Seni dan Budaya Indonesia

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa, dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari kekayaan intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang-undang. Kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para Penciptanya. Dengan demikian kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para Penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara. Artinya warisan seni budaya Indonesia adalah aset bangsa yang wajib dilindungi keberadaannya.
Undang-Undang Hak Cipta berlaku bagi semua ciptaan warga negara, penduduk, dan badan hukum Indonesia. Semua Ciptaan bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia yang diumumkan untuk pertama kali di Indonesia.
Semua penciptaan bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia, dengan ketentuan: (i) Negaranya mempunyai perjanjian bilateral mengenai perlindungan hak cipta dengan Negara Republik Indonesia; atau (ii) Negaranya dan Negara Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai perlindungan Hak Cipta. Jadi jelas bahwa UUHC tidak hanya berlaku dalam tataran nasional, melainkan berlaku juga dalam tataran internasional.

Eksploitasi Seni Budaya Tradisional
Pengarang, seniman dan pencipta dari masyarakat tradisional atau pedesaan jarang menerima imbalan finansial yang memadai untuk kekayaan intelektual berupa Pengetahuan Tradisional yang dieksploitasi. Sebagai contoh misalnya, seorang Achim Sibeth (antropolog) memasuki wilayah masyarakat desa di Tanah Batak dan kemudian menulis buku Living with Ancestors The Batak People of Island of Sumatra. Sebuah buku Antropologi kebudayaan yang lengkap, termasuk Art and Craft, Batak Script and Literature, Black-smith’s work, Bronze Work, Works of goldsmiths and silversmiths, Textil, Ulos, Dance and Music, Domestic Architecture Toba and Karo Batak, dan dengan bebas memotret karya-karya itu untuk ilustrasi penerbitan buku 239 halaman itu. Fenomena pemberlakuan Hak Cipta pada kasus ini paling tidak menyajikan dua masalah: (1) Achim Sibeth, memperoleh untung dari penjualan buku, sementara mas-yarakat desa tidak mendapatkan imbalan finansial apapun. (2) Karena buku itu mempunyai nilai budaya atau spiritual untuk seluruh masyarakat Batak, maka pemanfaatan komersial seperti itu dapat menying-gung perasaan masyarakat. (Misalnya cerita adat yang kerahasiaannya dijaga ketat dan bersifat sangat penting dan dipelihara secara turun temurun oleh masyarakat Batak) secara terbuka diungkapkan ke-pada dunia. Adakah perlindungan hukum bagi kasus seperti ini? Dalam hal ini Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. Negara meme-gang Hak Cipta atas folkor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, lukisan, patung, topeng, wayang, ornamen, arsitektur, batik, reog, tari, drama, dan banyak lagi karya seni lainnya. Namun pelaksanaan Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Dikenal seperti ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dan kita berharap Peraturan itu akan segera “diciptakan” dengan memperhatikan kepen-tingan masyarakat banyak yang menjadi subjek dan objek penerapan Hak Cipta.