Tawassul Dengan Nabi Saw Ketika Beliau Masih Hidup
Berdo’a dengan metode tawassul juga telah diajarkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, diantara sahabat yang berdo’a dengan cara tawassul adalah kisah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dan Imam At Tirmidzi.‘Utsman bin Hunaif mengisahkan bahwa pada suatu ketika ada seorang lelaki buta mengadu kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, ia berkata kepada Rosululloh :
يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ وَقَدْ شَقَّ عليَّ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ :اِئْتِ الْمِيْضأةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيُجْلِي لِي عَنْ بَصَرِي ، اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِي فِي نَفْسِي ، قَالَ عُثْمَانُ : فَوَاللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلَا طَالَ بِنَا الْحَدِيْثُ حَتَّى دَخَلَ الرَّجُلُ وَكَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضَرَرٌ
“Ya Rosulalloh, sungguh saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa berat,” kata laki-laki buta tersebut. Kemudian Rosululloh memerintahkan : “Pergilah ke tempat wudhu dan berwu-dhulah, kemudian sholatlah dua roakaat.”
Selanjutnya laki-laki tersebut berdo’a : “Ya Alloh, sungguh saya memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rohmat. Wahai Muhammad saya bertawassul denganmu kepada Tuhanmu agar Dia menyembuhkan pandanganku. Ya Alloh, terimalah syafa’atnya untukku dan terimalah syafaatku untuk diriku.”
Utsman (yang meriwayatkan hadits) berkata : “Maka demi Alloh, kami belum bubar dan belum lama obrolan selesai, sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.”
Imam Al Hakim meriwayatkan hadits diatas dalam Al Mustadrok, dan beliau berkata bahwa hadits tersebut shohih, sedang Imam At Tirmidzi menilai hadits diatas sebagai hadits hasan shohih yang ghorib.
Perlu dicatat, bahwa dalam redaksi hadits tersebut tidak terdapat keterangan bahwa Rosululloh mendo’akan laki-laki tersebut, Rosululloh hanya menyuruhnya berwudhu, kemudian sholat dua roka’at dan mengajari berdo’a sebagaimana dalam hadits diatas.
Tawassul Dengan Nabi Sesudah Wafatnya Beliau
• Utsman bin Hunaif Mengajarkan TawassulDalam riwayat Imam At Thobaroni, sahabat ‘Utsman bin Hunaif menuturkan sebuah kisah yang berkaitan dengan hadits diatas:
أَنَّ رَجُلاً كَانَ يَخْتَلِفُ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي حَاجَةٍ لَهُ ، وَكَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ وَلَا يَنْظُرُ فِي حَاجَتِهِ ، فَلَقِيَ الرَّجُلُ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَيْهِ ، فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ : اِئْتِ الْمِيْضأةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فيه رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قُلْ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيَقْضِي حَاجَتِي . وَتَذْكُرُ حَاجَتَكَ. فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ فَصَنَعَ مَا قَالَ لَهُ ، ثُمَّ أَتَى بَابَ عُثْمَانَ فَجَاءَ الْبَوَّابُ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ فَأَدْخَلَهُ عَلَى عُثْمَانَ فَأَجْلَسَهُ مَعَهُ عَلَى الطَّنْفَسَةِ وَقَالَ : مَا حَاجَتُكَ ؟ فَذَكَرَ حَاجَتَهُ فَقَضَاهَا لَهُ ، ثُمَّ قَالَ: مَا ذَكَرْتَ حَاجَتَكَ حَتَّى كَانَتْ هَذِهِ السَّاعَةُ ثُمَّ قَالَ: مَا كَانَتْ لَكَ حَاجَةٌ فَائْتِنَا ، ثُمَّ إِنَّ الرَّجُلَ لَمَّا خَرَجَ مِنْ عِنْدِه لَقِيَ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ وَقَالَ لَهُ : جَزَاكَ اللهُ خَيْراً مَا كَانَ يَنْظُرُ فِي حَاجَتِي وَلَا يَلْتَفِتُ إِلَيَّ حَتَّى كَلَّمْتَهُ فِيَّ ، فَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ: وَاللهِ مَا كَلَّمْتُهُ ، وَلَكِنْ شَهِدْتُ رَسُوْلَ اللهِ وَأَتَاهُ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ فَشَكَا إِلَيْهِ ذِهَابَ بَصَرِهِ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ :أَوَ تَصْبِرُ ؟ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ وَقَدْ شَقَّ عليَّ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِي :اِئْتِ الْمِيْضأةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ ادْعُ بِهَذِهِ الدَّعَوَاتِ ،فَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ: فَوَاللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلَا طَالَ بِنَا الْحَدِيْثَ حَتَّى دَخَلَ الرَّجُلُ وَكَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضَرَرٌ قَطُّ
bahwasannya pada masa pemerintahan Kholifah ‘Utsman bin ‘Affan, Seorang lelaki berulang-ulang datang kepada ‘Utsman ibn ‘Affan untuk keperluannya. ‘Utsman sendiri tidak pernah menoleh kepadanya dan tidak mempedulikan keperluannya. Lalu lelaki itu bertemu dengan ‘Utsman ibn Hunaif. Kepada Utsman ibn Hunaif ia mengadukan sikap Utsman ibn ‘Affan kepadanya.
‘Utsman bin Hunaif menyuruh laki-laki tersebut : “Pergilah ke tempat wudlu, lalu masuklah ke masjid untuk sholat dua raka’at. Kemudian bacalah doa’ : Ya Alloh sungguh saya memohon kepada-Mu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, saya menghadap kepada Tuhanmu denganmu. Maka kabulkanlah keperluanku. ” Dan sebutkanlah keperluanmu.
Lelaki itu pun pergi melaksanakan saran dari Utsman ibn Hunaif. Kemudian ia datang menuju pintu gerbang Utsman ibn Affan yang langsung disambut oleh penjaga pintu. Dengan memegang tangannya, sang penjaga langsung memasukkannya menemui Utsman ibn Affan. Kholifah (Utsman Ibn Affan) kemudian mempersilahkan keduanya duduk di atas permadani bersama dirinya. “Apa keperluanmu?” tanya Kholifah. Lelaki itu pun menyebutkan keperluannya, kemudian Kholifah memenuhinya. “Engkau tidak pernah menyebutkan keperluanmu hingga tiba saat ini.” kata Utsman, “Jika kapan-kapan ada keperluan datanglah kepada saya,” lanjut Utsman Ibn Affan.
Setelah keluar, lelaki itu berjumpa dengan Utsman ibn Hunaif dan menyapanya, ia mengira sebelum dirinya bertemu Kholifah, terlebih dahulu ‘Utsman bin Hunaif telah menemui sang Kholifah guna menyampaikan hajatnya, akan tetapi ‘Utsman bin Hunaif menolak prasangka leleki tersebut, dan berkata : “Demi Alloh, saya tidak pernah berbicara dengan Utsman ibn Affan. Namun aku menyaksikan Rosululloh didatangi seorang lelaki buta yang mengadukan matanya yang buta. “Adakah kamu mau bersabar?” kata Nabi. “Wahai Rosululloh, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan,”katanya. Maka Nabi berkata padanya : “Datanglah ke tempat wudlu’ lalu berwudlu’lah kemudian sholatlah dua roka’at. Sesudahnya bacalah do’a ini.” Utsman ibn Hunaif berkata: “Maka demi Alloh, kami belum bubar dan belum lama obrolan selesai, akhirnya lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.” (HR. At Thobaroni.) Setelah menyebut hadits ini At Thobaroni berkomentar, “Status hadits ini shohih.”
• Umar Ibn Khotthob Bertawassul Dengan Paman Nabi
Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar Ibn Khotthhob -rodhiyallohu ‘anhu- penduduk Madinah dilanda paceklik, kemudian Umar Ibn Khotthob memohon kepada Alloh agar diturunkan hujan, dan redaksi do’a yang diucapkan oleh Umar Ibn Khotthob sebagaimana dalam hadits yang diriwayat-kan oleh Imam Bukhori dengan sanad yang bersambung sampai pada Anas bin Malik adalah :
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Alloh sesungguhnya kami pernah bertawassul pada-Mu dengan perantara Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan pada kami, dan sekarang kami bertawassul pada-Mu dengan perantara paman Nabi kami maka turunkanlah hujan pada kami “. Setelah itu mereka dituruni hujan. (HR. Al Bukhori)
Sayyid Muhammad Ibn Alwi Al Maliki menjelaskan dalam kitabnya Mafaahim Yajibu An Tushohhah ; bahwasannya ‘Umar Ibn Khotthob -rodhiyallohu ‘anhu- bertawassul dengan wasilah Abbas Ibn Abdil Muttholib -rodhiyallohu ‘anhu- karena kedudukannya sebagai paman Nabi, dengan demikian Umar Ibnu Khotthob hakekatnya bertawassul dengan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dengan cara paling baik.
Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dengan sanad yang shohih sampai kepada Malik Ad Dari (penjaga gudang pada masa pemerintahan Umar Ibn Khotthob) tentang praktek tawassul yang dilakukan oleh seorang sahabat untuk tujuan yang sama, yakni meminta hujan.
أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لِاُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأُتِيَ الرَّجُلُ فِي الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ اِئْتِ عُمَرَ
Pada masa pemerintahan Umar Ibn Khotthob penduduk Madinah dilanda paceklik, seorang sahabat (bernama Bilal bin Harits Al Muzani sebagaimana riwayat dari Saif) datang ke pusara Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, ia berkata : “Ya Rosulalloh, mintakanlah hujan untuk ummatmu, sungguh mereka telah mengalami kerusakan.”
Kemudian lelaki tersebut didatangi (Rosululloh) dalam mimpinya dan dikatakan padanya : “Datangilah Umar ! “ (Fathul Bari, vol. 4, hal. 496)
Kisah tawassulnya Bilal bin Harits tersebut, disebutkan lebih lengkap oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah.
أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لِاُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ فَقَالَ: اِئْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ مِنِّي السَّلَامَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ مُسْقَوْنَ، وَقُلْ لَهُ: عَلَيْكَ بِالْكَيِّسْ اَلْكَيِّسَ. فَأَتَى الرَّجُلُ فَأَخْبَرَ عُمَرَ ، فَقَالَ : يَارَبِّ ! مَا آلُو إِلَّا مَا عَجزْتُ عَنْهُ .
Kemudian Bilal bin Harits di datangi Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dalam mimpinya, beliau bersabda : “Datangilah Umar, sampaikan salam dariku kepadanya, kabarkan kepada penduduk bahwa mereka akan diberi hujan, dan katakan kepada Umar: “Tetaplah engkau sebagai orang yang pintar !”
Selanjutnya Bilal bin Harits mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya, Umar pun merespon dengan berdo’a: “Ya Tuhanku, saya tidak menyia-nyiakan kecuali terhadap sesuatu yang saya tidak mampu untuk mengerjakannya.” (Al Bidayah Wan Nihayah, vol. I, hal. 91)
Seandainya apa yang dilakukan oleh Bilal bin Harits Al Muzani tersebut termasuk perbuatan syirik, niscaya Umar Ibn Khotthob –rodhiyallohu ‘anhu- sudah pasti memperingatkannya, akan tetapi faktanya tidak demikian.
Tawassul Dengan Pusara Nabi
Al Imam Al Hafidh Ad Darimi menuturkan sebuah hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Abul Jauza’ Aus Ibn Abdillah, ia berkata :قُحِطَ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ قَحْطاً شَدِيْداً فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ، فقَالَتْ : أُنْظُرُوا قَبْرَ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاجْعَلُوا مِنْهُ كُوًّا إِلى السًّمَاءِ حَتَّى لَايَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السًّمَاءِ سَقْفٌ ، قَالَ:فَفَعَلُوا، فَمُطِرْنَا مَطَراً حَتَّى نَبَتَ الْعشْبُ وَسَمِنَتْ الْإِبِلُ (تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِيَ عَامُ الفَتْقِ ،وَمَعْنَى كُوًّا أي نَافِذَة).
Penduduk Madinah mengalami paceklik hebat. Kemudian mereka mengadu kepada ‘Aisyah (istri Rosululloh). “Lihatlah kuburan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dan buatlah lubang dari tempat itu menghadap ke atas hingga tidak ada penghalang antara kuburan dan langit,” perintah ‘Aisyah.
Abul Jauzaa’ berkata; “Lalu mereka melaksanakan perintah ‘Aisyah. Kemudian hujan turun kepada kami hingga rumput tumbuh dan unta menjadi gemuk (lalu tahun tersebut disebut tahun gemuk).” (HR. Ad Darimi dalam Sunan)
Pembuatan lubang di lokasi kuburan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, tidak melihat dari aspek sebuah kuburan, tapi dilihat dari aspek bahwa kuburan itu memuat jasad makhluk paling mulia dan kekasih Alloh. Jadi, kuburan itu menjadi mulia sebab kedekatan agung ini, karenanya kuburan tersebut berhak mendapat keistimewaan yang mulia.
Perlu dicatat, meskipun hadits di atas dinyatakan sebagai hadits mauquf, atau sebatas opini Sayyidah ‘Aisyah –rodhiyallohu ‘anha-, akan tetapi beliau adalah wanita yang mendapat bimbingan langsung dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dan beliau bukanlah orang yang tidak mengetahui makna syirik atau perbuatan yang bisa menyebabkan syirik, terlebih tindakan beliau dilaku-kan di tengah-tengah para Ulama dari kalangan para sahabat di kota Madinah.
• Kisah Al ‘Utbiy
Al Imam Al Hafidh Ibnu Katsir ketika menjelaskan firman Alloh :
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya, datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Alloh, dan Rosulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Alloh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS, An Nisaa : 64)
Beliau menuturkan kisah seorang A’robi sebagai berikut :
عن العُتْبي، قال: كُنْتُ جَالِساً عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَاءَ أَعْرَابِيّ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ: { وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِراً لِذَنْبِي مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّي ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُوْلُ:
Al ‘Utbi (seorang sahabat) bercerita : Suatu ketika saya sedang duduk di samping kuburan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam. Lalu datanglah seorang A’robi (penduduk pedalaman Arab) kepadanya, kemudian A’robi tersebut berkata : “Assalamu’alaika, wahai Rosulalloh, saya telah mendengar Allah berfirman : “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya, datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Alloh, dan Rosulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Alloh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS, An Nisaa : 64)
Dan saya datang kepadamu seraya memohon ampun atas dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Tuhanku.”
Selanjutnya A’robi tersebut mengumandangkan bait-bait syair :
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ … فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ …
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ … فِيْهِ الْعَفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَاْلكَرَمُ …
ثُمَّ انْصَرَفَ الْأَعْرَابِيُّ فَغَلَبَتْنِي عَيْنِي، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ فَقَالَ: يَا عُتْبِى، اِلْحَقْ الْأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ
Wahai orang yang tulang belulangnya dikubur di tanah datar…
Berkat keharumannya, tanah rata dan bukit semerbak mewangi…
Diriku jadi tebusan untuk kuburan yang engkau tinggal di dalamnya…
Di dalam kuburmu terdapat sifat bersih dan kedermawanan…
Kemudian A’robi tadi pergi. Setelah kepergiannya saya (Al ‘Utbi) tertidur dan bermimpi bertemu Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: “Kejarlah si A’robi dan berilah kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, vol. 2, hal. 347)
Kisah ini dituturkan pula oleh :
• Al Hafizh An Nawawi dalam kitabnya yang populer Al Adzkaar, hal. 206. Juga dalam Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, vol. 8 hal, 274.
• Syaikh Abu Muhammad Ibnu Qudamah juga meriwayatkannya dalam kitabnya Al Mughni vol III hlm. 556.
• Syaikh Abul Faroj ibnu Qudamah dalam kitabnya As Syarhul Kabir vol. 3 hlm. 495
• Syaikh Manshur ibn Yunus Al Bahuti dalam kitabnya yang dikenal dengan nama Kasysyaaful Qinaa’ yang notabene salah satu kitab paling populer dalam madzhab Hanbali vol. V hlm. 30 juga mengutip kisah dalam hadits di atas.
Kisah dengan tema serupa juga dituturkan oleh Imam Al Qurthubi -yang merupakan pilar para Mufassirin (para ulama ahli tafsir)- sebagai berikut :
رَوَى أَبُو صَادِقٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: قَدِمَ عَلَيْنَا أَعْرَابِيٌّ بَعْدَ مَا دَفَنَّا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، فَرَمَى بِنَفْسِهِ عَلَى قَبْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحْثًا عَلَى رَأْسِهِ مِنْ تُرَابِهِ؛ فَقَالَ: قُلْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَسَمِعْنَا قَوْلَكَ، وَوَعَيْتُ عَنِ اللهِ فَوَعَيْنَا عَنْكَ، وَكَانَ فِيْمَا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْكَ {وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ} اَلْآيَةَ، وَقَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي وَجِئْتُكَ تَسْتَغْفِرَ لِي. فَنُوْدِيَ مِنَ الْقَبْرِ أَنَّهُ قَدْ غُفِرَ لَكَ.
Abu Shodiq meriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Tiga hari setelah kami mengubur Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, datang kepadaku seorang a’robi. Ia merebahkan tubuhnya pada kuburan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- dan menabur-naburkan tanah kuburan di atas kepalanya sambil berkata: “Engkau mengatakan, wahai Rosululloh!, maka kami mendengar sabdamu dan hafal apa yang dari Alloh dan darimu. Dan salah satu ayat yang turun kepadamu adalah: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya, datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Alloh, dan Rosulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Alloh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS, An Nisaa : 64) Saya telah berbuat dzolim kepada diriku sendiri dan saya datang kepadamu untuk memohonkan ampunan untukku.” Kemudian dari arah kubur muncul suara : “Sesungguhnya engkau telah mendapat ampunan.” (Tafsir Al Qurthubi vol.V hlm. 265)
Apapun status kisah diatas, baik ia masuk kategori shohih ataupun dho’if, yang pasti para Ulama telah banyak yang menuturkannya, jika perbuatan si A’robi tersebut dianggap syirik, maka kami bertanya ; Adakah para ulama diatas telah menuturkan kisah yang dapat mendorong pada perbuatan syirik tanpa menyebutkan status hukumnya? Dan bahkan menjadikannya sebagai penguat penjelasannya…. Bagi kami itu hal yang tidak mungkin, mengingat hal itu justru akan menghilangkan kredibilitas karya-karya mereka.
• Tawassul Dengan Nabi Disaat Sakit Dan Mengalami Musibah
عَنِ الْهَيْثَمِ بْنِ خَنَسٍ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ : أُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ ، فَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ ، فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ .
Dari Al Haitsam ibn Khonas, ia berkata, “Saya berada bersama Abdulloh Ibn Umar -rodhiyallohu ‘anhuma-. Lalu kaki Abdulloh mengalami kram.
“Sebutlah orang yang paling kamu cintai !,” saran seorang lelaki kepadanya. “Yaa Muhammad,” ucap Abdulloh. Maka seolah-olah ia terlepas dari ikatan.
وَعَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ : خَدِرَتْ رِجْلُ رَجُلٍ عِنْدَ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، فَقَالَ لَهُ اِبْنُ عَبَّاسٍ: أُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ ، فَقَالَ: مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَذَهَبَ خِدْرُهُ.
Dari Mujahid, ia berkata; “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma- mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya.
Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam, dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya.
Hadits diatas disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al Kalimut Thoyyib hlm. 165. Tawassul menggunakan ungkapan “Ya Muhammad” adalah tawassul dalam bentuk panggilan.
Beberapa contoh diatas adalah sebagian bukti sekaligus menjadi dalil praktek tawassul mayoritas kaum muslimin di dunia.
Oleh Ustadz Abu Hilya