DAPUNTA Kosiki, penduduk pada kabikuan desa Pamehanan, memimpin upacara penetapan sima bagi
desa Panggumulan, wilayah Puluwati (kini Kabupaten Sleman). Penduduk
desa Panggumulan beroleh anugerah status tanah perdikan berkat jasa
penduduknya memelihara bangunan suci di Kinawuhan.
Mula-mula para pejabat kerajaan hingga tingkat desa dan seluruh hadirin mengenakan bunga dan memakai kawittha (bedak harum) sebagai tanda dimulainya upacara. Mereka duduk di lapangan mengelilingi sanghyang kudur dan sanghyang watu kalumpang. Mereka bersumpah dan mengucap kutukan di hadapan batu sima sembari memotong kepala ayam dan membanting telur, agar sesiapa yang melanggar sumpah akan bernasib selaik kepala ayam yang berpisah dengan badan dan telur yang hancur lebur.
Selepas prosesi pengucapan sumpah, berlangsung acara makan bersama. Tersaji aneka hidangan berupa nasi yang dimasukan ke dalam kuali (dyun) dan nasi yang ditim (skul mantiman), dengan berbagai lauk-pauk. Salah satunya adalah matumpuk asinasin atau bertumpuk olahan ikan yang diasinkan.
Menu olahan ikan yang diasinkan sebagai salah satu lauk-paukpendamping nasi dalam upacara penetapan sima di desa Panggumulan itu tersua dalam Prasasti Panggumulan A dan B yang bertarikh 824 C atau 902 M. Prasasti berbahan tembaga yang terdiri dari tiga lempeng tersebutmemuat informasi mengenai jenis ikan laut yang diasinkan: ikan kakap, bawal (kadiwas), ikan kembung (ruma), dan ikan layar atau pari (layarlayar).
Selain ikan laut, sumber ikan air tawar berupa dlag (ikan gabus) turut pula diasinkan, sebagaimana tersua dalam Prasasti Rukam yang berangka tahun 829 C atau 907 M. Data dari kedua prasasti yang memuat aktifitas upacara penetapan sima
Titi Surti Nastiti, arkeolog pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang memusatkan perhatian pada kajian prasasti masa Jawa Kuno, berpendapat masyarakat Jawa Kuno menyebut ikan yang diasinkan dengan istilah grih. Kata grih berkembang menjadi gereh yang hingga kini masih digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menyebut ikan asin.
“Ikan asin tak hanya menjadi makanan sehari-hari masyarakat Jawa Kuna yang tinggal di pesisir, namun menjadi salah satu komoditi perdagangan,” ujar Titi Surti Nastiti kepada Historia.
Dalam kajiannya mengenai pasar pada masa Jawa Kuno dalam Pasar di Jawa Kuna Masa Mataram Kuna: Abad VIII-XI Masehi Titi Surti Nastiti mengungkapkan bahwa ikan asin merupakan salah satu komoditi perdagangan masyarakat Jawa Kuno yang berasal dari daerah pesisir.Selain dijual di pasar yang berada di tepi sungai, distribusi ikan asin bersama komoditi lainnya dari daerah pesisir dibawa ke pasar yang berada di daerah pedalaman menggunakan perahu melalui jalur sungai (maparahu). Prasasti Tlang berangka tahun 825 C atau 903 M, menyebut adanya tempat tambangan yang menghubungkan dua tepi sungai bagi perahu untuk menaikan atau menurunkan barang dan penumpang.
Ikan asin menjadi barang dagangan di pasar yang hanya buka di hari-hari tertentu (pasaran). Tak ada data prasasti dan sumber manuskrip sejaman yang memberi uraian mengenai harga, namun “salah satu kemungkinannya adalah memakai mata uang pisis sebagai alat tukar,” ujar Titi Surti Nastiti. “Satuan ukuran untuk ikan asin disebut kujur, sebagaimana termuat dalam Prasasti Waharu I (851 C atau 929 M). Tetapi tidak ada kisaran pasti berapa ukuran baku untuk satuan kujur”.
Teknik pengasinan makanan setidaknya telah dikenal sejak masa Neolitik. Ide tersebut berupa pengawetan makanan. “Makanan tidak hanya dimakan mentah-mentah, dibakar atau dipanaskan dengan batu, tetapi juga sudah dipanggang dan direbus. Bahan makan mulai diawetkan dan dijemur, disalai, diasinkan, dan dibumbui,” tulis Prof. Dr. Teuku Jacob, ahli paleoantropologi, dalam “Evolusi Makanan Manusia, Dari Paleonutrisi dan Paleoekonomi Menuju Gizi Futuristik,” dimuat pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi V Yogyakarta, 4-7 Juli 1989.
Teknik pengasinan, menurut Abbas Siregar Djarijah, pengajar pada kursus latihan perikanan, dalam Ikan Asin, bertujuan mengurangi kadar air agar mikroba terutama jenis bakteri tidak dapat berkembang sekaligus menghambat proses perombakan oleh enzim. Dengan jalan itu ikan lebih awet dan tahan lama disimpan. Demi mencapai prose situ, ikan harus melalui proses penggaraman selama 1-3 hari, bergantung pada ukuran ikan.
Kehadiran ikan asin pada masa Jawa Kuno tak bisa lepas dari ketersediaan sumber garam yang menjadi bahan baku teknik pengasinan. Prasasti Biluluk I dengan tarikh 1288 C atau 1366 M, memuat informasi mengenai sumber air asin di desa Biluluk (Lamongan, Jawa Timur), tempat orang-orang membuat garam.
“Setiap pendatang diperbolehkan membuat garam di tempat itu dengan membayar sejumlah pajak tertentu yang ditarik oleh penguasa desa Biluluk,” tulis ahli filologi asal Belanda, Thomas Pigeaud dalam Java in the Fourteenth Century: A Study in Cultural History. The Nagara-kretagama by Rakawi Prapanca Majapahit, 1365 A.D. Jilid I.
sumber : http://historia.id/kuliner/balada-ikan-asin-dari-zaman-jawa-kuno
Mula-mula para pejabat kerajaan hingga tingkat desa dan seluruh hadirin mengenakan bunga dan memakai kawittha (bedak harum) sebagai tanda dimulainya upacara. Mereka duduk di lapangan mengelilingi sanghyang kudur dan sanghyang watu kalumpang. Mereka bersumpah dan mengucap kutukan di hadapan batu sima sembari memotong kepala ayam dan membanting telur, agar sesiapa yang melanggar sumpah akan bernasib selaik kepala ayam yang berpisah dengan badan dan telur yang hancur lebur.
Selepas prosesi pengucapan sumpah, berlangsung acara makan bersama. Tersaji aneka hidangan berupa nasi yang dimasukan ke dalam kuali (dyun) dan nasi yang ditim (skul mantiman), dengan berbagai lauk-pauk. Salah satunya adalah matumpuk asinasin atau bertumpuk olahan ikan yang diasinkan.
Menu olahan ikan yang diasinkan sebagai salah satu lauk-paukpendamping nasi dalam upacara penetapan sima di desa Panggumulan itu tersua dalam Prasasti Panggumulan A dan B yang bertarikh 824 C atau 902 M. Prasasti berbahan tembaga yang terdiri dari tiga lempeng tersebutmemuat informasi mengenai jenis ikan laut yang diasinkan: ikan kakap, bawal (kadiwas), ikan kembung (ruma), dan ikan layar atau pari (layarlayar).
Selain ikan laut, sumber ikan air tawar berupa dlag (ikan gabus) turut pula diasinkan, sebagaimana tersua dalam Prasasti Rukam yang berangka tahun 829 C atau 907 M. Data dari kedua prasasti yang memuat aktifitas upacara penetapan sima
Titi Surti Nastiti, arkeolog pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang memusatkan perhatian pada kajian prasasti masa Jawa Kuno, berpendapat masyarakat Jawa Kuno menyebut ikan yang diasinkan dengan istilah grih. Kata grih berkembang menjadi gereh yang hingga kini masih digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menyebut ikan asin.
“Ikan asin tak hanya menjadi makanan sehari-hari masyarakat Jawa Kuna yang tinggal di pesisir, namun menjadi salah satu komoditi perdagangan,” ujar Titi Surti Nastiti kepada Historia.
Dalam kajiannya mengenai pasar pada masa Jawa Kuno dalam Pasar di Jawa Kuna Masa Mataram Kuna: Abad VIII-XI Masehi Titi Surti Nastiti mengungkapkan bahwa ikan asin merupakan salah satu komoditi perdagangan masyarakat Jawa Kuno yang berasal dari daerah pesisir.Selain dijual di pasar yang berada di tepi sungai, distribusi ikan asin bersama komoditi lainnya dari daerah pesisir dibawa ke pasar yang berada di daerah pedalaman menggunakan perahu melalui jalur sungai (maparahu). Prasasti Tlang berangka tahun 825 C atau 903 M, menyebut adanya tempat tambangan yang menghubungkan dua tepi sungai bagi perahu untuk menaikan atau menurunkan barang dan penumpang.
Ikan asin menjadi barang dagangan di pasar yang hanya buka di hari-hari tertentu (pasaran). Tak ada data prasasti dan sumber manuskrip sejaman yang memberi uraian mengenai harga, namun “salah satu kemungkinannya adalah memakai mata uang pisis sebagai alat tukar,” ujar Titi Surti Nastiti. “Satuan ukuran untuk ikan asin disebut kujur, sebagaimana termuat dalam Prasasti Waharu I (851 C atau 929 M). Tetapi tidak ada kisaran pasti berapa ukuran baku untuk satuan kujur”.
Teknik pengasinan makanan setidaknya telah dikenal sejak masa Neolitik. Ide tersebut berupa pengawetan makanan. “Makanan tidak hanya dimakan mentah-mentah, dibakar atau dipanaskan dengan batu, tetapi juga sudah dipanggang dan direbus. Bahan makan mulai diawetkan dan dijemur, disalai, diasinkan, dan dibumbui,” tulis Prof. Dr. Teuku Jacob, ahli paleoantropologi, dalam “Evolusi Makanan Manusia, Dari Paleonutrisi dan Paleoekonomi Menuju Gizi Futuristik,” dimuat pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi V Yogyakarta, 4-7 Juli 1989.
Teknik pengasinan, menurut Abbas Siregar Djarijah, pengajar pada kursus latihan perikanan, dalam Ikan Asin, bertujuan mengurangi kadar air agar mikroba terutama jenis bakteri tidak dapat berkembang sekaligus menghambat proses perombakan oleh enzim. Dengan jalan itu ikan lebih awet dan tahan lama disimpan. Demi mencapai prose situ, ikan harus melalui proses penggaraman selama 1-3 hari, bergantung pada ukuran ikan.
Kehadiran ikan asin pada masa Jawa Kuno tak bisa lepas dari ketersediaan sumber garam yang menjadi bahan baku teknik pengasinan. Prasasti Biluluk I dengan tarikh 1288 C atau 1366 M, memuat informasi mengenai sumber air asin di desa Biluluk (Lamongan, Jawa Timur), tempat orang-orang membuat garam.
“Setiap pendatang diperbolehkan membuat garam di tempat itu dengan membayar sejumlah pajak tertentu yang ditarik oleh penguasa desa Biluluk,” tulis ahli filologi asal Belanda, Thomas Pigeaud dalam Java in the Fourteenth Century: A Study in Cultural History. The Nagara-kretagama by Rakawi Prapanca Majapahit, 1365 A.D. Jilid I.
sumber : http://historia.id/kuliner/balada-ikan-asin-dari-zaman-jawa-kuno