lembaga-lembaga politik di pusat dan daerah saja, melainkan pada lembaga tradisional di pedesaan, yang berupa indoktrinasi dan depolitisasi lembaga politik di pedesaan serta penciptaan lembaga-lembaga politik baru yang memudahkan proses pengawasan oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia.
Dalam bidang sosial ekonomi, pemerintah pendudukan Jepang mengadakan pengaturan terhadap distribusi barang-barang yang dianggap penting untuk kepentingan perang seperti besi, tembaga, kuningan dan sebagainya yang diatur dengan Osamu Seirei nomor 19 tahun 1944 tentang mengatur pembagian tembaga tua dan besi tua.
Sesuai dengan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang untuk membentuk susunan perekonomian baru di Jawa, dilakukan politik penyerahan padi secara paksa oleh pemerintah Jepang terhadap petani-petani di pedesaan Jawa. Dasar-dasar politik beras Jepang pada awalnya adalah sebagai berikut :
1). Padi di bawah pengawasan negara, dan hanya pemerintah yang diijinkan melakukan seluruh proses pungutan dan penyaluran padi.
2). Para petani harus menjual hasil produksi mereka kepada pemerintah sebanyak kouta yang ditentukan dengan harga yang ditetapkan.
3). Harga gabah dan beras ditetapkan oleh pemerintah.
Namun demikian sebagai akibat terputusnya hubungan komunikasi antara pemerintah Jepang dengan daerah-daerah di wilayah Selatan, maka setiap wilayah harus memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri.Implikasinya adalah sejak itu diberlakukannya pungutan padi secara wajib yang dibebankan para petani di pedesaan di Jawa.
Kebijakan inilah yang sekaligus membawa perubahan-perubahan mendasar pada pola hidup masyarakat petani pedesaan Jawa pada masa pendudukan Jepang. Untuk memenuhi kepentingan perang, pemerintah pendudukan Jepang bahkan mengupayakan pengerahan tenaga kerja untuk menangani proyek-proyek pertahanan dan perang bukan hanya di wilayah Indonesia sendiri, melainkan di seluruh Asia Tenggara seperti di Philipina, Singapura, Siam, dan Birma.
Tenaga kerja itulah yang sering disebut romusa, yakni tenaga kerja sukarela atas tekanan pemerintah Jepang untuk menangani pekerjaan-pekerjaan kasar bagi kepentingan perang Jepang. Perlakuan-perlakuan yang kasar dan tidak manusiawi seperti kurangnya maka, tidak adanya jaminan kesehatan, sangat beratnya pekerjaan dan perlakuan yang semena-mena dari bala tentara Jepang telah berakibat pada penderitaan rakyat yang berkepanjangan, ketakutan sosial, kegelisahan komunal, serta munculnya perasaan tidak aman.
Sebagai bagian dari politik terhadap pemanfaatan sumber daya manusia, pemerintah pendudukan Jepang melakukan mobilisasi masa pemuda dan rakyat secara besar-besaran dalam program-program semi militer. Tujuan utamanya sebenarnya adalah sebagai tenaga cadangan bagi kepentingan militer Jepang.
Mobilisasi masa rakyat dalam Seinendan, Keibodan, Fujinkai, dan Pembela Tanah Air (Peta) telah mendorong rakyat memiliki keberanian, sikap mental untuk menentang penjajah, pemahaman terhadap kemerdekaan maupun sikap mental yang mengarah pada terbentuknya nasionalisme.
http://tragedisosialsejarah.blogspot.com/2014/03/latar-belakang-proses-pendudukan-jepang.html