Khadijah Sang Pedagang dan Pernikahannya dengan Muhammad Saw.
hadijah—sebagaimana diriwayatkan Ibnu Al-Atsir dan Ibnu Hisyam—adalah seorang perempuan pedagang yang mulia
dan terhormat di tengah kaumnya. Dia juga dikenal sebagai saudagar dengan harta yang berlimpah. Dia mempekerjakan kaum laki-laki untuk membawa dan memperdagangkan komoditasnya, lalu memberi mereka upah yang pantas. Ketika Khadijah mendengar tentang kejujuran, amanah, dan kemuliaan akhlak pemuda Muhammad, dia mengirim utusan untuk menawarinya pekerjaan: membawa barang dagangannya ke Syam, dengan upah yang lebih besar dibanding yang pernah dia berikan kepada orang lain. Muhammad Saw. menyanggupi tawarannya dan kemudian beliau berangkat menuju Syam ditemani budak Khadijah yang bernama Maysarah. Keduanya pergi untuk memperdagangkan barang dagangan Khadijah. Rasulullah dapat menjalankan amanah dan tanggung jawab itu dengan baik. Pertolongan Allah senantiasa menyertainya dalam perjalanan dan selama memperdagangkan komoditas milik Khadijah. Setelah beberapa waktu beliau kembali ke Makkah bersama Maysarah membawa keuntungan dagang yang berlimpah, beliau mengembalikan amanah
72 DR. Al-Buthy
yang diembannya kepada Khadijah secara sempurna dan memberinya laba yang sangat besar. Setelah itu, beliau pamit dan pulang ke rumahnya. Sepulangnya Muhammad Saw. dari rumah Khadijah, Maysarah menceritakan pengalamannya menemani Muhammad Saw. dan betapa dia sangat mengagumi kepribadian pemuda itu yang sangat istimewa dan menakjubkan. Dia mengungkapkan kejujuran, kesahajaan, dan juga kecerdasan Muhammad Saw. dalam berdagang dan di sepanjang perjalanan. Semua itu benar-benar membuatnya takjub. Dia ceritakan semua itu kepada majikannya, Khadijah.
Tentu saja Khadijah, yang sebelumnya telah mendengar keisti- mewaan Muhammad Saw., semakin kagum dan jatuh hati pada pemuda ini. Dia sangat memercayai cerita dan penuturan budaknya itu, karena Muhammad Saw. terbukti dapat menjalankan amanah darinya dengan sangat baik dan sempurna. Dia pulang dengan membawa berkah dan keuntungan yang berlipat-lipat lebih besar. Maka, beberapa hari kemudian Khadijah mengirimkan utusan, Nafisah binti Munabbih, untuk melamar Muhammad Saw., menawarkan dirinya untuk dipersunting pemuda itu. Nabi Saw. pun menyetujui dan menerima tawaran yang disampaikan sang utusan. Kemudian, beliau membicarakan masalah itu bersama paman-pamannya. Mereka pun bersepakat menerima Khadijah untuk diperistri oleh keponakan mereka. Setelah itu, mereka melamar Khadijah untuk dinikahi oleh Muhammad kepada paman Khadijah yang bernama Amr bin Asad. Sang paman pun menikahkannya kepada Muhammad Saw. yang saat itu berusia 25 tahun, sementara Khadijah berusia 40 tahun.
Sebelum menikah dengan Rasulullah
Saw., Khadijah pernah menikah dua
kali. Suami pertamanya bernama Atiq bin A’idz At- Tamimi dan suami
keduanya adalah Abu Al-Halah At-Tamimi
yang bernama asli Hind bin Zurarah.22
Perjalanan Nabi Saw. menuju Syam untuk memperdagangkan komoditas
milik Khadijah merupakan kelanjutan dari karirnya yang diawali dengan menggembalakan kambing
milik orang Makkah. Saya telah menjelaskan hikmah yang terkandung di balik salah
satu periode penting dalam perjalanan hidup Rasulullah Saw.
Kemudian, berkaitan dengan kedudukan Khadijah di sisi Nabi Saw., kita telah memaklumi bahwa dia memiliki peran yang sangat penting dan kedudukan yang luhur dan
mulia. Kebersamaannya dengan Rasulullah Saw.
telah memberi Khadijah kedudukan yang sangat tinggi di sisi Rasulullah Saw. sepanjang hayatnya. Dalam Ash-Shahîhayn diriwayatkan bahwa
Khadijah adalah istri Rasulullah yang paling sempurna.
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ali r.a. mendengar
Rasulullah Saw. bersabda, “Perempuan terbaiknya (di langit) adalah Maryam binti Imran, dan perempuan terbaiknya (di bumi) adalah Khadijah binti Khuwailid.”23
Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa dia berkata, “Aku tidak pernah cemburu terhadap istri-istri Nabi Saw., kecuali terhadap Khadijah, padahal
aku tidak pernah bertemu dengannya.”
Diriwayatkan bahwa dia
juga bercerita, “Dulu, apabila Rasulullah Saw.
menyembelih kambing, beliau bersabda, ‘Kirimkanlah
ini kepada teman-teman Khadijah.’”
Aisyah juga berkata, “Pada
suatu hari, aku membuat beliau
marah karena aku berteriak,
‘Khadijah lagi, Khadijah lagi!’ Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, ‘Aku telah
dikaruniai cintanya.’”24
Ahmad dan Ath-Thabrani meriwayatkan melalui jalur Masruq
dari Aisyah r.a. bahwa dia bercerita, “Rasulullah Saw. nyaris tidak pernah
keluar dari rumah sebelum menyebut-nyebut Khadijah dan menyanjungnya. Pada suatu hari, beliau menyebut-nyebutnya sehingga aku disulut cemburu.
Maka, aku berkata,
‘Bukankah dia hanya seorang nenek-nenek, dan Allah telah menggantikannya dengan seseorang yang lebih baik?’
Rasulullah marah dan
bersabda, ‘Tidak. Demi Allah, Allah tidak menggantinya dengan seorang pun yang lebih
baik daripadanya. Dia beriman
ketika semua orang kafir. Dia memercayaiku ketika orang-orang menyebutku dusta. Dia pun menyokongku dengan hartanya ketika orang- orang enggan memberiku. Allah juga mengaruniaiku anak darinya, tidak dari istri
yang lain.’”
Ada satu hal penting
dari pernikahan beliau
dengan Khadijah yang
segera disadari siapa pun yang mau mempelajari kisah perjalanan hidup Rasulullah dengan jujur, yaitu bahwa
ketika menikahi Khadijah, Rasulullah sama sekali tidak memedulikan faktor kenikmatan dan kesempurnaan jasmani. Sebab, seandainya begitu, seperti para pemuda lain yang sebaya dengannya, tentu beliau akan memilih perempuan yang lebih muda, lebih segar, dan lebih cantik untuk dinikahi. Atau, setidaknya bukan perempuan yang lebih tua dibanding
dirinya. Beliau menerima Khadijah karena
dia adalah perempuan terhormat dan mulia
di tengah masyarakat dan kaumnya. Bahkan, di zaman Jahiliah dia dijuluki al-‘afîfah al-thâhirah (wanita suci yang selalu
menjaga kehormatan).
Pernikahan ketiganya bertahan sampai akhir ketika Khadijah wafat dalam usia 65 tahun dan Nabi Saw.
berusia 50 tahun. Selama masa pernikahan
itu, tak terlintas sedikit pun dalam benak Rasulullah Saw. untuk menikah lagi dengan wanita
atau gadis lain. Padahal, usia antara 20 dan 50 tahun merupakan masa-masa
puncak gejolak hasrat dalam diri
laki-laki untuk menambah istri dan atau hasrat untuk memenuhi desakan
syahwat.
Namun, sebagaimana telah saya katakan, Muhammad Saw. melewati fase usia ini tanpa sedikit pun berpikir untuk memadu Khadijah
dengan perempuan
lain, baik sebagai istri maupun budak perempuan. Jika mau, tentu beliau sudah mendapatkan wanita-wanita lain yang sudi diperistri atau budak-budak perempuan, tanpa
melanggar adat atau keluar dari kebiasaan
masyarakat saat itu. Padahal, beliau menikah dengan Khadijah yang berstatus janda dan berusia
15 tahun lebih
tua darinya.
Ini mengandung bukti yang membungkam mulut para misionaris, orientalis, dan para pengekor
mereka yang hatinya
telah dirasuki sentimen terhadap Islam. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah,
menyeru orang-orang seperti itu bagaikan memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka berpikir akan menemukan senjata yang mematikan Islam
dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah
Saw. Mereka menyangka akan mendapatkan amunisi
untuk menghina dan mencemari nama baik Muhammad Saw. Mereka menganggap bisa membuat Rasulullah Saw.
tampak di mata manusia sebagai lelaki
hidung belang yang gemar perempuan dan tenggelam dalam belaian syahwat.
Sudah diketahui bahwa para misionaris dan kebanyakan orientalis adalah musuh Islam yang mencari
nafkah dengan merendahkan Islam. Menyerang, menistakan, dan menghina Islam dijadikan sebagai profesi untuk mencari nafkah. Sementara,
orang-orang lugu yang mengekor mereka,
ikut-ikutan memusuhi Islam lantaran kepatuhan dan taklid buta. Mereka enggan membuka pikiran
untuk mencari tahu atau memahami.
Penyebabnya adalah karena mereka memang gemar mengekor dan taklid, enggan berpikir. Oleh
karena itu, permusuhan mereka terhadap
Islam hanya seperti lencana yang dilekatkan di bajunya semata-mata agar afiliasinya pada kelompok tertentu diketahui banyak orang. Juga, sudah diketahui bahwa lencana itu tidak lebih dari sekadar
simbol. Jadi, permusuhan mereka terhadap Islam
pun hanyalah simbol
identitas yang mereka umumkan di tengah masyarakat; mereka ingin mengumumkan kepada banyak orang bahwa mereka tidak punya posisi
apa-apa
dalam sejarah Islam ini, dan bahwa kesetiaan mereka hanya pada ajaran kolonialis yang tecermin dalam propaganda para penjajah pemikiran, yaitu kalangan misionaris dan
orientalis. Itulah keyakinan dan pertimbangan mereka sebelum melakukan penelitan apa pun, dan tanpa berupaya memahami sedikit pun! Permusuhan mereka terhadap
Islam hanyalah lencana yang dengannya
mereka memperkenalkan diri kepada
banyak orang dan bangsanya sendiri, bukan kerja intelektual dengan tujuan
mencari kebenaran.
Jika tidak, topik
pernikahan Nabi Saw. justru akan menjadi dalil
yang sangat kuat untuk membuktikan kejujuran Muhammad Saw. dan kebenaran risalahnya. Kesadaran itu
hanya akan dicapai oleh mereka yang berpikiran terbuka, berwawasan luas,
dan mau memahami Islam serta mencermati
Sîrah Nabi.
Sikap jujur dan objektif itu tidak dimiliki para peneliti yang mendengki Islam. Mereka ingin
menggambarkan sosok Nabi Saw. sebagai lelaki
hidung belang yang gemar memenuhi desakan syahwat. Padahal, jika mau mencermati kehidupan pernikahan
beliau, itu telah menjadi dalil yang memadai untuk menunjukkan karakter yang sebaliknya. Pasalnya,
di
masa Jahiliah, di tengah bangsa Arab,
lelaki hidung belang
tidak akan mencapai usia 25 tahun, kecuali dia telah mengawini banyak perempuan. Lelaki hidung belang yang masih muda
belia seperti Muhammad juga tidak
akan sudi menikahi janda yang usianya hampir dua kali lipat usianya sendiri, lalu hidup bersamanya
selama 15 tahun tanpa sedikit pun keinginan untuk menggauli atau menikahi perempuan
lain.
Lalu, jika kita berbicara tentang pernikahan Nabi Saw. dengan Aisyah r.a. dan istri-istrinya yang lain, sesungguhnya kita membicarakan tema yang berbeda. Masing-masing mereka
memiliki kisahnya sendiri dan
setiap pernikahan itu memiliki hikmah dan penyebab yang akan menambah keimanan seorang Muslim pada keagungan, keluhuran pribadi, dan kesempurnaan akhlak Muhammad Saw. Apa pun hikmah dan penyebabnya, tidaklah mungkin beliau
menikah sekadar untuk memenuhi kebutuhan
biologis atau membenamkan diri dalam belaian
syahwat. Sebab, jika demikian, pasti beliau telah melakukannya
jauh- jauh hari ketika usianya masih muda belia, bukan di usia senjanya
ketika pikiran beliau disibukkan urusan dakwah dan pembangunan komunitas Islam. Setelah hijrah, begitu banyak urusan yang ditangani langsung oleh Rasulullah yang memalingkannya dari urusan syahwat
dan kenikmatan dunia.
Saya juga tidak merasa perlu membela pernikahan Nabi Saw. seperti yang dilakukan banyak penulis
lain, karena saya tidak yakin masalah semacam
ini perlu dicermati
atau pun diteliti
meskipun begitu banyak musuh
Islam yang mencari celah kelemahan Islam dari
masalah pernikahan Nabi Saw. Selain
itu, betapa banyak
hakikat Islam yang dijadikan target serangan musuh-musuh Islam semata-mata untuk memancing kaum Muslim agar mau berdebat
melawan mereka.[]