MENGIKUTI AJARAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH


Ketika ditanya seorang Arifbillah : “Ya Syaikh, lalu bagaimana dengan nasib muslim di Indonesia ada dari mereka yang tidak pernah berguru, ada dari mereka yang hanya tau Ilmu syariah seperti ibadah, muamalah, hadits, dll hanya tau dari buku2 bahkan dari internet, apakah sanad mereka sah dan sudah termasuk kedalam firqoh ini??.
Arifbillah tersebut menjawab : Bukankah mereka senantiasa mengikuti Ulama2 kita yg jumhur (maksudnya mayoritas)? senantiasa merujuk kepada ulama kita? senantiasa mencintai ulama kita? senantiasa mencocokkan pemikiran mereka dengan pemikiran ulama kita? dan tidak pernah membuat pendapat yang berbeda dari ulama kita (maksudnya baca kitab sendiri lalu mengambil kesimpulan sendiri yang menyimpang dengan mayoritas pendapat ulama) ?, dijawab “Benar Syaikh”, Arifbillah tersebut menjawab “Berarti mereka sudah masuk kedalam firqoh ini dan berjalan diatasnya, meski mereka tidak pernah berguru”

ditanya lagi “Apakah mereka sudah terhitung sebagai murid?”
Syaikh tersebut menjawab “Murid itu ada 2, ruuhi dan jasadi, meski mereka tidak pernah bertemu seorang ulama secara langsung, namun senantiasa mencintainya, merujuk padanya, mencari tulisan-tulisannya, mendengar kajiannya, atau rekaman kasetnya, atau bertanya kepada yang terkait padanya, lalu menerapkan pada dirinya, itu sudah terhitung kedalam murid, akan tetapi dia tidak diperbolehkan berfatwa tanpa merujuk kepada ulama kita, namun dia sudah terhitung kedalam kelompok kita, dan boleh menjadi guru, ustadz, mengajar di pesantren atau taklim atau dimanapun, selama ulama2 kita tidak mendatangkan bantahan dan teguran kepadanya jika pemikirannya telah menyimpang dari ketentuan”

ditanya lagi “Kenapa kita harus mengikuti ulama yang mayoritas?”
dijawab oleh beliau : Karena salah satu sifat wajib ulama adalah amanah, sanad2 kita dan syariah ini di penuhi oleh ahlul amanah, karena mustahil seorang ulama akan memberi keizinan kepada murid untuk menjadi guru sebelum memiliki sifat amanah ini, karena bisa membahayakan ummat dan menebar fitnah, dan guru sangat tau tingkatan amanah dan kepintaran seorang murid, guru sangat tau kelebihan dan kekurangan seorang murid, jika murid telah menjadi guru dan ulama, dia tidak bergerak sendirian, melainkan dalam pengawasan ulama lainnya yang seperguruan dan susur galur sanad yang sama dengannya, jika terjadi penyimpangan, ulama lainnya tidak akan membiarkannya berlama2, karena meluruskan hal itu wajib hukumnya demi demi menghilangkan mudharat dan fitnah ditengah umat”

ditanya lagi “lalu Kenapa ada hadits yang shahih dan dhoif bahkan palsu, dan ada perawi yang di sebut kazzab (pendusta), pelupa, dsb?”
dijawab oleh beliau : Karena mereka telah di anggap berdusta dan pelupa oleh mayoritas ulama di zamannya.

ditanya lagi : Bagaimana kita bisa mengetahui status seorang ulama yang ada pada masa lalu, alim atau tidak, pendusta atau tidak, benar atau menyimpang?
dijawab oleh beliau : Kita tahu keadaan di masa lalu jauh berbeda dari sekarang. Dahulu kita tidak sulit menemukan seorang penghapal Al-Qur’an dan ribuan hadits. ku katakan padamu, bagaimana seorang Ghazali bisa menjadi Imam di zaman gemilang itu, bagaimana seorang Baihaqi bisa menjadi tokoh rujukan ulama di zamannya, sedangkan penghapal hadits sangat banyak ? Mereka adalah sosok yang terpilih dari yang terpilih. Aku katakan padamu, Jika pemikiran seorang Ghazali salah apakah akan di biarkan oleh ulama lainnya pada masa itu?, jika pemikiran Ghazali dianggap salah apakah kitabnya akan tetap dibiarkan di zaman itu tidak di musnahkan? sedangkan di zaman mereka banyak ahli hadits?

dijawab : Mustahil itu syaikh. Sudah pasti kitab Imam Ghazali akan di musnahkan dan di beri bantahannya, tetapi saya belum pernah mendengar ada ulama di zaman itu yang membantah kitab2 Imam Ghazali.
dijawab oleh beliau lagi : Jika dizaman itu tidak ada bantahan dari kalangan manapun, mulai dari awam hingga tingkat hujjatul islam (hapal 300.000 beserta sanad matan) jadi kita dizaman sekarang ingin bantah pakai apa? sementara di zaman ini tidak ada ulama yang bisa mencapai derajat Al Hujjatul Islam.

ditanya lagi : Benar itu syaikh, ya syaikh, terangkan pada hamba, orang2 zaman sekarang banyak mengatakan kitab Imam Ghazali Ihya Ulumuddin banyak hadits mungkar, hadits2 disitu tidak ada sanadnya, jadi haditsnya dianggap dhoif semua. bagaimana ini syaikh?
Syaikh menjawab : Aku katakan padamu, mungkin Imam Ghazali tidak tahu bahwa kitab Ihya itu akan diminati banyak orang hingga menembus zaman bahkan sampai zaman ini. Jika Imam Ghazali tau Kitab beliau akan tetap ada hingga beradab2 dan sampai kepada zaman yang awam dari ilmu hadits seperti zaman ini, beliau tentu akan mencantumkan sanadnya. Hadits dhoif versi kita dizaman ini tetapi tidak di zaman itu. Kitab Ihya Ulumuddin itu kitab tasawuf bukan kitab khusus membahas hadits, jadi Imam Ghazali tidak perlu menuliskan sanadnya, karena hadits2nya sudah umum dikenali oleh masyarakat Islam pada masa itu. Aku katakan padamu, Jika di hari ini kau mengajak orang membaca Al Fatihah di majelis2 apakah kau memerlukan penjelasan detail kepada mereka bahwa Surat Al Fatihah tsb berasal dari Al Qur’an?

Dijawab : Tidak ya Syaikh.
Syaikh menjawab : Kenapa tidak?

dijawab : Karena mereka sudah tahu hal itu.
Syaikh menjawab : Begitulah juga yang terjadi dengan kitab2 Ihya di zaman Imam Ghazali.

tanya lagi : Iya benar, hamba bertanya lagi, kenapa kah para ahli hadits terkadang berbeda dalam menilai suatu hadits, seperti misalnya dhoif versi Al Hakim Mustadrak tetapi Shahih versi Ibnu Hibban?
Syaikh menjawab : Itulah Ikhtilaf dikalangan ulama berjalan dengan ilmunya berdasarkan sanad, mereka masing2 memegang sanad dari gurunya, masing2 punya pendapat, bisa jadi karena Al Hakim tidak mengetahui sanad shahih hadits tersebut tetapi di ketahui oleh Ibnu Hibban, dan yang harus kau ingat ananda, Ilmu dan Amanah, itulah sifat wajib yang dimiliki ulama, mustahil Ibnu Hibban, Baihaqi, Ghazali akan menulis sembarangan kitab mereka dengan tanpa ilmu dan tanpa amanah, mereka lebih takut dan lebih tahu akan ancaman Allah dibanding kita, mereka menulis kitab dengan teliti,

Ananda., Jika dizaman itu tidak ada bantahan dari kalangan manapun terhadap kitab2 mereka, mulai dari awam hingga tingkat hujjatul islam (hapal 300.000 beserta sanad matan) jadi kita dizaman sekarang ingin bantah pakai apa? sementara di zaman ini tidak ada ulama yang bisa mencapai derajat Al Hujjatul Islam. Jika kau lihat orang melakukannya di zaman ini (seperti membantah pendapat Imam Syafii, Imam Nawawi, Ibnu Hajar, Baihaqi, dll) kau tidak ada beda sedang menyaksikan badut yang biasa menari di arena permainan anak-anak.

diambil dari: http://farid.zainalfuadi.net/mengenal-ahlussunnah-wal-jamaah/