“Wahai orang-orang yg berIman ingatlah pada nikmat Allah yg diberikan kepadamu, ketika suatu kaum mencengkramkan tangannya berbuat jahat kepadamu, lalu Allah mencegah / menyingkirkan tangan mereka (menyelamatkanmu ), dan bertaqwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah lah hendaknya orang-orang ber Iman itu bertawakal” (Q.S. Al Ma’idah: 11)
OLEH :
AHMAD ADABY DARBAN
MUQADIMAH
Perjuangan untuk memperolah “Kemerdekaan Indonesia” tidaklah muncul begitu
saja, namun melalui proses perjuangan panjang yang telah mendahuluinya.
Kedatangan bangsa Eropa yang tidak bersahabat, mereka datang membawa bedil dan
meriam, dengan pendekatan perang ( baca : Pidato pengukuhan Guru besar Umar
kayam, Transformasi Budaya Kita, 1989
). Dengan semboyan Gospel-Gold-Glory
( penyebaran Bible/ Kristenisasi, mencari kekayaan/ eksploitasi, dan mencari
daerah jajahan/ kejayaan ), mereka dengan politik Devide et Impera memecah belah masyarakat di Indonesia, sedikit
demi sedikit menguasai tlatah Indonesia ini. Perjuangan umat Islam melawan
penjajahan kolonial Portugis, Belanda, dan Inggris dimulai dari
kerajaan-kerajaan, dan kemudian diteruskan oleh perjuangan rakyat semesta yang
dipimpin sebagian besar oleh para ulama. Jadi perjuangan ini dirintis
sejak dari perlawanan kerajaan-kerajaan Islam, kemudian diteruskan dengan
munculnya pergerakan sosial di daerah-daerah, yaitu perlawanan rakyat terhadap
kolonial/penjajahan dan para agen-agennya, sampai dengan munculnya kesadaran
bernegara yang merdeka.
Dalam perjuangan
di kawasan Nusantara, khususnya Indonesia yang mayoritas penduduknya muslimin,
maka peranan Ajaran Islam dan sekaligus Umat Islamnya punya arti yang sangat
penting dan tidak dapat dihapus dalam
panggung sejarah Indonesia.
PERANAN ISLAM SEBAGAI AJARAN MELAWAN
PENJAJAHAN
Ajaran Islam
yang dipeluk oleh sebagaian besar rakyat Indonesia telah memberikan kontribusi
besar, serta dorongan semangat, dan sikap mental dalam perjuangan kemerdekaan. Tertanamnya
“RUHUL ISLAM” yang di dalamnya memuat antara lain :
1.
Jihad fi Sabilillah, telah memperkuat
semangat rakyat untuk berjuang melawan penjajah ( Sartono Kartodirdjo, 1982).
Dengan semangat Jihad, umat akan melawan penjajah yang dlolim, termasuk perang
suci, bila wafat syahid, sorga imbalannya.
2.
Ijin
Berperang Dari Allah SWT. (Q.S. Al Haj : 39) “ Telah diijinkan
berperang bagi orang-orang yang diperangi, sesungguhnya mereka itu
dijajah/ditindas, maka Allah akan membela mereka ( yg diperangi dan ditindas
)”.
3.
Symbolbegrijpen
(Simbol kalimat yang dapat menggerakkan rakyat), yaitu “TAKBIR” Allahu
Akbar, selalu berkumandang dalam era perjuangan umat Islam di Indonesia.
4.
“Khubul Wathon minal Iman”, cinta
tanah air sebagian dari Iman, menjadikan semangat Partiotik bagi umat Islam
dalam melawan penjajahan.
Pada
kesimpulannya Dr. Douwwes Dekker ( Setyabudi Danudirdja) menyatakan bahwa :
“Apabila Tidak ada semangat Islam di
Indonesia, sudah lama kebangsaan yang
sebenarnya lenyap dari Indonesia” (dalam Aboebakar Atjeh: 1957, hlm.729).
Dengan demikian ajaran Islam yang sudah merakyat di Indonesia ini, punya peranan yang sangat penting, berjasa, dan tidak dapat diabaikan dalam perjuangan di Indonesia.
PERANAN UMAT ISLAM
Umat Islam
Indonesia punya peranan yang menentukan dalam dinamika perjuangan untuk
memdapatkan kemerdekaan. Dalam perjuangan ini dapat dibagi menjadi :
1.
Perjuangan
Kerajaan-Kerajaan Islam melawan Kolonial
Dimulai
sejak awal masuknya bangsa barat dengan pendekatan kekuatan yang represif
(bersenjata), maka dilawan oleh karajaan-kerajaan Islam di kawasan Nusantra
ini. Perjuangan ini antara lain : Malaka melawan serangan Portugis (1511)
diteruskan oleh Ternate di Maluku (Portugis berhasil dihalau sampai Timor
Timur), kemudian Makasar melawan serangan Belanda(VOC), Banten melawan serangan
Belanda (VOC), dan Mataram
Islam juga melawan pusat kekuasaan Belanda(VOC) di Batavia (1628-1629) dan
masih banyak lagi. Mereka
gigih, dan Belanda pun kalangkabut, namun setelah ada politik “Devide Et
Impera” (pecah belah), satu persatu kerajaan ini dapat dikuasai.
Meskipun demikian semangat rakyat tidak pudar melawan penjajahan
kolonial, maka
selanjutnya perjuangan melawan
penjajahan diteruskan oleh rakyat dipimpin Ulama.
2.
Perjuangan Rakyat Dipimpin oleh Para Ulama
Setelah kaum kolonial berhasil menguasai
kerajaan-kerajaan di Indonesia, namun umat Islam bersama para ulamanya tidak
berhenti melawan penjajahan. Munculah era Gerakan Sosial merata di seluruh
pelosok tanah air. Ulama sebagai Elite Agama Islam memimpin umat melawan
penindasan kedloliman penjajah. Sejak dari Aceh muncul perlawanan rakyat
dipimpin oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya’ Dhien; di Sumatera Barat
muncul Perang Paderi dipimpin oleh Imam Bonjol; Perlawanan KH.Hasan dari Luwu;
Gerakan R. Gunawan dari Muara Tembesi Jambi; Gerakan 3 Haji di Dena Lombok;
Gerakan H. Aling Kuning di Sambiliung Kal-Tim; Gerakan Muning di Banjarmasin;
Gerakan Rifa’iyah di Pekalongan; Gerakan KH. Wasit dari Cilegon; Perlawanan KH.
Jenal Ngarib dari Kudus; Perlawanan KH. Ahmad Darwis dari Kedu; Perlawanan Kyai
Dermojoyo dari Nganjuk; dan juga perlawanan P. Dipanegara, masih banyak lagi.
Dari perlawanan itu, sesungguhnya pihak
Belanda sudah goyah kekuasaaanya, sebagai bukti tiga perlawanan : Rakyat Aceh,
Sumatera Barat, dan Java Oorlog (Dipanegara) telah mengorbankan : 8000 tentara
Belanda mati dan 20.000.000 Gulden kas kolonial habis. Oleh karena itu, mereka
kemudian mencari jalan lain, yaitu mengubah politik kolonialnya dengan
pendekatan “ Welfere Politiek” (Politik Kemakmuran) untuk menarik simpati
rakyat jajahan. Namun, pada kenyataannya politik itu dijalankan dengan perang
kebudayaan dan idiologi, terutama untuk memecah dan melemahkan potensi umat
Islam Indonesia yang dianggapnya musuh utama pemerintah kolonial.
3.
Pergerakan
Nasional di Indonesia
Sebelum
memesuki era Pergerakan Nasional, pihak kolonial mencoba politik kemakmuran dan
balasbudi. Munculah Politik Etische oleh Van Deventer; Politik Assosiasi oleh
Ch.Snouck Hurgronje; dan Politik De Islamisasi (Dutch Islamic Polecy) oleh Christiaan
Snouck Hurgronje. Kelihatannya politik itu humanis untuk kesejahteraan rakyat,
namun karena landasannya tetap kolonialisme, maka jadinya tetap eksploitatif
dan menindas rakyat. Khusus politik De Islamisasai sangat merugikan umat Islam,
karena :
- Memecah umat Islam jadi dua dikotomi Abangan dan Putihan
- Membenturkan Ulama dengan Pemuka Adat
- Memperbanyak sekolah untuk memdidik anak-anak umat Islam agar terpisah dari kepercayaan pada agama Islamnya.
- Menindas segenap gerakan politik yang berdasar Islam
- Membikin masjid dan memberangkatkan haji gratis untuk meredam gerakan Islam.( Snouck Hurgronje, Islam in de Nederlansch Indie )
Akibat dari politik kolonial di
atas, maka perjuangan melawan kolonial
menjadi terpecah. Menurut Thesis Endang Syaifuddin Anshari,MA. perjuangan di Indonesia
terpecah jadi dua kelompok besar yaitu: Nasionalis Islami dan Nasionalis
Sekuler. Kondisi inilah sampai sekarang masih tampak dalam dinamika
perpolitikan kita.
Sebagai salah satu yang penting pelopor awal Pergerakan Nasional di
Indonesia ialah umat Islam, yaitu pada tanggal 16 Oktober 1905, lahir Sarekat
Dagang Islam (SDI) (baca wawancara Tamardjaja dengan H. Samanhudi, 1955, di
majalah Syiyasyah 1974), yang
kemudian th. 1912 jadi Sarekat Islam (SI), sebagai gerakan Ekonomi dan politik.
Pada Tanggl 18 November 1912 lahir
Muhammadiyah sebagai gerakan Sosial Keagamaan, dari lembaga pendidikannya
menghasilkan pimpinan bangsa Indonesia yang menentang Belanda,kemudian
selanjutnya Jami’atul Khoir, Al Irsyad, Jong Islamieten Bond (1922), Persatuan
Islam (Persis) th. 1920, Nahdlotul Ulama ( 1926 ), dan lainnya adalah dalam
kategori nasionalis Islami, yang kesemuanya punya andil dalam melawan Belanda.
Di samping itu lahirlah Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, dan Indische Partij (1912),
Jong Java, PKI, Perhimpunan Indonesia (PI), PNI (1927) dan sebagainya, adalah
dalam kategori nasionalis sekuler. ( Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta: 22 Juni 1945. Thesis di
Mac Gill University, Canada ).
Dalam menghadapi gerakan umat Islam, Belanda menggunakan “Christening
Politiek” (dalam Pidato Ratu Belanda yang dibacakan oleh:Gub.Jend. Idenburg)
namun tidak berhasil. Ketika gencarnya SI menuntut “Boemi Poetera Zelfbestuur”
(Bangsa Indonesia berpemerintahan sendiri), dengan gerakan Rapat Akbar dan pemogokan yang dilakukan
hampir merata di pelosok kepulauan Indonesia, maka Belanda grogi dan segera
bertindak. Untuk menghadapi gelombang gerakan umat Islam itu, maka upaya
Politik Belanda dengan mendatangkan
VIRUS KOMUNIS, yaitu menggunakan tokoh-tokoh komunis Belanda Snevliet,
Barandesteder, Ir. Baars, Brigsma dan Van Burink, didatangkan ke Indonesia
untuk menghadapi Islam di Indonesia. Tokoh-tokoh komunis itu kemudian mengkader
Semaun, Alimin Dharsono & Tan Malaka, disusupkan ke SI, terjadilah
pembusukan dari dalam, pecahlah SI jadi dua: SI Putih yang asli, dan SI Merah
yang komunis bergabung dengan ISDV ( Indische Socialis Democratische
Vereeniging ) jadi PKI (23 Mei 1920). Mulai
dari sinilah maka umat Islam berhadapan terus dengan komunis. ( A.K.
Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat
Indonesia. dan A. Adaby Darban, Peranserta Islam dalam Perjuangan Indonesia.
).
Pada tahun 1937 organisasi-organisasi Islam bersatu membentuk MIAI (
Majlisul Islam A’la Indonesia ), diprakarsai oleh Muhammadiyah, NU, Persis,
Alwasliyah dan lainnya. Pada zaman Jepang MIAI diubah namanya jadi MASJUMI (
Majlis Syurau Muslimin Indonesia ), dan memiliki pasukan Hizbullah Sabilillah,
sebagai modal perjuangan bersenjata di kemuidian hari.
Pada saat mempersiapkan kemerdekaan dalam BPUPKI disidangkan konsep dasar
negara, muncul konsep Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang telah diajukan, namun
sidang belum menerima, kemudian dibentuklah panitia Ad Hock (9 anggota), yang
memutuskan Rumusan Piagam Djakarta 22 Juni 1945 ( Djakarta Charter ). Rumusan
itu melalui debat yang panjang akhirnya disetujui pada tanggal 16 Juli 1945. (Komentar Soekarno, bahwa Djakarta Charter merupakan
konsesnsus nasional persatuan antara Kaum Kebangsaan dan Islam). Namun, pada tanggal 18 Agustus 1845,
keputusan itu dianulir atas usul Opsir Jepang mengatasnamakan utusan dari
Indonesia Timur, yang menyatakan bahwa bila kalimat “ Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluknya” tidak diubah, maka
Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Dengan demikian Hatta lobi dengan para ulama agar dapat mengubah Piagam Djakarta
demi persatuan Nasional RI. Pada awalnya para ulama tidak setuju, sebab itu
sudah keputusan BPUPKI sebagai konsensus nasional, namun demi toleransi dan
menjaga negara RI dari perpecahan, akhirnya disepakati dengan kalimat : “
Ketuhanan Yang Maha Esa “ (peranan Ki Bagus menempatkan Yang Maha Esa sebagai
Taukhid Rakyat Indonesia ). ( Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta.)
4.
Peran Umat Islam dalam Perjuangan Mempertahankan
Kemerdekaan
Dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
umat Islam punya peranan penting, yaitu : Pertama, secara pisik Umat Islam
dengan Lasykar Hisbullah-Sabilillah, kemudian diteruskan Asykar Perang Sabil
(APS) dan lasykar Islam lainnya di daerah, gigih berjuang membantu TKR (TNI)
untuk mempertahankan NKRI dengan perang gerilnyanya melawan Sekutu-NICA
(Netherland Indie Civil Administration, Belanda) yang akan kembali berkuasa di
Indonesia. Secara pisik pula Lasykar Hisbullah-Sabilillah yang kemudian
diteruskan oleh Markas Ulama Asykar Perang Sabil (APS) bersama pasukan TNI dari
Siliwangi melawan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 18 September
1948 ( dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin ), yang akan menghancurkan NKRI
dan akan membentuk Pemerintahan Komunis Indonesia, menjadi bagian atau satelit
dari Commitern Komunis Internasional yang berpusat di Moskow,Rusia.
Pemberontakan PKI 1948 ini berjalan secara biadab, membantai para ulama dan
santri, membantai kaum nasionalis, membantai pamongpraja, dapat digambarkan ada
suatu gedung untuk pembantaian yang darahnya menggenang sampai satu kilan.
Dengan adanya kerjasama antara kelasykaran umat Islam, kelasykaran kaum nasionalis,
dengan TNI berhasil menghancurkan kekejaman dan kebiadaban Pemberontakan PKI 1948.
Setelah kemerdekaan dan adanya maklumat Wakil Presiden X/1946, bangsa
Indonesia dipersilahkan mendirikan partai politik. Dalam hal ini pada awalnya
aspirasi politik umat Islam ditampung dalam satu wadah, meneruskan namanya
yaitu Majelis Syurau Muslimin Indonesia ( Masyumi ), dalam ikrar persatuan umat
Islam ”Panca Cita”.
Kedua, dalam proses perjuangan diplomasi ada beberapa perundingan antara
lain Linggajati, Renfille, Roem-Royen, dan KMB.
Pada perundingan Renfille wilayah NKRI menjadi sempit, dan berdirilah
negara-negara bagian lain sebagai negara boneka Belanda, dan lebih parah lagi
Yogyakarta sebagai Ibukota NKRI diduduki Belanda. Secara spontan dan
bertanggung jawab Mr.Syafruddin Prawiranegara (Masyumi) mendirikan Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) 19 Desember 1948 di Sumatera Barat
( Mulai tahun 2006 dijadikan hari
peringatan Bela Negara ). Adanya perlawanan gerilya bangsa Indonesia yang tiada
hentinya ( termasuk perebutan Jogjakarta dari tangan Belanda tanggal 1 Maret
1948), maka PBB meminta genjatan senjata dan diadakan perundingan lagi, yaitu
Roem – Royen. Dalam perundingan itu deplomasi Mr.Moh.Roem berhasil menggiring pihak Belanda untuk antara
lain : 1.Mengembalikan Ibukota RI Yogyakarta;2.Pembebasan Soekarno-Hatta dan
para mentri yang ditawan Belanda; 3. Menyelenggarakan Konfrensi Meja Bundar
(KMB), dan 4. Belanda mengakui keberadaan RI.
Pada KMB Belanda mengakui
eksistensi Republik Indonesia Serikat, yang masih memiliki negara-negara bagian
(boneka) dibawah pengaruh Belanda. Presiden Soekarno jadi Presiden RIS,
sedangkan Mr. Assa’at jadi Presiden Republik Indonesia( RI ) kedua, bagian dari
RIS. Dalam rangka menyatukan Indonesia kembali, tokoh umat Islam Muhammad
Natsir (Masyumi) mempelopori “MOSI INTEGRAL NATSIR
yang isinya untuk KEMBALI KE BENTUK
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
(NKRI)”. Mosi integral Natsir ini mendapat dukungan sebagain besar anggota
kabinet dan Presiden Soekarno, meskipun Anak Agung Gde Agung dan Sultan Hamid
II tidak mau ikut tanda tangan mendukung, akhirnya pada tanggal 17 Agustus
1950, Presiden Soekarno berdasarkan mosi itu memberanikan diri menyatakan
kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Umat Islam
di Era Mencari Bentuk Demokrasi Indonesia
Undang-undang Dasar 1945 menggambarkan bahwa NKRI adalah negara demokrasi,
namun formulasi demokrasi yang bagaimana bentuknya masih dalam pencarian.
Apakah Demokrasi Liberal, apakah Demokrasi Sosialis, ataukah Demokrasi
Theokrasi ?. Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap ( dari Masyumi ) Indonesia
mengadakan pemilihan umum pertama di tahun 1955, diikuti hampir + 100
partai, disaksikann oleh PBB. Dalam pemilu itu muncul 4 kekuatan partai besar
yaitu rangking pertama PNI dan Masyumi suaranya berimbang, disusul NU, kemudian
PKI. Hasil dari Pemilu itu adanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan kemudian pemilu
kedua menghasilkan Konstituante (pembuat Konstitusi/ UUD). Dalam Konstituante
memang ditawarkan dan untuk menjaring aspirasi rakyat dalam menentukan UUD baru yang
aspiratitf rakyat Indonesia. Berbagai golongan masyarakat yang diwakili oleh
partainya menyampaikan usulannya, sehingga mengerucut pada UUD pertama 1945
namun pada Preambulenya ada yang mengacu keputusan Sidang BPUPKI 16 Juli 1945
yaitu Piagam Djakarta , dan mengacu dari keputusan PPKI 18 Agustus 1945, dengan
suara berimbang, namun tidak dapat memenuhi 75% suara untuk dapat
memutuskannya, sehingga selalu tidak dapat diputuskan. Aklhirnya pihak Militer
(A.H. Nasution ) membuat konsep Dekrit Presiden, kemudian diterima oleh Bung
Karno, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Dekrit Presiden itu dideklarasikan, isinya
antara lain :
1. Pembubaran Konstituante; 2. Kembali pada UUD 1945, dan Piagam Djakarta
sebagai yang menjiwai UUD 1945 ; 3. Bentuk Negara Demokrasi Terpimpin.
6. Umat Islam
di Era Demokrasi Terpimpin
Munculnya Dekrit Presiden ini untuk sementara dapat meredam perbedaan
pendapat dalam konstituante, namun juga berdampak menjadi awalnya bentuk
pelaksanaan pemerintahan yang otoriter, kekuasaan tunggal di tangan presiden. Hal ini
terbukti, ketika Presiden Soekarno mengajukan RAPBN ke DPR hasil Pemili 1955,
oleh karena kondisi negara belum mampu, maka ditolak DPR dan diminta untuk diperbaiki,
namun dengan pendekatan kekuasaan Bung Karno membubarkan DPR hasil pemilu, dan
kemudian dengan kekuasaanya pula presiden Soekarno menyusun DPR baru atas tunjukannya
dengan diberi nama DPRGR. Tokoh-tokoh umat Islam menentang sikap otoriter ini,
namun kemudian ditangkapi dan dipenjara. Dari beberapa kasus yang menentang
otoriter kekuasaan pada waktu itu, ditangkapilah tokoh-tokoh Islam antara lain
Mr.Prawoto Mangkusasmito ; Mr. Mohammad Roem; KH Muhammad Natsir; KH E.Z.
Muttakin; Mr. Kasman Singodimejo; dan Hamka dan lainnya , mereka disiksa , dan
tidak diproses hukum melalui pengadilan.
Dari tahun 1960 sampai 1965 situasi negara dalam keadaan tegang , akibat adanya
iklim antagonis dalam masyarakat. Polarisasi NASionalis + Agama + KOMunis
(NASAKOM) yang dicetuskan pemerintah menjadi kekuatan yang saling benturan.
Pendekatan kaum Komunis (PKI) pada
pemerintah banyak digunakan umtuk menghantam umat Islam dan gerakan Islam.
Muncul istilah Ganyang Kontra Revolusi, Ganyang 7 Setan desa ( salah satunya
haji ). PKI mengadakan Aksi Sepihak, yaitu menyerobot dan
menduduki tanah milik umat Islam, milik pesantren dsb. untuk dibagikan pada
para pendukungnya, sedangkan bila terjadi perlawanan diadakan teror dan sampai
pembunuhan. Setelah PKI merasa
kuat dan siap untuk mengambil alih kekuasaan, menyiapkan angkatan ke 5 Buruh
Tani dipersenjatai, import senjata jenis Tschung dari RRChina, banyak
mengadakan pelatihan militer di beberapa daerah, dan mengadakan aksi sepihak
menduduki tanah-tanah perusahaan dan tanah masyarakat, serta mengadakan teror
dan pembantaian terhadap lawan politiknya. Menyerang tempat-tempat Ibadah
menginjak-ijai kitab suci Al Qur’an, seperti peristiwa Kanigoro, Bandar Betsy, menteror
dan menangkapi seniman Manikebu lawannya Lekra (PKI),
Puncaknya meletuslah Pemberontakan G.30.S. / PKI. Digerakkan oleh Dewan
Revolusi yang berisi tokoh-tokoh PKI ( DN Aidit, Sam Qomaruzaman, Nyoto, Nyono,
Istiajid, dan sebagainya ) sebagai pengendali gerakannya ( Surat Perintah Comite Central/ CC PKI No.
13/ P1 / 65, tanggal 28 Septembar 1965, isinya Perintah mendirikan Dewan
Revolusi Daerah ). Pemberontakan G.30.S. /PKI telah membantai kalangan ABRI,
para Santri dan Kyai di pedesaan, pemuka agama lainnya termasuk di Bali, mereka
telah disediakan sumur-sumur untuk penguburannya.
Ummat Islam membentuk Kogalam ( Komando Kesiapsiagaan Umat Islam ) dan
GEMUIS ( Genarasi Muda Islam ),
Organisasi-organisasi Islam mendirikan pasukan Banser, Kokam, Brigade
PII, Korba HMI, dan sebagainya, sebagai kekuatan untuk menghadapi pemberontakan
PKI 1965 itu. Gerakan
pemberontakan G.30.S./PKI di pusat maupun daerah-daerah berhasil ditumpas,
sehingga selamatlah negara Republik Indonesia dari usaha dijadikan negara
komunis. Situasi negara mulai ada
perubahan, masyarakat menyadari akan bahaya laten komunis, dan membuka lembaran
baru dalam kehidupan negara yang memiliki nuansa
keagamaan atau religiositas yang
memang sebagai jati diri Bangsa
Indonesia. Dengan adanya Ketetapan MPRS No. XXV/ 1966, Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan orderbow-nya dibubarkan,
ajaran Komunisme –Marxistme dilarang untuk seluruh Indonesia.
7. Umat Islam
di Era Orde Baru
Pada awal kebangkitan Orde Baru adalah dalam rangka kembali kepada UUD 1945
dan Pancasila secara murni dan konsekwen, memperbaiki stuktur birokrasi dan
demokrasi bersih dan sehat. Pada awalnya umat Islam memberikan dukungan , memang umat Islam untuk sementara merupakan
eksponen dan dijadikan tumpuan.
Namun pada proses perjalanan sejarah selanjutnya eksponen umat Islam mulai
ditinggal, dan bahkan gerakan umat Islam mulai dimandulkan, bahkan berusaha
untuk dibersihkan.
Gerakan politik Islam dilikwidasi sedikit demi sedikit posisinya bahkan
dimandulkan, mulai Pemilu 1971 yang penuh rekayasa dan ”Bolduser”, menekan umat
Islam dan politisi lain untuk memenangkan Golkar. Maka berhasilah menguatkan
posisi kekuasaan Suaharto, yang selanjutnya akan kembali mmenjadi penguasa
tunggal yang otoriter sampai tahun 1998.
Pemerintahan Orde Baru kemudian banyak meninggalkan potensi umatIslam,
justeru merangkul kekuatan minoritas di Indonesia yang ”diridloi oleh Amerika”
serta sekutunya. Sebagai puncaknya kebijakan terhadap umat Islam adalah
dilarangnya partai dan organisasi massa memakai asas Islam.Kebijakan ini sama
dengan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda atas nasehat
Snouck Hurgronje untuk membatasi gerakan umat Islam di Indonesia. Kebijakan
pemerintah Orde baru terhadap politik Islam itu berdampak antara lain :
Pertama, peranan politik umat Islam yang mengusung cita-cita Islam tidak
mendapat tempat yang layak, bahkan dikerdilkan dengan cara rekayasa politik. Dengan
menggunakan berbagai macam skenario politik untuk menyudutkan dan memberi
gambaran citra negatif bagi perjuangan umat Islam Indonesia. Sebagai
contoh, dimunculkanlah skenario Komando Jihad, Teror Warman, dan sebagainya,
yang kesemuanya itu memancing umat Islam untuk bertindak kekerasan, kemudian
didlolimi. Dimunculkannya peristiwa-peristiwa penuhy rekayasa seperti, Tanjung
Priuk ( 600 umat Islam dibantai ); Talangsari (pembantaian kyai dan sastri
serta penduduk desa di Lampung ); pembajakan
Pesawat Wayola, dan masih banyak lagi poeristiwa di daerah-daerah yang menjadi
korbannya umat Islam. Dalam bidang politik formal kekuatan realitas umat
Islam terus ditekan, dan dengan penuh
rekayasa dikerdilkan, sehingga partai politik di DPR dan MPR tidak dapat berkutik ( dibikin kecil ).
Kedua, di kalangan umat Islam
mencari jalan lain ( tidak melalui politik praktis ), yaitu lebih menggiatkan
gerakan Dakwah – Sosial – Pendidikan dan Kebudayaan. Munculah gerakan Dakwah di
berbagai lapisan masyarakat dan pelatihan-pelatihan secara intens dalam
memahami Islam Penanaman Nilai dasar Islam (PNDI), lahirnya Lembaga Dakwah
Kampus ( LDK ) seperti Jama’ah Salman (ITB), Jamaah Shalahuddin (UGM), dan
sebagainya. Gerakan Sosial meningkatkan kepedulian pada kaum fakir-miskin-yatim
piatu dan kaum mutadzafin, munculnya lembaga-lembaga sosial dan pendidikan baru
di kalangan umat Islam. Dalam bidang pendidikan berkembang dengan lahirnya
lembaga-lembaga pendidikan baru termasuk maraknya pertumbuhan perguruan tinggi Islam di
Indonesia, dan adanya peningkatan penerbitan buku-buku dan media Islam lainnya.
Lahirnya lembaga-lembaga Seni-Budaya Islam dengan karya-karyanya, lebih
maraknya pemakian busana muslim dan muslimah ( pemakian Jilbab diterima olah
masyarakat dan banyak diikuti ).
Pemerintah Orde Baru yang selalu phobi pada gerakan Islam, kemudian membuat
kebijakan antara lain pembatasan gerakan dakwah, dengan mewajibkan izin dan
mubaligh/da’i nya diseleksi oleh pemerintah dengan wajib menggunakan SIM (
kartu Surat Ijin sebagi Mubaligh ), dan pengawasan ketat, serta kemudian juga
melarang kegiatan dakwah di kampus-kampus. Pemerintah Orde baru juga melarang
pemekaian Jilbab di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di lembaga
pemerintahan, dan mencitrakan bahwa pemakaian Jilbab itu adalah kaum Islam
Radikal. Meskipun peraturan ini dilakukan dengan pengawasan ketat dan represif,
namun arus deras dari masyarakat Islam yang mendukung lebih kuat, sehingga
pemerintah Orde Baru tidak mampu mengatasinya.
Dalam rangka membendung arus kesadaran ber-Islam yang lebih intens ini,
pemerintah Orde Baru menggunakan berbagai macam skenario politik untuk menjebak
aktivis-aktivis umat Islam agar berbuat radikal, sehingga citra Islam terus
negatif di Indonesia. Meski demikian hanya sebagian kecil yang dapat terjebak,
bagi yang sadar akan adanya skenario ini lebih baik diam dan menekuni gerakan dakwah,
sosial,pendidikan dan kebudayaan..
Adanya pembukaan hubungan dengan luar-negeri ( khususnya Amerika-Eropa-dan
Jepang ), Orde Baru banyak menerima ”Bantuan” alias Hutang. Selain itu pula
pemerintah juga mengontrakkan sumber minyak dan tambang lainnya termasuk
Freeport, sehingga pemerintah Orde Baru banyak mengantongi hasilnya.
Kelihatannya dapat meningkatkan kemakmuran dan penghasilan negara, namun
ternyata hanya semu.
Pemerintah Orde Baru yang merasa tertolong dengan modal asing itu, kemudian
banyak meninggalkan umat Islam ( sebagai Ekonomi golongan menengah kebawah yang
realistis penyangga perekonomian Indonesia ).
Umat Islam dalam bidang ekonomi menduduki golongan pengusaha menengah ke bawah.
Sentra-sentra perekonomian umat Islam memiliki jaringan sampai pada ekonomi
kerakyatan di lapisan bawah ( seperti Ekonomi Pertanian; Tekstil; Batik;
Garmen; sampai ke Industri Kerajinan Rakyat/rumah tangga ). Pada zaman
pemerintahan Orde Baru yang banyak bergantung pada Modal Asing, lebih berpihak
pada golongan ekonomi Konglomerat, sehingga sebagian pinjaman modal asing itu dialirkan pada
Konglomerat. Akibatnya ialah, pertama Golongan Konglomerat ini tangan-tangan
guritanya sampai pada lapisan ekonomi menengah kebawah, sehingga sistem
kapitalistik-monopoli berakibat mematikan golongan ekonomi menengah ke bawah
yang sebagian besar adalah umat Islam. ( Menurut Richard Rabison, The Rise Capitalism in Indonesia. (
disertasi ), bahwa Golongan Ekonomi Menengah ke Bawah bagi Indonesia adalah
pilar ekonomi yang nyata dan perlu diperkuat, sedangkan Golongan Ekonomi
Konglomerat yang mengandalkan Modal Asing pinjaman itu merupakan tiang
penyangga yang semu, suatu saat gampang melarikan modalnya ke luar negri,
sehingga akan menggoyahkan perekonomian Indonesia .
Pada akhir hayat pemerintahan Orde Baru, ditengarai setelah pihak asing
kepercayaannya mulai pudar,kemudian pembatasan kucuran dana pinjaman asing, dan
masyarakat mulai tidak respek dan mengecam terhadap permainan politik
pemerintah Orde Baru, maka kekdudukannya menjadi lemah. Pada kondisi lemah ini,
pemerintah Orde Baru kelihatannya mulai mendekati umat Islam melalui
tokoh-tokohnya. Namun, cara-cara pendekatan itu sudah tidak populer lagi,
akhirnya terjadi arus deras untuk diadakan Reformasi. Arus deras Reformasi sebagai
lokomotif (salah satunya Amien Rais) dan pendukung terbesaenya adalah umat
Islam, berhasil memberhentikan Pemerintahan Orde baru, pada tanggal 21 Mei 1998,
Soeharto berhenti jadi presiden, dan masa transisi untuk sementara digantikan
oleh BJ Habibie sampai dengan pemilihan umum Era Reformasi.
PERAN UMAT
ISLAM DI AWAL REFORMASI
Masyarakat Indonesia mengalami titik kulminasi jenuh pada pemerintahan Orde
Baru (yang sudah menjadi sama sengan Orde Lama). Cara-cara untuk mempertahankan
kekuasaan dengan menggunakan kendaraan GOLKAR yang dengan rekayasa skenariotip
selalu memenangka pemilu, sehingga kekuasaan Suharto dan Kroninya diusahakan
terus untuk dipertahankan. Harmoko selaku ketua Golkar yang terakhir mendorong
Suharto untuk maju lagi jadi presiden di tahun 1997, mengklaim dengan
mengatakan rakyat Indonesia masih menginginkan kekuasaan Suharto.
Pada kenyataanya lain, masyarakat luas sudah mengiginkan perubahan
kepemimpinan nasional, bahkan sebagian di kalangan ABRI
pun dan dunia internasional yang dulu
sebagai pendukung dana dan politik Orde Baru, mulai kendor dan meninggalkan
dukungannya. Dalam kondisi seperti ini, Suharto mendekati umat Islam melalui
tokoh-tokohnya, namun tidak berhasil, sehingga Suharto terpaksa ”Berhenti” dari
jabatannya sebagai presiden, dan digantikan oleh wakilnya yaitu BJ Habibie.
Pada era pemerintahan BJ Habibie yang hanya lebih kurang 1 tahun, berhasil
menekan inflasi yang sebelumnya nilai rupiah terpuruk hingga Rp.15.000,- setiap
satu dolarnya, dapat ditekan menjadi Rp. 6.000,- setiap dolar AS. Namun, adanya
epouria politik yang terus bergelora, akhirnya pada sidang MPR
peratanggunganjawabnya tidak diterima, maka BJ. Habibie tidak mencalonkan jadi
presiden.
Pada awal Reformasi umat Islam pun terimbas adanya epouria politik,
sehingga pada rame-rame mendirikan partai, antara lain lahirlah Partai
Kebangkitan Bangsa ( PKB ); Partai Amanat Nasional ( PAN ) ( meskipun tidak
berdasarkan Islam, namun basis pendukungnya Islam ), Partai Bulan Bintang
(PBB); Partai Keadilan (PK); Partai MASYUMI BARU; Partai ABULYATAMA; Partai
Syarekat Islam Indonesia (PSII) ( (semuanya berdasarkan Islam dan basis
pendukungnyapun Islam), dan sebagainya ditambah Partai Persatuan Pembagunan
(PPP) yang juga masih eksis dan punya masa.
Pada Pemilu 1999 PDI P berhasil unggul disusul Golkar, dan baru
partai-partai Islam dan partai yang basis pendukungnya Islam ( bila
partai-partai Islam dan yang berbasis pendukungnya Islam bersatu, insya Allah
akan menang dalam pemilu. Namun, kanyataannya partai-partai Islam itu belum
dapat bersatu sampai kini ).
Meskipun PDI P unggul dalam pemilu, namun dalam pemilihan presiden tidak
berhasil, MPR memilih suara terbanyak Abdurrahman Wahid, sedangkan wakilnya
baru Megawati. Abdurrahman wahid tidak mulus jadi presiden RI, dengan adanya
berbagai persoalan akhirnya diberhentikan oleh MPR, kemudian digantikan oleh
Megawati dengan mengambil wakil Hamzah Haz dari PPP.
Pada Pemilu 2004, partai-partai Islam dan yang berbasiskan Islam pun belum
dapat meraih kemenangan. Pada pemilu ini Golkar pewaris Orde Baru berhasil
menang, sedangkan dalam pemilihan presiden pun dimenangkan oleh SBY dan Jusuf
Kalla ( dari Partai Demokrat dan Golkar ), sedangkan calon-calon lain yang
jelas dari tokoh-tokoh umat Islam belum berhasil menang ( Amien Rais; Hasyim
Muzadi; dan Sholahuddin Wahid ). Dengan
keadaan seperti inilah sudah semestinya umat Islam perlu mukhasabah dan
menyusun langkah-langlah yang lebih baik untuk masa depannya.
Selain politik, juga terjadi euporia liberalisme yang semakin menjadi,
pornografi dan pornoaksi, serta banci merajalela dengan bebas melalui mass
media, sehingga menjadi petaka rusaknya moral bangsa. Mereka menggunakan
senjata HAM untuk kebebasannya. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi tak kunjung
diputuskan, karena terkendala para pendukung gerakan perusak moral itu. Perjuangan
melawan KKN ( Korupsi- Kolusi – Nepotisme ) berjalan lamban, stagnan, karena
tidak ada ketegasan dari pemerintah, sehingga kasus BLBI yang memakan uang rakyat
+ 90 Trilyun pun belum dituntaskan. Komunisme berusaha hidup kembali,
melalui berbagai nama seperti PRD, PAPERNAS, dan mungkin alan lahir Partai
Kemerdekaan Indonesia (PKI), mereka juga menggunakan senjata HAM untuk
berlindung. Menghadapi komunisme pun tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
Tingkatan keadaan ekonomi masyarakat masih ”njomplang”, yang kaya semakin
kaya, yang miskin bertambah miskin. Masyarakat lapisan menengah ke bawah
hidupnya semakin sulit, dan perlu diupayakan kesejahteraannya secara serius.
Namun,ada hal yang dapat jadi hiburan, yaitu berkembangnya Perekonomian
Syari’ah yang diharapkan dapat menjadi alternatif untuk dapat mengobati
ketimpangan kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia. Sudah waktunya Ekonomi
Syari’ah berpihak pada masyarakat dhuafa’, untuk ikut berusaha mengentaskan
kemiskinan di Indonesia.
KHOTIMAH
Tulisan di makalah pendek ini barulah pengamatan selintas dengan berusaha
menggunakan fakta sejarah. Oleh karena itu, untuk mendalaminya perlu diadakan
diskusi, sehingga akan lebih memperjelas tentang Umat Islam dalam perjuangan
Indonesia. Adanya kekuarang mohon ma’af, ada pun kritik dan saran sangat
diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aboebakar
Atjeh, Riwayat Hidup A. Wahid Hasjim. Djakarta,
1957.
A.K.
Pringgodigdo, Sedjarah Pergerakan Rakjat
Indonesia. Djakarta: Pust. Rakjat,1960
Ahmad
Adaby Darban,” Lasykar Santri Melawan penjajahan”, Makalah, ITB, 2006.
__________.
Peran Serta Islam dalam Perjuangan di
Indonesia. Yogyakarta:
UII, 1989.
As-Syiyasyah.
No 4. Th. 1974.
Benda. H.J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
Endang
Syaifuddin Anshari, Piagam Djakarta 22
Djuni 1945. Jakarta: Gema Insani Press
1997.
Rabinson.
Richard, Indonesian The
Rise of Capitalism. Singapore:
Kin Hup Lee.Co.1986
Sagimun
MD, Pahlawan Dipanegara Berdjuang. Jogjakarta:
Dep,P&K., 1960.
Sartono
Kartodirdjo. Pemikiran dan Perkembangan
Historiografi Indonesia: Suatu
Alternatif. Jakarta : Gramedia, 1982.
Snouck
Hurgronje. Islam di Hindia Belanda.
Jakarta: Bhratara, 1973.
Umar Kayam, Transformasi Budaya Kita. Yogyakarta:
Senat Guru Besar UGM, 1989.sumber : http://adabydarban.blogspot.co.id/2012/04/peranan-islam-dalam-perjuangan.html