Perkembangan Kajian Sîrah Nabi dan Cara Memahaminya di Zaman Sekarang

 

Perkembangan Kajian Sîrah Nabi dan Cara Memahaminya di Zaman Sekarang

 

 

 

 

Sîrah dan Sejarah Nabi

Tidak diragukan lagi, Sîrah Nabi Muhammad Saw. merupakan tiang pancang utama bagi gerakan sejarah yang sangat besar, yang menjadi keistimewaan kaum Muslim kendati bahasa dan tanah air mereka berbeda-beda.

Berangkat dari Sîrah Nabi Saw. inilah, kaum Muslim menyusun catatan sejarah periode-periode berikutnya. Sebab, catatan sejarah dan kejadian yang pertama kali disusun penulis Muslim adalah berbagai kejadian dalam kehidupan Nabi Saw., lalu disusul oleh penyusunan catatan berbagai peristiwa yang terjadi di masa-masa berikutnya hingga zaman sekarang.

Bahkan, sejarah jahiliah yang tercecer di belakang periode Islam di Jazirah Arab hanya diperhatikan oleh kaum Muslim, Arab dan non-Arab. Mereka menyisihkannya dan kemudian menyusunnya berdasarkan petunjuk Islam yang membatasi pengertian jahiliah, juga berdasarkan cahaya paling terang dalam sejarah manusia berupa kelahiran manusia utama, Nabi Muhammad Saw., beserta perjalanan hidupnya.


 

Dengan demikian, Sîrah Nabi Saw. membentuk poros gerakan penyusunan sejarah Islam di Jazirah Arab. Bahkan, Sîrah Nabi Saw. merupakan faktor yang memengaruhi berbagai kejadian di Jazirah Arab, dan kemudian juga berbagai peristiwa di seluruh dunia Islam.

Ilmu periwayatan kejadian bersejarah telah dimiliki bangsa Arab dan kaum Muslim sebagai metodologi ilmiah yang cermat untuk mempelajari berbagai peristiwa dan membedakan antara yang valid dan yang tidak valid. Metodologi ini tidak dimiliki selain mereka. Hanya saja, mereka tidak mungkin menciptakan metodologi ini dan menerapkannya dalam buku-buku sejarah jika bukan karena Sîrah Nabi Saw. yang sudah dianggap sebagai kebutuhan pokok agama. Mereka dipacu untuk menyusunnya dengan benar dan tidak membiarkan kepalsuan atau kebohongan mencampurinya. Sebab, mereka tahu bahwa Sîrah Rasulullah Saw. beserta Sunnahnya merupakan kunci pertama untuk memahami Kitabullah. Lagi pula, keduanya merupakan contoh ideal tentang cara menerapkan dan mengamalkan Kitabullah. Faktor keyakinan pada kenabian Rasulullah Saw., keyakinan bahwa Al-Quran adalah firman Allah Swt., keyakinan bahwa mereka mengemban tanggung jawab untuk mengamalkan tuntunannya, dan keyakinan bahwa Allah akan memperhitungkan semua amal mereka secara rinci telah menggugah mereka untuk berusaha sekuat tenaga menciptakan metodologi ilmiah yang dapat membentengi fakta-fakta Sîrah dan Sunnah Nabi Saw. yang suci.

Metodologi ilmiah yang saya maksudkan ini tidak lain adalah kaidah musthalah al-hadîts dan ilmu al-jarh wa al-ta‘dîl. Sudah dimaklumi, metodologi itu pertama-tama diciptakan untuk melayani kebutuhan Sunnah suci yang tentu saja salah satu sumber utamanya adalah Sîrah Nabi Saw. Pada perkembangan berikutnya, metodologi itu dipergunakan untuk menyusun sejarah secara umum sekaligus standard untuk membedakan antara fakta dan fiksi.

Maka, jelaslah bahwa pencatatan Sîrah Nabi Saw. merupakan pintu gerbang utama bagi kaum Muslim menuju kajian dan penyusunan


 

sejarah secara umum. Kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk memastikan orisinalitas suatu riwayat merupakan hasil pemikiran kaum Muslim yang merasa sangat perlu menjaga setiap sumber dan mata air pertama Islam dari segala noda yang dapat mengeruhkannya.

 

Awal Mula Pencatatan Sîrah dan Perkembangannya

Secara kronologis, pencatatan Sîrah Nabi Saw. dilakukan setelah pencatatan Sunnah. Jadi, pencatatan Sunnah atau Hadis lebih dahulu daripada pencatatan Sîrah Nabi secara umum. Pencatatan Sunnah sudah dimulai sejak Rasulullah Saw. masih hidup, atas seizin bahkan perintah beliau. Izin itu diberikan setelah beliau melihat bahwa para sahabatnya telah menyadari perbedaan besar antara metode Al-Quran yang bersifat mukjizat dan metode hadis yang bersifat intens sehingga mereka tidak mencampuradukkannya. Sementara, pencatatan sîrah (riwayat hidup) Rasulullah Saw. dan berbagai peperangannya (maghâzî) baru dilakukan kemudian. Meski demikian, para sahabat sangat memperhatikan periwayatan sîrah dan maghâzî itu dari lisan ke lisan.

Barangkali orang yang pertama menaruh perhatian pada Sîrah Nabi Saw. secara umum adalah Urwah bin Az-Zubair (w. 92 H), lalu Abban bin Utsman bin Affan (w. 105 H), kemudian Wahb bin Munabbih (w. 110 H), berikutnya Syurahbil bin Sa‘d (w. 123 H), lalu Ibnu Syihab Az-Zuhri (w. 124 H).

Mereka semua dianggap sebagai generasi pertama yang mencurahkan perhatian pada pencatatan Sîrah Nabi. Tulisan mereka juga dianggap sebagai titik tolak aktivitas ilmiah yang agung ini, bahkan dianggap sebagai langkah pertama menuju pencatatan sejarah. Di luar fakta bahwa catatan paling pertama mengenai Sîrah Nabi Saw. adalah Al-Quran dan Al-Sunnah. Keduanya merupakan dokumentasi paling utama mengenai kehidupan Rasulullah Saw. Sebab, sepanjang


 

hidupnya, Rasulullah sangat memperhatikan ucapan dan perbuatannya, apalagi yang berkaitan dengan legalitas hukum.

Namun, semua karya tulis mereka telah punah. Tidak ada satu pun yang sampai kepada kita, kecuali jejak-jejak berserakan yang sebagiannya dikutip Ath-Thabari. Konon, sebagian lainnya—seperti tulisan Wahb bin Munabbih—tersimpan rapi di (perpustakaan) Kota Heidelburg, di Jerman.

Setelah generasi pertama, muncul generasi berikutnya yang menyerap dengan cepat semua yang ditulis generasi pertama. Mereka mencatatnya dalam karya-karya mereka, yang sebagian besar—berkat pertolongan Allah—sampai kepada kita. Di baris terdepan angkatan ini ada Muhammad bin Ishaq (w. 152 H). Para peneliti sepakat bahwa karyanya termasuk di antara yang paling tepercaya di antara berbagai karya lain mengenai Sîrah Nabi Saw. di zaman itu.3 Meskipun kitabnya, Al-Maghâzî, tidak sampai kepada kita, Abu Muhammad Abdul Malik yang dikenal dengan panggilan Ibnu Hisyam, datang setelahnya dan meriwayatkan Al-Maghâzî sehingga kita mengetahui kitab itu. Lagi pula, jarak waktu penulisan karya Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam belum sampai lima puluh tahun.

Ibnu Khaldun menandaskan, “Ibnu Hisyam adalah orang yang menghimpun Sîrah Rasulullah Saw. dari Al-Maghâzî dan As-Siyar karya Ibnu Ishaq, serta memangkas dan meringkasnya. Itulah Sîrah yang dikenal masyarakat sebagai Sîrah Ibn Hisyam.”4

Bagaimanapun, sumber-sumber sîrah Nabi Saw. yang diandalkan semua penulis dari berbagai angkatannya terbatas hanya pada sumber- sumber berikut ini:

 

 

 

 


3          Lihat tulisan Ibn Sayidin-Nas dalam pendahuluan bukunya ‘Uyûn Al-Âtsar tentang Ibnu Ishaq dan biografinya.

4          Wafayât Al-A‘yân/1/290/Ath-Thaba’ah Al-Maimuniyyah.



Pertama, Kitabullah, yang merupakan sumber otentik pertama dalam mengenali seluruh sisi kehidupan Nabi Saw. beserta tahapan- tahapan garis besar perjalanan hidupnya yang mulia.

Kedua, kitab-kitab hadis yang disusun para imam hadis yang dikenal jujur dan amanah. Misalnya, Al-Kutub As-Sittah (enam kitab hadis susunan Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An- Nasa’i, dan Ibnu Majah), Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, dan sebagainya. Kendati demikian, kitab-kitab utama ini hanya menyampaikan ucapan dan perbuatan Rasulullah Saw. sebagai sumber hukum, bukan sebagai catatan sejarah. Oleh karena itu, hadis- hadis yang terdapat dalam kitab-kitab itu diurutkan berdasarkan bab- bab fiqih. Ada pula di antaranya yang disusun berdasarkan nama para sahabat yang meriwayatkan hadis. Semuanya tidak menggambarkan berbagai peristiwa sejarah secara kronologis.

Ketiga, para periwayat yang menaruh perhatian pada sîrah dan kehidupan Nabi Saw. secara umum. Banyak sahabat yang termasuk kalangan ini. Bahkan, nyaris setiap sahabat yang pernah bersama Rasulullah Saw. dalam suatu kejadian pasti meriwayatkannya kepada sahabat lain dan generasi setelahnya lebih dari satu kali. Namun, tidak seorang pun di antara mereka yang sejak awal menaruh perhatian pada penghimpunan dan penyusunan sîrah. Di sini, saya ingin menekankan perbedaan antara hal umum yang disebut dengan pencatatan dan hal khusus yang disebut dengan penyusunan. Contoh pertama adalah pencatatan hadis secara umum yang dilakukan banyak periwayat, sedangkan contoh kedua adalah penyusunan dan penghimpunan berbagai catatan itu secara kronologis.

 

Metodologi Ilmiah dalam Periwayatan Sîrah Nabi Saw.

Sudah dimaklumi, pencatatan Sîrah Nabi Saw. tergolong dalam hal umum yang disebut dengan sejarah. Meski demikian, sebagaimana telah ditegaskan, Sîrah Nabi Saw. merupakan titik tolak sejarah


sekaligus rujukan untuk mempelajari berbagai kejadian dari masa ke masa. Lalu, metodologi apakah yang diandalkan para penulis Sîrah?

Mereka mengikuti apa yang pada zaman sekarang disebut dengan aliran objektif dalam pencatatan sejarah, sesuai dengan kaidah ilmiah yang akan saya paparkan. Jelasnya, tugas para penulis Sîrah Nabi Saw. hanyalah memastikan mana yang benar-benar terjadi. Di antaranya, dengan mengikuti standard ilmiah yang tecermin dalam kaidah musthalâh al-hadîts yang berkaitan dengan sanad serta matan, juga kaidah al-jarh wa at-ta‘dîl yang berkaitan dengan perawi, termasuk biografi dan ketepercayaannya.

Ketika mereka menemukan berbagai riwayat dan kabar mengenai aneka kejadian yang berkaitan dengan kehidupan Rasulullah Saw., mereka menerangkan dan menyusunnya tanpa melibatkan imajinasi, perasaan, maupun kebiasaan mereka dalam penceritaan kejadian- kejadian tersebut. Mereka berusaha keras menjaga riwayat yang mereka susun agar terbebas dari manipulasi maupun distorsi.

Mereka memandang bahwa kejadian bersejarah yang diketahui melalui semua kaidah ilmiah yang sangat rinci itu merupakan fakta suci yang harus ditampilkan di hadapan publik apa adanya. Mereka memandang, tergolong pengkhianatan yang tidak bisa diampuni jika, melalui analisis kepribadian dan kecenderungan jiwa yang biasanya merupakan cerminan lingkungan dan masyarakat, seseorang yang dianugerahi kemampuan untuk menilai mana yang fakta dan mana yang fiksi kemudian mengubah atau merekayasanya sekehendak hatinya.

Dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah dan dilandasi pandangan objektif terhadap sejarah itulah Sîrah Nabi Saw. sampai kepada kita, mulai dari kelahiran, pengasuhan, masa kanak-kanaknya, dan masa mudanya; juga berbagai tanda kenabian yang luar biasa, yang menyertai tahapan-tahapan masa kecil dan masa mudanya; pengutusannya dan turunnya wahyu dalam hidupnya; juga mengenai keutamaan akhlak,


kejujuran, dan amanahnya; aneka kejadian luar biasa dan mukjizat yang dianugerahkan Allah melalui beliau; hingga berbagai tahapan dakwah yang dijalaninya dalam menunaikan perintah Tuhannya, seperti berdamai, membela diri, berperang setiap kali dakwah mendapat ancaman; hingga aneka hukum dan prinsip syariat yang diwahyukan kepadanya, baik berupa Al-Quran yang bersifat mukjizat maupun hadis yang menjelaskan dan menerangkan.

Dengan demikian, para penulis Sîrah generasi pertama dan kedua hanya mentransfernya kepada kita dengan panduan metodologi yang jelas dan ketat. Analisis ilmiah dilakukan secara ketat baik terhadap materi yang diriwayatkan (matan atau redaksi) maupun ketepercayaan si periwayat. Mereka akan menyisihkan materi yang dianggap tercampuri kebohongan atau kepalsuan. Mereka juga menyisihkan riwayat yang dikisahkan para perawi yang dari sisi karakter pribadinya dianggap tidak dapat dipercaya.

Sementara, aktivitas penyusunan atau pengambilan kesimpulan hukum, prinsip, dan kandungan riwayat-riwayat itu (setelah diterima secara sempurna) merupakan aktivitas ilmiah lain yang tidak ada kaitannya dengan sejarah, dan sama sekali tidak pantas dicampuradukkan dengan sejarah. Itu merupakan aktivitas ilmiah tersendiri yang independen. Ia memainkan perannya berdasarkan metodologi dan kaidah lain. Aktivitas ini dilakukan dengan mengikuti panduan ilmiah yang akan menjaganya dari kekeliruan dan dorongan nafsu yang disebut para penulis masa kini, seperti William James, sebagai “kehendak keyakinan”.

Kaidah yang melandasi aktivitas itu di antaranya adalah al-qiyâs al-istiqrâ’i (analogi induktif), yang melibatkan berbagai bentuk aturan, segala macam tanda, isyarat, serta petunjuk, dan sebagainya. Dari pelbagai kejadian dalam perjalanan hidup Nabi Saw.—dengan mengikuti kaidah ini—ditariklah berbagai istinbâth (kesimpulan) hukum, antara lain ada yang berkaitan dengan akidah dan keyakinan, ada pula yang berkaitan dengan legalisasi syariat serta suluk. Yang


penting dalam hal ini adalah kita mengetahui bahwa kaidah-kaidah itu datang secara terpisah dari pencatatan atau penyusunan sejarah, dan jauh dari pengertian atau pun ruang lingkupnya. Kaidah-kaidah ini merupakan hasil kerja keras ilmiah lain yang didasari bangunan sejarah yang memainkan perannya berdasarkan kaidah ilmiah yang telah saya sebutkan.

 

Sîrah Nabi Menurut Sejarawan Modern

Pada abad ke-19, muncul berbagai macam aliran dan metode pencatatan dan penyusunan sejarah, selain metode objektif, atau yang disebut dengan metodologi ilmiah. Sebagian besar aliran itu saling bertemu dalam apa yang saya sebut sebagai aliran subjektif. Sigmund Freud pun dianggap sebagai salah satu pengusung dan penggiat penting aliran itu.

Para tokoh aliran itu tidak menganggap masalah jika sejarawan melibatkan kecenderungan pribadinya dan juga pemikiran, agama, atau kecenderungan politiknya ketika menyusun, menafsirkan, dan menilai berbagai peristiwa dan para pelaku sejarah. Bahkan, mereka menganggap keterlibatan itu sebagai keniscayaan bagi sejarawan. Mereka tidak hanya menyebutkan riwayat dan kabar atau sekadar menghimpun fakta-fakta yang telanjang, tetapi mereka juga harus melibatkan diri dalam penafsirannya.

Metode itu menjadikan pencatatan dan penyusunan sejarah sebagai sebuah kerja seni, dan tidak membiarkannya menjadi karya ilmiah yang rinci. Meskipun tidak bermaksud membicarakan berbagai aliran sejarah atau mengkritiknya, saya merasa perlu untuk mengungkapkan keberatan saya atas aliran tersebut dan para pengusungnya. Di era perkembangan metodologi penelitian ilmiah, aliran subjektif tersebut merusak dan mengaburkan fakta-fakta berbagai peristiwa sejarah. Sebab, para pengusung aliran itu menuruti aneka firasat dan keinginan (syahwat) pribadi serta fanatisme nafsu. Betapa banyak fakta yang


terhapus, peristiwa yang terdistorsi, dan orang-orang tak bersalah yang terzalimi di bawah dominasi “pengadilan” ngawur yang sewenang- wenang itu.

Nah, apakah aliran baru itu berdampak pada pencatatan Sîrah dan cara menganalisisnya? Kenyataannya, aliran baru dalam pencatatan sejarah itu telah menjadi landasan bagi aliran baru dalam mengkaji dan memahami Sîrah Nabi yang dilakukan sekelompok sejarawan. Lantas, bagaimana aliran ini berkembang? Apa sajakah faktor-faktor perkembangannya? Dan, ke manakah aliran itu menuju di zaman sekarang?

Perkembangan aliran itu mulai berkembang di Timur pada era penjajahan Inggris atas Mesir. Sebagaimana kita ketahui, pada masa itu Mesir merupakan mimbar dunia Islam. Dunia Islam mengarahkan pikiran dan akalnya ke sana setiap kali ingin mengetahui suatu ilmu tentang Islam, layaknya dunia Islam mengarahkan wajahnya ke Ka`bah saat mendirikan shalat atau pun menjalankan ibadah haji. Posisi Mesir yang menjadi kiblat dunia Islam dalam bidang pengetahuan di masa itu dan terpusatnya perhatian kaum Muslim ke negeri ini mengusik ketenangan penjajah Inggris. Meksipun Inggris menundukkan seluruh negeri di bawah satu kekuasaan melalui peperangan dan kekerasan, itu hanyalah ketundukan sementara yang tidak memberi rasa aman, selama Al-Azhar masih memegang kepemimpinan dalam bidang keilmuan.

Oleh karena itu, penjajah Inggris mesti menempuh salah satu dari dua solusi ini. Pertama, memutuskan hubungan antara Al-Azhar dan kaum Muslim dengan berusaha membatasi dan mengurangi kekuasaan dan dominasi ilmiahnya atas dunia Islam. Kedua, menyusupi pusat operasional kepemimpinan dalam tubuh Al-Azhar sehingga berbagai kebijakan Al-Azhar mengarah pada kepentingan penjajah serta membantu penjajah untuk menciptakan ketenangan dan stabilitas di negeri jajahannya.


Inggris tidak ragu memilih solusi kedua, dengan pertimbangan bahwa solusi itu paling mungkin dan paling mudah dilakukan dan jauh dari kemungkinan terendus kaum Muslim.5

Satu-satunya jalan untuk menyusupi kepemimpinan ilmu dan pemikiran dalam tubuh Al-Azhar adalah mengandalkan titik kelemahan yang tengah diidap seluruh umat Islam, termasuk Mesir dan negeri-negeri lainnya, yaitu perasaan sia-sia, tertinggal, bodoh, dan tercerai-berai yang dialami kaum Muslim, sementara mereka melihat kebangkitan luar biasa yang dialami Barat dalam berbagai bidang pemikiran, ilmu pengetahuan, dan peradaban! Tidak disangsikan lagi, kaum Muslim memang menanti-nantikan hari ketika mereka terbebas dari segala beban yang membuat mereka tertinggal agar mereka bisa bergabung dengan umat lain dalam laju peradaban, kemajuan, dan perkembangan ilmu pengetahuan modern.

Melalui jalan itulah, bisikan bahkan tipu daya kolonial menyusupi dada dan kepala sebagian pemikir Muslim di Mesir. Bisikan itu mengungkapkan bahwa Barat baru bisa terbebas dari belenggu kebodohan dan ketertinggalan ketika mereka menundukkan agama di bawah panduan ilmu pengetahuan. Mereka maju ketika memisahkan dengan tegas antara ilmu pengetahuan dan agama. Keduanya bisa berjalan bersama ketika yang pertama (agama) tunduk pada yang kedua (ilmu pengetahuan). Lebih jauh mereka membisikkan, jika dunia Islam benar-benar ingin terbebas seperti itu maka tidak ada pilihan selain menempuh jalan yang sama: memahami Islam layaknya orang Barat memahami Kristen. Kemajuan dunia Islam baru akan terwujud jika pemikiran Islam dibebaskan dari segala hal gaib yang tidak bisa dipahami dan tidak tunduk pada standard ilmu pengetahuan modern.


Orang-orang yang silau oleh fenomena kebangkitan Eropa modern pun langsung tunduk dan mengikuti bisikan itu. Mereka


adalah kalangan yang hakikat keimanan belum mengakar kuat dalam jiwa mereka, sementara segala hakikat dan prinsip ilmu pengetahuan modern pun belum menjelma dalam akal mereka. Maka, dengan penuh semangat mereka menyeru dunia Islam untuk menanggalkan keyakinan terhadap segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat dirasionalisasi atau tidak dapat disingkapkan pengetahuan modern. Berbagai fenomena yang ganjil atau ajaib yang tidak dapat dipahami akal harus diabaikan. Mereka melakukan apa yang kemudian saya sebut sebagai “reformasi agama”. Gerakan itu menuntut mereka untuk melakukan banyak hal, termasuk di antaranya mengembangkan cara penulisan dan pemahaman Sîrah Nabi dengan mengandalkan metode analisis baru sesuai dengan tujuan mereka. Yaitu, memalingkan umat dari segala sesuatu yang gaib dan luar biasa yang tidak dipahami atau tidak dapat diterima ilmu pengetahuan modern.

Salah satu bidang yang kemudian mereka garap adalah pencatatan sejarah. Dengan mengagungkan metode penelitian modern, mereka mengotak-atik sejarah Islam sesuai dengan hasrat dan tujuan mereka sendiri. Dalam bidang ini, mereka memiliki sandaran terbaik yang membantu mereka mewujudkan tujuan. Maka, mulailah bermunculan buku-buku dan karya tulis tentang Sîrah Nabi yang menggantikan analisis riwayat, sanad, dan kaidah periwayatan hadis beserta syarat- syaratnya dengan aliran deduksi pribadi, pertimbangan kesenangan jiwa, metode intuisi yang hanya diatur dorongan hasrat, serta segala cara lain yang dikuasai si penulis.

Mulailah mereka menyisihkan segala hal yang tergolong mukjizat dan kejadian luar biasa yang bertentangan dengan kewajaran, termasuk dalam Sîrah Nabi Saw. karena tidak masuk akal. Mereka menganggap semua fenomena itu sebagai sesuatu yang mustahil terjadi. Kemudian, mereka menyematkan pada diri Rasulullah Saw. sifat jenius, agung, pemberani, dan lain-lain. Agar pembaca tidak lagi memikirkan segala sifat kenabian, wahyu, risalah, dan sebagainya


yang akan mengarahkan mereka pada berbagai hal yang tidak biasa, yang justru merupakan unsur-unsur utama kepribadian Nabi Saw.

Buku Hayat Muhammad karya Husain Haikal merupakan contoh paling menonjol yang dihasilkan kelompok ini dalam bidang penulisan Sîrah Nabi. Sang penulis, dengan bangga mengungkapkan:

 

“Sungguh, saya tidak mengambil apa yang dicatat dalam buku-buku sejarah klasik dan kitab-kitab hadis, karena saya lebih memilih untuk menempuh cara ilmiah dalam pembahasan ini.”

 

Contoh karya tulis lainnya yang mencatat dan memahami Sîrah Nabi Saw. dengan cara baru itu adalah rangkaian artikel yang disebarluaskan Muhammad Farid Wajdi di Majalah Nur Al-Islam, dengan judul: As- Sirah Al-Muhammadiyyah tahta Dhaw’Al-‘Ilm wa Al-Falsafah (Sîrah Nabi dalam Tinjauan Ilmu dan Filsafat). Dalam salah satu artikelnya itu, dia mengatakan:

 

“Para pembaca kami tentu menyadari bahwa dalam menulis Sirah, kami benar-benar menjaga agar tidak memalingkan suatu fenomena atau peristiwa pada aspek mukjizat selama masih mungkin dicari faktor penyebabnya yang biasa, bahkan sekalipun sedikit dipaksakan.”

 

Contoh lain aliran ini adalah berbagai tulisan karya para orientalis tentang kehidupan Muhammad Saw. Dalam karya-karya tersebut, Anda pasti melihat mereka mengagungkan pribadi Muhammad Saw. dan mengelu-elukan keagungannya serta sifat-sifatnya yang terpuji, tetapi menjauhkan pembaca dari segala aspek yang akan menyadarkan mereka terhadap makna kenabian atau wahyu dalam kehidupan Rasulullah Saw. Karya-karya itu juga tidak memperhatikan segala sanad dan riwayat karena khawatir riwayat dan sanad yang valid itu akan memaksa mereka untuk menerima dan meyakini segala kejadian dan peristiwa yang dianggap ajaib atau luar biasa—sesuatu yang sejak awal mereka hindari.


Dengan mengikuti metode penulisan sejarah yang dikenalkan kolonialis Barat para tokoh “reformasi agama” ini menemukan lapangan luas yang memungkinkan mereka menyingkirkan segala fakta Sîrah Nabi yang tidak mereka sukai meskipun fakta-fakta itu didukung dalil-dalil ilmu pengetahuan dan keyakinan. Mereka lebih memilih kecenderungan nafsu dan selera pribadi demi mewujudkan tujuan mereka seraya berusaha memegang kendali penuh atas berbagai fakta sejarah, menganalisis faktor-faktor yang ada di baliknya, juga menjadi hakim yang memutuskan mana fakta yang dapat diterima dan mana yang harus disingkirkan.

Misalnya, kita dapat melihat bagaimana mereka menakwilkan dan menafsirkan sekehendak hati mereka segala hal luar biasa yang diceritakan oleh hadis mutawatir, dan mungkin juga oleh ayat Al- Quran. Dengan begitu, berbagai peristiwa dan fenomena gaib dan luar biasa berubah menjadi sesuatu yang biasa, normal, masuk akal. Semuanya selaras dengan target dan tujuan aliran tersebut.

Oleh karena itu, burung Ababil ditakwilkan sebagai penyakit cacar, meskipun ada ayat Al-Quran yang tegas berbicara tentang itu. Peristiwa Isra yang diceritakan ayat Al-Quran yang tegas diartikan sebagai perjalanan ruh dan alam mimpi. Sementara, para malaikat yang dikerahkan Allah untuk mendukung kaum Muslim dalam Perang Badar pun ditakwilkan sebagai sokongan mental yang dianugerahkan Allah ke dalam jiwa mereka!

Hal menggelikan dan mengherankan terakhir yang tiba dengan cara itu adalah penafsiran bahwa kenabian Rasulullah Saw., juga keimanan para sahabat kepada beliau, dan segala penaklukan Islam, semua itu tidak lain merupakan revolusi (pemberontakan) terhadap Kelompok Kanan yang dipicu motif-motif ekonomi, serta upaya meraup rezeki dan mencari kelapangan hidup, serta dikobarkan oleh reaksi perlawanan kaum miskin terhadap kaum kaya dan para tuan tanah!


Cara mengkaji dan menganalisis Sîrah Nabi dan sejarah Islam itu merupakan tipu daya berbahaya yang merabunkan mata sebagian kaum Muslim yang berpikiran sederhana, dan cenderung mengikuti nafsu, serta diterima baik oleh sekelompok orang munafik dan para pengekor hawa nafsu lainnya.

Pandangan orang-orang yang berpikiran sederhana itu tidak bisa melihat bahwa bisikan penjajah yang mengajak kaum Muslim kepada apa yang mereka sebut sebagai “revolusi reformis” dalam urusan akidah Islam itu tujuan sebenarnya adalah mencabut akidah Islam ini dari akar-akarnya.

Mereka juga tidak bisa melihat bahwa pembebasan Islam dari segala aspek gaibnya itu hanya berarti penanaman bahan peledak yang akan menghancurkan akidah dan keyakinan Islam dari hati para pemeluknya. Sebab, wahyu Ilahi—yang merupakan mata air dan sumber Islam—dianggap sebagai puncak segala sesuatu yang luar biasa dan gaib. Tidak disangsikan lagi, orang yang menolak berbagai peristiwa luar biasa yang terjadi dalam Sîrah Nabi, dengan dalih semua itu bertentangan dengan tuntutan hukum alam dan pengetahuan modern, menjadi kelompok yang paling bersemangat menolak wahyu Ilahi beserta segala kabar berita yang dikandungnya tentang penghimpunan di Padang Mahsyar, hisab, surga, dan neraka, dengan alasan yang sama.

Mereka juga tidak bisa melihat bahwa agama yang layak itu sendiri tidak memerlukan reformis di suatu zaman tertentu yang memperbaiki urusannya, atau pun gerakan reformasi yang mengubah intisarinya. Mereka tidak bisa melihat semua itu. Padahal, kesadaran mereka tentang semua itu merupakan salah satu tuntutan ilmu pengetahuan yang paling sederhana seandainya mereka mengetahui hakikatnya dan selaras dengan logikanya. Namun, mata mereka dirabunkan silaunya kebangkitan Eropa modern beserta segala lambang dan jargon ilmu pengetahuan yang mengiringinya. Alhasil, dari semua hakikat logika dan ilmu pengetahuan yang ada, mereka hanya melihat tanda-tanda


dan lambang-lambangnya. Seharusnya, mereka berusaha memahami berbagai fenomena gaib itu dan berusaha menyingkapkan segala hakikat yang terkandung di dalamnya. Semestinya mereka bekerja keras dengan metode pengetahuan modern yang mereka kuasai untuk mencerna dengan baik kandungan lambang-lambang tersebut. Mereka mengutamakan metode ilmiah modern dengan dalih reformasi agama didorong mimpi tentang kebangkitan yang, di antaranya, berusaha mengembangkan akidah Islam sebagaimana berkembangnya akidah Kristen di Barat.

Demikianlah, aliran pemikiran baru yang saya singgung secara singkat itu lebih merupakan gejolak dalam jiwa daripada fakta ilmiah yang dapat dipelajari dan dapat menaklukkan akal.

 

Perkembangan Aliran Itu di Zaman Sekarang

Sebenarnya, perhatian pada aliran itu dalam penulisan dan pemahaman Sirah, serta semangat yang muncul di masa tertentu pada diri sebagian orang untuk mengembangkan aliran itu hanya bersifat emosional sementara. Setelah logika itu dilewati atau pemikiran mereka mentok tak dapat menafsirkan berbagai peristiwa ajaib yang didukung dalil- dalil yang sahih, mereka mengabaikan dan meninggalkan metode tersebut. Mereka berdalih, keterlibatan mereka dalam gerakan itu lantaran tergoda berita tentang kebangkitan ilmiah di Eropa yang sebelumnya terbelakang dan bodoh. Mereka juga beralasan bahwa merupakan hal yang wajar jika mata silau saat pertama kali terkena sinar sehingga tidak jelas melihat hakikat segala sesuatu, dan tidak bisa membedakan satu dari yang lain. Maka, seiring perjalanan waktu, dan mata sudah terbiasa dengan cahaya, barulah mereka dapat membedakan segala sesuatu dan tampaklah berbagai hakikat dengan jelas tanpa kesamaran.

Itulah yang benar-benar terjadi. Awan mendung mulai terurai. Generasi muda zaman sekarang mulai melihat dengan pandangan yang


jernih disertai kesadaran dan wawasan yang luas. Mulailah mereka mempelajari serta menelaah hakikat dan intisari ilmu pengetahuan, setelah berlalunya generasi yang menerima jargon-jargonnya dan tunduk pada lambang-lambangnya. Selanjutnya mereka kembali meyakini keberadaan fakta-fakta dan peristiwa luar biasa itu. Mereka muncul kembali sebagai penulis yang berilmu dan pemikir yang bebas. Mereka yakin bahwa segala hal yang disebut sebagai kejadian luar biasa dan mukjizat tidak mungkin diabaikan dan ditiadakan dari Sîrah Nabi Saw. beserta segala fakta dan timbangan ilmu pengetahuannya.

Sebab, berbagai hal luar biasa ini justru disebut “luar biasa” karena ia memang keluar dari apa yang dianggap biasa oleh manusia. Lagi pula, kewajaran dan kebiasaan tidak bisa menjadi tolak ukur ilmiah untuk menentukan mana yang mungkin terjadi dan mana yang tidak mungkin terjadi. Alangkah mustahilnya ilmu pengetahuan pada suatu zaman tertentu untuk memvonis bahwa segala hal biasa yang akrab di mata manusia merupakan satu-satunya hal yang mungkin terjadi, dan bahwa segala yang tidak biasa yang asing di mata manusia tidak mungkin terjadi.

Setiap peneliti dan cendekiawan kontemporer mengetahui fakta paling anyar bahwa hubungan yang kita lihat antara sebab dan akibat tidak lain merupakan hubungan persambungan teratur yang menghasilkan analisis, lalu melahirkan justifikasi, yang kemudian melahirkan hukum yang mengikuti hubungan tersebut, bukan sebaliknya.

Jika Anda bertanya kepada ahli yang berpegang pada hukum (rumusan) ilmiah itu tentang hal yang luar biasa atau mukjizat Ilahi, tentu dia menjawab pertanyaan Anda itu dengan jawaban yang dapat dipahami seluruh dunia, bahkan oleh semua orang yang memiliki wawasan modern, bahwa:

 

“Hal yang luar biasa dan mukjizat bukanlah topik pembahasan atau bidang saya. Maka, saya sama sekali tidak dapat menilainya. Namun,


jika suatu hal yang luar biasa terjadi tepat di hadapan saya maka seketika itu juga ia menjadi topik yang mesti dilihat dan dianalisis, lalu diterangkan dan dijelaskan, kemudian hal luar biasa itu menghadirkan hukumnya (rumusannya) yang mengikutinya.”6

 

Sudah berlalu zaman ketika sebagian ilmuwan mengira bahwa dampak berbagai kejadian alami merupakan dampak pasti yang sulit ditentang atau diubah. Maka, menanglah kebenaran yang senantiasa diperjuangkan dan dibela para ulama secara umum, dan oleh Imam Al-Ghazali secara khusus, bahwa hubungan antara sebab dan akibat tidaklah lebih dari ikatan persambungan semata. Ilmu, dengan segala hukumnya (rumusannya), hanyalah dinding yang berdiri di atas fondasi persambungan ini. Sementara, rahasia persambungan ini seketika itu juga adalah Tuhan Yang Mahaagung yang memberi segala sesuatu penciptaannya lalu memberinya petunjuk.

Kita pun telah melihat bagaimana pengusung positivis, David Humme, menampakkan hakikat ini dengan bukti yang paling jernih dan tajam. Ya, setiap manusia berakal yang menghormati akal dan fakta, ketika menerima suatu berita, baik tentang hal luar biasa maupun hal biasa, harus menetapkan satu syarat, yaitu sampainya berita itu kepadanya melalui cara ilmiah yang lurus dan berdasarkan kaidah periwayatan dan persanadan serta tuntutan kaidah al-jarh wa at-ta‘dîl. Sebab, cara itulah yang akan membuahkan kepastian dan keyakinan. Sementara, perincian pendapat dalam timbangan ilmiah yang agung ini mengharuskan uraian panjang lebar yang sama sekali bukan topik pembahasan kita kali ini.

Para ahli ilmu di zaman sekarang pasti sangat terkejut ketika mendengar kata-kata yang ditandaskan Husain Haikal dalam pen- dahuluan bukunya, Hayat Muhammad:

 

 


6          Lihat pembahasan yang rinci dalam buku Kubra Al-Yaqîniyyât Al-Kawniyyah karya penulis, hlm. 329 dan seterusnya.


22   DR. Al-Buthy

 “Sungguh, saya tidak mengambil apa yang dicatat dalam buku-buku sejarah klasik dan kitab-kitab hadis, karena saya lebih memilih untuk menempuh cara ilmiah dalam pembahasan ini.”

 

Mungkin, dia berusaha membuat Anda tenang dengan mengatakan bahwa dia tidak mau mengambil hadis yang terbukti sahih dari kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim demi menjaga kehormatan ilmu pengetahuan! Ungkapannya itu seakan-akan berarti bahwa apa yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari—setelah melewati prosedur analisis dan seleksi yang sangat ketat dan luar biasa dan setelah mengerahkan segala kemampuan ilmiah dengan sikap yang sangat hati-hati—merupakan penyimpangan dari jalan ilmu pengetahuan! Sementara, cara-cara deduksi, firasat, perkiraan, dan apa yang mereka sebut metode intuisi berarti menjaga kehormatan ilmu pengetahuan, serta setia pada timbangan dan jalannya?

Bukankah itu justru bencana yang menimpa ilmu pengetahuan?

 

 

Kajian Sîrah Nabi

Sudah dimaklumi bahwa ketika muncul di Jazirah Arab, Muhammad Saw. menampilkan dirinya kepada dunia bahwa beliau adalah nabi yang diutus Allah Swt. bagi seluruh manusia untuk menegaskan hakikat yang dibawa para nabi sebelumnya, dan mengembankan kepada mereka tanggung jawab yang dulu diembankan para nabi kepada kaumnya masing-masing. Beliau juga menjelaskan bahwa beliau adalah nabi terakhir yang diutus dalam rangkaian gerbong para rasul yang sambung-menyambung seiring zaman. Selain itu, beliau menerangkan bahwa beliau hanyalah manusia biasa yang memiliki seluruh perangai manusia dengan segala hukumnya. Hanya saja, Allah Swt. memberinya amanah—melalui wahyu—untuk menyampaikan risalah kepada manusia. Risalah yang mengenalkan mereka pada identitas hakiki mereka dan menyadarkan mereka tentang posisi kehidupan dunia ini dalam skema kerajaan Ilahi, baik dari sisi


Perkembangan Kajian Sîrah Nabi ...    23

 

waktu maupun tempat. Risalah yang menjelaskan tujuan perjalanan mereka setelah kematian, serta mengarahkan pandangan mereka pada pentingnya harmoni antara perilaku yang bersifat pilihan dan jatidiri yang bersifat pasti. Tegasnya, mereka harus menjadi hamba Allah dengan keyakinan dan perilaku. Penghambaan ini mesti terwujud dalam kenyataan. Selanjutnya, beliau menegaskan kepada mereka dalam setiap kesempatan bahwa beliau tidak dapat menambah, mengurangi, atau mengubah sedikit pun isi risalah yang diembankan Allah Swt. untuk disampaikan kepada seluruh manusia. Bahkan, firman Allah menegaskan hakikat ini:

 

Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat jantungnya. Maka, sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. (QS Al-Hâqqah [69]: 44–47)

 

Jadi, Muhammad Saw. tidak menampilkan dirinya kepada dunia sebagai pemuka politik, pemimpin bangsa, atau tokoh pemikir, atau seorang reformis sosial. Bahkan, beliau sama sekali tidak pernah menganggap segala tindak-tanduk yang telah diwahyukan kepada beliau itu sebagai upaya pribadinya sendiri.

Maka, jika kita ingin mengkaji kehidupan sosok istimewa seperti beliau, kita harus mengkaji seluruh kehidupannya melalui identitas diri yang beliau tampilkan kepada dunia, agar kita bisa mengetahui kejujuran atau ketidakjujuran yang dikandungnya berdasarkan kata- kata yang diucapkannya!

Tak diragukan lagi, upaya ini mewajibkan kita untuk mengkaji seluruh aspek kepribadian dan kemanusiaan Nabi Saw. Namun, semua upaya itu harus dilakukan dengan tujuan untuk mengambil secercah petunjuk yang menyingkapkan kepada kita bukti-bukti yang ilmiah dan objektif tentang hakikat identitas diri yang beliau tampilkan pada dunia ini.


24   DR. Al-Buthy

 

Mungkin kita mengakui bahwa kita tidak terpaksa mencurahkan pikiran pada makna-makna kenabian dan kerasulan dalam kepribadian Muhammad Saw., seperti yang beliau kehendaki, jika semua itu tidak ada kaitannya dengan kondisi kita dan tidak ada urusannya dengan kebebasan dan perangai kita.

Adapun apabila masalah itu berkaitan dengan urusan pribadi kita serta menyingkap segala karakteristik dan perangai kita, pastilah kita menghadapi penderitaan besar dan kebinasaan. Dengan demikian, persoalan itu lebih serius dan penting daripada yang kita bayangkan. Kita sama sekali tidak dapat mengacuhkannya begitu saja.

Termasuk abai dan lalai jika kita menghindari upaya mengkaji identitas diri yang diperkenalkan Muhammad Saw. pada dunia ini, kemudian menyibukkan diri untuk mempelajari dan mencermati sisi- sisi lain kepribadiannya yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kita, serta tidak ada persentuhannya dengan identitas tersebut.

Pengabaian apa kiranya yang lebih parah daripada ketika laki- laki istimewa ini, Muhammad bin Abdullah Saw., berdiri di hadapan kita untuk mengungkapkan jatidirinya, lalu dengan tegas dan penuh perasaan beliau bersabda, “Demi Allah, kalian pasti benar-benar mati layaknya kalian tidur, dan kalian pasti benar-benar dibangkitkan layaknya kalian bangun tidur. Dan, demi Allah, pastilah itu surga yang abadi atau neraka yang abadi,” tetapi kemudian kita tidak menghiraukan kepribadian dan ucapannya itu, kita malah mem- perhatikan kejeniusan, kefasihan, dan kebijaksanaannya?

Bukankah ini seperti seseorang datang menemui Anda di persimpangan jalan, lalu memberi petunjuk tentang arah jalan yang mengantarkan Anda kepada tujuan serta mewanti-wanti Anda jangan mengambil jalan yang berbahaya, tetapi Anda tidak menggubris semua ucapannya itu. Alih-alih, Anda hanya memperhatikan penampilan, warna baju, dan gaya bicaranya. Tidak cukup dengan itu, Anda kemudian menjadikan ketiga hal itu sebagai objek kajian dan analisis. Bukankah itu perilaku yang bodoh?



Logika menuntut kita untuk mengkaji kehidupan junjungan kita Muhammad Saw. dari berbagai sisi: kelahiran dan pertumbuhannya, akhlaknya, kehidupan pribadi dan lingkungannya, kesabaran dan perjuangannya, masa damai dan perangnya, interaksinya dengan kawan dan lawannya, sikapnya terhadap dunia dan perhiasannya, dan sebagainya. Kita harus mengkajinya secara objektif, jujur, dan cermat berdasarkan metodologi ilmiah yang menuntut penerapan kaidah-kaidah riwayat dan sanad serta segala syarat kesahihan yang dikandungnya. Menurut saya, logika menuntut kita untuk mengkaji semua itu, sebagai tangga untuk mencapai ujung pembahasan dan kajian yang membuktikan dan menegaskan kenabiannya serta menjelaskan hakikat wahyu dalam kehidupannya. Lantas, ketika semua itu tampak jelas bagi kita melalui pembahasan yang objektif dan bebas dari segala kecenderungan nafsu atau fanatisme, kita pun menyadari bahwa beliau tidak pernah membuat sendiri suatu syariat atau hukum bagi kita. Beliau hanya bertugas menyampaikannya kepada kita, sebagai ketentuan yang pasti dari sisi Tuhan semesta alam. Saat itulah, kita menyadari betapa agungnya tanggung jawab kita dalam melestarikan dan melaksanakan berbagai syariat dan hukum ini.

Selanjutnya, semua orang yang mengkaji Sîrah Nabi Saw., tetapi membatasinya hanya dari sisi kemanusiaannya dan menjauhkannya dari identitas yang ditampilkan Nabi Saw. kepada manusia maka dia harus mengurung dirinya sendiri dalam misteri tertutup yang tidak ada jalan keluar darinya dengan metode analisis apa pun. Sebagai contoh, dia pasti merasa bingung dan linglung menyingkap misteri penaklukan Islam sehingga kemudian mengatakan bahwa pasukan Arab yang dulunya saling berperang satu sama lain itu pasti memiliki kekuatan sihir sehingga dapat menghancurkan benteng peradaban Persia dan kerajaan besar Romawi.

Contoh lainnya, mestilah dia bingung melihat betapa sempurnanya hukum Islam yang diberlakukan di Jazirah Arab padahal kawasan


26   DR. Al-Buthy

 

itu sebelumnya nyaris tidak mengenal kebudayaan dan tidak pernah melahirkan peradaban besar. Hukum itu benar-benar paripurna dan mengubah wajah Jazirah Arab. Meskipun, kawasan itu baru lahir laiknya bayi yang baru mengenal dunia. Jazirah Arab di masa itu baru mengenal peradaban, menambah wawasan, dan membangun komunitas yang kompleks. Bagaimana keadaan itu bisa dipahami sosiolog atau sejarawan yang mengandalkan rasio, yang memastikan bahwa kesempurnaan undang-undang di tengah suatu komunitas merupakan buah kematangan budaya dan peradabannya serta hasil dari unsur-unsur sosialnya yang terus berkembang?

Semua itu adalah misteri tertutup. Tidak mungkin orang yang tidak mempertimbangkan kenabian Muhammad Saw. menemukan jawaban apa pun di luar jawaban yang dianggap masuk akal dan normal. Alangkah seringnya kita melihat para penulis dari kelompok ini tampak kebingungan mencari-cari jawaban yang sering kali dipaksakan agar bisa keluar dari kebingungan. Namun, mereka tidak pernah menemukan penjelasan yang memuaskan.

Padahal, jawaban dan jalan keluar dari kebingungan itu sangat jelas. Jawabannya adalah bersikap logis dan objektif dalam mengkaji Sirah Nabi Saw., serta menjadikan identitas diri Muhammad Saw. yang beliau tampilkan kepada manusia sebagai poros untuk mengkaji seluruh kehidupannya.

Jika kita mengkaji Sîrah Nabi Saw. disertai keyakinan bahwa beliau adalah seorang nabi yang diutus Allah Swt., niscaya kita tidak akan merasa bingung atau linglung mencari jawaban dan penjelasan. Kita akan diarahkan pada upaya untuk mengungkapkan rahasia besar di balik berbagai fenomena yang ajaib dan di luar kebiasaan itu. Jika kita meyakini kenabian Muhammad, dengan mudah kita akan menerima bahwa beliau pasti dianugerahi dukungan dan pertolongan Allah yang telah mengutus beliau. Dan, kita pun mengimani tanpa ragu bahwa Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada


Perkembangan Kajian Sîrah Nabi ...    27

 

beliau. Dengan demikian, undang-undang paripurna yang diterapkan di Jazirah Arab sesungguhnya merupakan firman Allah dan ketetapan- Nya, bukan hasil kreasi manusia yang buta huruf. Tanpa keyakinan itu, siapa pun tetap akan dilanda keheranan dan kebingungan melihat keajaiban tersebut. Allah berfirman kepada kaum beriman:

 

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang yang beriman. (QS Âli ‘Imrân [3]: 139)

Dan, Kami hendak memberi karunia kepada orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang yang mewarisi (bumi). (QS Al-Qashash [28]: 5)

(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut- turut.” Dan, Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan, kemenangan itu hanya dari sisi Allah. Sungguh Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS Al-Anfâl [8]: 9–10)

 

Maka, menjadi jelaslah segala sesuatu yang sebelumnya samar, tampak terang, terurailah awan mendung, dan segala sesuatu yang tampak ajaib itu kini terlihat wajar dan normal, karena Sang Pemilk kekuatan dan kekuasaan senantiasa menolong orang yang beriman kepada-Nya, yang selalu mengikuti pedoman-Nya, serta mewujudkan kemenangan bagi mereka atas siapa saja yang Dia kehendaki.

Justru yang membingungkan adalah seandainya Allah mewajibkan kemenangan bagi Rasul-Nya dan dukungan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, tetapi mukjizat kemenangan dan pertolongan itu tak pernah terjadi dalam kenyataan.[]