Fungsi masjid

Almarhum KH Ali Mustafa Ya’qub, Imam Besar Masjid Iatiqlal, pernah menyebutkan lima fungsi masjid di zaman Rasulullah SAW, yakni tempat ibadah, pembelajaran, musyawarah, merawat orang sakit, dan asrama.
Dari kelima fungsi itu, menurut dia, ada yang masih layak untuk dilakukan hari ini, ada yang tidak. Masjid sebagai asrama, hari ini tidak layak dilakukan. Sementara fungsi lainnya masih bisa.
Belakangan ini, ada sebagian kalangan yang memungsikan masjid untuk mendulang suara partai politik. Masjid menjadi tempat kampanye, baik secara terbuka maupun tersembunyi. Momentumnya bisa melalui khotbah jumat atau pengajian rutin.
Pada momentum itu, tersurat ataupun tersirat, mereka menyampaikan bahwa partainya adalah paling islami dan membela Islam. Sementara partai lain adalah musuh agama, kafir dan tak layak dipilih.
Mereka lupa, jamaah yang hadir beragam tentu saja aspirasi partai. Bukankah jamaah yang partainya dijelekkan akan mengumpat di dalam hati selepas pulang Jumat? Beribadah yang sejatinya tenang, malah pulang dengan kedongkolan.
Dalam kadar ekstrem, ada sebagian kalangan yang senang menggunakan masjid untuk mengkafirkan kalangan yang berbeda paham keislamannya. Khutbah jumat yang sejatinya mengajak jamaah untuk mempertebal iman dan takwa, jadi ajang untuk menyesatkan sesama Muslim. Bahkan, ada masjid yang melarang digunakan shalat jenazah bagi orang yang berbeda pilihan calon gubernur.
Dalam hal ini, pesan Grand Syekh Al-Azhar di PBNU, beberapa minggu lalu, perlu jadi pegangan, seorang Muslim tidak boleh mengkafirkan orang yang shalat, kiblat, kitabnya sama. Seorang Muslim dilarang menyesatkan Muslim lain hanya karena berbeda paham pada sisi furu’iyah, apalagi karena berbeda pilihan partai politik. Begitu kira-kira.
Karena, tindakan semacam itu sangat tidak menguntungkan bagi persatuan Islam. Umat menjadi pecah-belah dan bisa menimbulkan permusuhan. Bahkan adu-domba. Masjid bukan menebarkan kemaslahatan umat, malah sebaliknya, kemudaratan.
Mesti diingat, Allah pernah melarang Nabi Muhammad melakukan shalat di masjid yang menimbulkan kemudaratan. Hal itu terjadi selepas Perang Tabuk pada 630 M atau 9 H. Ketika Nabi Muhammad akan melakukan shalat di masjid itu, turun surat At-Taubah ayat 107 dan 110.
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah : “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).
Konon, masjid tersebut bernama Dhirar. Sebetulnya tidak jauh dari masjid yang didirikan Nabi Muhammad di Madinah. Sebelum Perang Tabuk, sekumpulan orang mengabarkan kepada Rasulullah bahwa mereka telah membangun sebuah mesjid. Mereka berkeinginan agar Rasulullah untuk mengunjunginya dan shalat di dalamnya. Rasulullah pun mengiyakan. Namun, ketika Rasulullah akan memenuhinya, dilarang langsung oleh Allah, di antara sebabnya adalah menimbulkan kemudaratan tersebut.
Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.
Begitu peringatan Allah terhadap Rasulullah terhadap masjid semacam itu. Lalu, apa yang dilakukan Rasulullah setekah langsung dilarang Allah?
Ia yang dituntun ayat suci, dengan tanpa ragu, memerintahkan para sahabatnya untuk tidak shalat di masjid itu. Karena khawatir ada kaum Muslim yang shalat didalamnya di lain waktu, kemudian ia memerintahkan menghancurkan masjid Dhirar itu dengan membakarnya.