Etika Berpendapat ala Rasulullah

Di era digital seperti saat ini, manusia sering disibukkan dengan berbagai perang: mulai dari perang dunia nyata maupun perang dunia maya; perang dengan adu otot maupun adu otak. Semuanya sering bertebaran di sekitar kita. Khusunya di media sosial.

Sebagai media publik, media sosial terbukti ampuh menampung segala aspirasi masyarakat. Kritik, saran, curhatan, informasi, pujian maupun cacian melebur berbaur dalam berbagai platform. Semuanya seakan bebas menuangkan segala isi otaknya tanpa adanya batasan. Walaupun sebenarnya setiap platform sudah memiliki terms of service sendiri-sendiri.

Namun cara menyampaikan isi otak di media-media sosial maupun di ruang publik nyata yang lainnya seringkali kurang etis. Semua memang berhak berargumen atau menanggapi semua hal. Tidak ada yang salah dengan menyampaikan pendapat atau menyampaikan usulan. Tapi yang salah adalah jika pendapat itu tidak disampaikan dengan layak alias kurang etis.

Nabi Muhammad SAW sebagai qudwah hasanah (teladan) telah memberikan solusi terbaik bagi umatnya untuk berekspresi menyampaikan argumen, kritik maupun saran terhadap orang lain. Tentu sebagai umat Muhammad kita selayaknya meniru dan mempraktikkan keindahan akhlak yang telah dicontohkan oleh beliau.

Keindahan akhlak beliau tentang etika menyampaikan pendapat bisa kita temukan dalam beberapa literatur hadits. Salah satunya dalam sebuah hadits yang terdapat dalam Kitab Sahih Muslim karya Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. 

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas ibn Malik tersebut dikisahkan seperti biasa, Nabi Muhammad SAW berjalan-jalan bersama para sahabat berkeliling Madinah. Di tengah perjalanan, Nabi bertemu dengan sekelompok kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma. Seketika melihat hal itu, Nabi memberikan tanggapan kepada para penduduk tersebut.

Saat memberikan tanggapan, Nabi tidak menggunakan kata-kata yang menyebutkan kepastian. Nabi menyampaikan: “Sekiranya mereka tidak melakukan hal itu, pohon kurma itu juga akan tumbuh baik”.

Karena yang mengatakan hal itu adalah seorang Nabi, maka masyarakat Madinah pun menaatinya dan akhirnya meninggalkan kebiasaan yang sudah dilakukan turun-temurun.

Selang beberapa waktu, ternyata pohon kurma yang biasanya tumbuh bagus tak sesuai dengan ekspektasi dan kebiasaan. Hingga akhirnya Nabi pun mengetahui bahwa usulannya kepada masyarakat Madinah tersebut malah membuat pohon kurma rusak dan tak tumbuh seperti biasanya.

Dengan segala kerendahan hati, Nabi pun berkata kepada para kaum di Madinah tersebut. “Antum a’lamu bi amri dunyakum (kalian lebih mengetahui urusan tersebut).”

Dari kisah Nabi Muhammad dan kaum Madinah tersebut setidaknya ada beberapa poin yang bisa kita jadikan pelajaran dan contoh agar kita bisa menyampaikan pendapat secara etis.

Pertama, berikanlah kritik, saran dan tanggapan dengan cara yang baik. Sebaik dan sebagus apapun kritik atau saran yang akan disampaikan akan jadi tidak berguna karena tidak disampaikan dengan cara yang baik. Kritik dan saran yang tidak disampaikan dengan cara yang baik itu akhirnya malah menyakiti orang yang diberi kritik, saran maupun tanggapan.

Kedua,berpendapatlah sesuai kapasitas anda. Jika suatu permasalahan yang anda tanggapi tidak merupakan bidang yang anda kuasai, maka diam adalah hal yang terbaik.

Fenomena sekarang ini, banyak orang yang asal berpendapat bahkan sampai menghina orang yang berbeda pemikiran dengannya. Jika kapasitas orang tersebut setara bahkan lebih  tinggi dengan orang dan bidang yang sedang dikomentari, maka hal ini tak masalah.

Namun kenyataanya berbanding terbalik. Banyak orang yang tidak sadar bahwa tanggapan atau komentar yang diberikan tidak lebih baik dengan pendapat orang yang sedang dikomentari.

Fenomena yang ada sekarang, banyak orang yang awam dengan perpolitikan mencoba ikut adu gagasan tentang carut marutnya perpolitikan. Contoh yang lain, muallaf yang baru saja beberapa hari lalu belajar Islam mengomentari hal yang disampaikan oleh orang yang belajar Islam bertahun-tahun. Bahkan, ada pula dari mereka yang memvonis kafir ulama hanya karena pendapat ulama tersebut tidak selaras dengan pendapatnya.

Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal. Salah satunya adalah karena bahan bacaan muallaf tersebut tidak lebih banyak—bahkan kurang—dari bacaan orang yang dikritik bahkan dikafirkannya. Atau muallaf tersebut sebenarnya pernah membaca refrensi yang sama akan tetapi kurang memahami dengan baik karena terbatasnya keilmuan yang seharusnya dipelajari terlebih dahulu sebelum melahap materi dalam sebuah referensi. Sehingga tak pelak menimbulkan kesalahan pemahaman dan interpretasi.

Ketiga, sadarlah dan segera minta maaf apabila pendapat atau saran kita ternyata tidak sesuai dengan permasalahan yang ada.

Poin yang ketiga ini malah lebih sering terbalik. Orang yang jelas-jelas pendapatnya salah terkadang masih kekeuh dengan pendapatnya. Bahkan mati-matian membuat apologi dan legitimasi agar pendapat tersebut terlihat benar.

Saat sudah terjadi seperti ini maka selesailah diskusi ataupun pertukaran gagasan ataupun wacana. Karena yang terjadi adalah diskusi yang kurang sehat akibat egoisme salah satu peserta diskusi hanya untuk memenangkan pendapatnya atau pendapat golongan yang diwakilinya.

Selayaknya harus difahami bahwa dalam diskusi bukan mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Namun yang paling penting adalah sejauh mana argumen dan pendapat yang disampaikan bisa match dengan masalah dan bisa dibuktikan sebagai argumen yang solutif dan konstruktif.

Jika seseorang yang ingin berpendapat tidak bisa berperilaku dengan tiga poin di atas alias tidak sesuai dengan etika berpendapat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, maka niscaya fungsi dan esensi pendapat yang disampaikan tidak akan bermanfaat bahkan bisa  jadi menyakiti orang yang diberi pendapat.

Karena berpendapat tidak hanya sekadar untuk gagah-gagahan atau dianggap hebat oleh orang lain. Inti dari pendapat adalah bagaimana bisa mengubah suatu  hal menjadi lebih baik. Tidak ada guna berpendapat jika tidak memberikan atsar (pengaruh) terhadap suatu permasalahan. Sebab berpendapat adalah semata melaksanakan sunnatullah yang termaktub dalam surat al-Ashr: “wa tawaashau bil haqqi wa tawaashau bis shabri”.

Wallahu a’lam bis shawab.

M. Alvin Nur Choironi, mahasiswa jurusan Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Mahasantri Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences Indonesia; Presiden HMJ Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2016 dan Sekretaris Nasional Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadits se-Indonesia (FKMTHI)
http://www.nu.or.id/post/read/65898/etika-berpendapat-ala-rasulullah