Adagium hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah
bagian dari iman) adalah pandangan yang sangat mendasar dan mendalam
dalam berbagai konteks, serta memiliki kekuatan yang sangat besar dalam
mendorong umat Islam berperan aktif dalam berproses berbangsa dan
bernegara. Berpedang semangat hubbul wathon inilah yang membuat
pesantren yang ada di Indonesia, berperan aktif pada masa-masa
pergerakan nasional dalam maraih kemerdekaan. Bahkan keberadaan
pesantren menjadi basis perjuangan rakyat yang sangat massif.
Dalam catatan sejarah, pandangan dan sikap pesantren tidak bersedia bekerjasama dengan penjajah, bahkan sikap perlawanan yang total yang diperlihat oleh kaum santri sebagai wujud cinta tanah air. Pandangan dan sikap demikian tidak lepas dari pandangan yang dibentuk oleh keyakinan teologis, filosofis dan sosiologis pesantren itu sendiri.
Institusi pendidikan tradisional ini yang tersebar di pelosok-pelosok dapat dikatakan merupakan bukti geografis bentuk “perlawanan” pesantren –kyai, santri dan masyarakatnya– terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang. Dalam konteks pergerakan nasional, kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh para penjajah di tanah air Indonesia. Sebagai gerakan perlawanan terhadapan penjajahan yang telah melakukan penindasan terhadap rakyat.
Hal inilah yang tercermin dalam semangat Kyai Muqoyyim yang tidak lain adalah pendiri Pesantren Buntet di Cirebon. Beliau rela melepaskan jabatan Mufti Kesultanan Kanoman yang merupakan satu dari tiga kesultanan yang ada di Cirebon, yakni Kesultanan Kasepuhan dan Kesultanan Kacirebonan. Sebab jabatan yang disandang oleh Kyai Muqoyyim dirasa sangatlah terbatas dan tidak memiliki kewenangan yang luas untuk dapat membendung campur tangan Belanda yang terus menerus menindas rakyat (hal. 20).
Lahirnya Pesantren Buntet
Keinginan Kyai Muqoyyim direstui oleh Sultan Chaeruddin Awwal untuk meninggalkan Keraton Kanoman pada tahun 1770 M. Dengan membawa kekesalan dan kebencian yang mendalam terhadap Belanda pada waktu itu, yang terus menerus menindas rakyat dengan berbagai cara, akhirnya Kyai Muqoyyim pergi ke bagian Timur Selatan Cirebon untuk mencari perkambungan yang cocok menurut hatinya.
Kampung Kedungmalang, Desa Buntet, Kecamatan Astana Japura inilah Kyai Muqoyyim mendirikan pesantren yang kemudian dikenal dengan Pesantren Buntet atau Buntet Pesantren. Pada mulanya, Kyai Muqoyyim hanya membangun rumah yang sangat sederhana dengan langgar (mushola) dan beberapa biliki. Kemudian Beliau menggelar pengajian yang akhirnya banyak orang tahu dan banyak yang ingin menjadi santrinya. Selain pendidikan agama Islam yang diajarkan, Beliau juga mengajarkan tentang ketatanegaraan (hal. 21).
Semenjak Kyai Muqoyyim meninggalkan Kesultanan Kanoman, Belanda merasa khawatir dengan kharisma beliau yang dapat mempengaruhi rakyat untuk melawan dan menentang Belanda. Akhirnya Belanda mencari dan berhasil menemukan keberadaan Kyai Muqoyyim. Pihak Belanda pun merencakan strategi untuk melakukan penyergapan. Namun rencana Belanda ini diketahui oleh Kyai Ardi Sela –teman Kyai Muqoyyim– dan memberitahukan kepada Kyai Muqoyyim. Mendengar kabar itu, Kyai Muqoyyim bersama santrinya segera meninggal Pesantren Buntet menuju ke Selatan, tepatnya di Desa Pesawahan Sindang laut di kediaman Kyai Ismail, adik Beliau.
Sesampainya tentara Belanda di Pesantren Buntet membuat mereka semakin geram. Karena rencana mereka telah bocor dan pesantren dalam kondisi kosong, akhirnya tentara membumihanguskan bangunan pesantren hingga rata dengan tanah. Bahkan mereka membrondong secara brutal bocah-bocah seusia santri yang bermukim di perkampungan tersebut. Sampai kini di sekitar tempat itu dikenal penduduk sebagai makam santri (hal. 22).
Selama di Pesawahan digunakan Kyai Muqoyyim dan Kyai Ismail untuk membangun dan membenahi berbagai sarana kebutuhan pesantren seperti masjid dan bilik-biliki santri, kemudian dikenal dengan Pesantren Pesawahan. Setelah dibangun, kegiatan pengajian berjalan sebagaimana lazimnya pondok pesantren.
Pada suatu hari, Kyai Muqoyyim dan Kyai Ismail mengadakan hajat merayakan pernikahan putra-putrinya secara besar-besaran. Tiba-tiba muncul pasukan Belanda sekaligus menembakkan senjata apinya, para tamu undangan dan pengunjung panik. Namun secepat itu pula Kyai Muqoyyim melemparkan kendi ke arah balong dan di sinilah kehebatan Beliau, tiba-tiba gelaplah di sekitar dan terjadilah perlawanan dari Kyai Muqoyyim. Hingga akhirnya sebagian tentara Belanda mati dan ada yang melarikan diri.
Merasa sosok dirinya menjadi sasaran utama yang dicari Belanda maka demi berjalan lancarnya Pondok Pesantren Pesawahan, beberapa waktu kemudian Kyai Muqoyyim berpamitan kepada Kyai Ismail untuk meninggalkan Pesawahan menuju Pemalang. Di Pemalang, di kampung Beji beliau menyembunyikan identitas dirinya dan menjadi abdi di tempatnya Kyai Abdussalam.
Pada suatu ketika, tiba-tiba dari pemerintahan di Cirebon menemui Kyai Muqoyyim untuk menyembuhkan wabah penyakut To’un yang menyerang masyarakat di Cirebon. Mereka yang terkena wabah ini, pagi merasa sakit kemudian sore meninggal, malam merasa sakit kemudian pagi mati. Kyai Muqoyyim mengiyakan dan kembali ke Cirebon untuk mengobati warga. Akhirnya berkat Yang Maha Kuasa, wabah penyakit To’un ini berhasil disembuhkan oleh Kyai Muqoyyim.
Pasca kejadian wabah To’un, membuat kharisma Kyai Muqoyyim semakin tinggi dan dikagumi masyarakat serta pemerintahan Cirebon. Keadaan ini digunakan Beliau untuk membangun pesantren agar lebih besar dan maju. Beliau membangun kembali Pesantren Buntet, namun lokasinya bergeser tidak jauh ke Desa Padukuhan, sebelah tenggara yakni di Blok Manis, Depok Pesantren Desa Mertapada kulon. Berjalannya waktu, Kyai Muqoyyim akhirnya dipanggil Allah dan dimakamkan di salah satu petilasannya, yaitu di kampung Tuk, Singdanglaut (hal. 30).
Pesantren Buntet dalam Pergerakan Nasional
Perkembangan Pesantren Buntet semakin nampak dan dikenal diberbagai wilayah. Generasi penerus yang memperjuangkan Pesantren Buntet dipegang oleh KH. Muta’ad yang merupakan keturunan dari Ny. Rt. Aisyiah (Nyai Lor), cucu Kyai Muqoyyim. Masa KH. Muta’ad ini merupakan masa gerbangnya ilmu, karena masa ini semakin berkembang ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren Buntet. Pada masa ini juga, diadakannya upaya untuk menerjemahkan kitab kuning ke dalam bahasa Jawa.
Generasi setelah KH. Muta’ad, Pesantren Buntet dipegang oleh putranya, KH. Abdul Jamil. Pada masa ini Pesantren semakin bangkit ke permukaan dalam kancah nasional. Dalam upaya mengembangkan pesantren, KH. Abdul Jamil merekrut tenaga-tenaga pengajar yang potensial dalam mengelola dan memajukan pesantren sehingga Pesantren Buntet semakin terkenal.
Bahkan KH. Abdul Jamil telah berhasil mencetak kader ulama penggerak nasional yang memiliki wawasan luas terhadap berbagai aspek sosial, punya kreadibilitas tinggi dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Adapun tokoh penggerak nasional yang berguru ke KH. Abdul Jamil seperti H. Samanhudi (tokoh pendiri Sarekat Dagang Islam), KH. Ridlwan Abdullah (pencipta lambang NU) dan KH. Abbas (putra KH. Abdul Jamil, yang dikenal ulama moderat dan jago silat) (hal. 54).
Perjuangan Pesantren Buntet selanjutnya dipegang oleh KH. Abbas. Beliau pun memperjuangkan seperti yang dilakukan oleh para pendahulunya. Perlawanan terhadap para penjajah pun selakukan dilakukan sebagai langkah perlawanan untuk mempertahankan tanah air. Keterlibatan Pesantren Buntet sangat tampak dalam pergolakan nasional pada masa KH. Abbas, yang juga santri Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama).
Tepatnya, setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, penjajah Belanda tak begitu saja rela menyerahkan kedaulatan kepada rakyat Indonesia. Dalam bertopeng pemerintah sipil, Belanda masuk kembali ke Indonesia, bahkan kali ini bersama sekutu. Maka sebagai langkah perlawanan para mujahid pembela negara siap mempertahankan. Tak ketinggalan, pasukan Sabilillah dan Hizbullah bergerak sangat militan, setelah KH. Hasyim Asy’ari mengumumkan wajib ain hukumnya membela negara –dikenal dengan Resolusi Jihad– yang diumumkan pada 22 Oktober 1945.
Gaung Resolusi Jihad mampu mendidihkan darah pejuang arek-arek (pemuda) Surabaya dan sekitarnya. Perlawanan terhadap sekutu mencapai puncaknya pada 10 November 1945 yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan. Ketika Bung Tomo berkonsultasi dengan KH. Hasyim Asy’ari untuk meminta restu memulai perlawanan terhadap Inggris, KH. Hasyim Asy’ari menjawab “Tunggu dulu, Singa Jawa Barat belum datang”.
Baru diketahui kemudian, bahwa yang dimaksudkan Singa Jawa Barat adalah KH. Abbas dari Pesantren Buntet. KH. Abbas datang ke Surabaya bersama KH. Annas dan santri-santri pilihannya. Atas restu KH. Hasyim Asy’ari, berangkatlah Bung Tomo, KH. Abbas dan lainnya bertempur melawan tentara Inggris. Selain itu, sebagai langkah membantu perlawanan rakyat mengusir penjajah, KH. Abbas juga mengirimkan santri-santrinya yang bergabung dalam Laskar Hizbullah yang pernah bertempur di Bekasi, Jakarta, Priyangan Timur, Jawa Barat bagian Timur, Cianjur dan sebagainya.
Pada masa Kemerdekaan, KH. Abbas diangkat sebagai anggota KNIP (Komite Nasioanl Indonesia Pusat) yang merupakan Dewan Perwakilan Rakyat bersufat sementara sebelun terbentuknya DPR hasil pemilihan umum. KH. Abbas merupakan perwakilan alim ulama Jawa Barat. KH. Abbas wafat 1 Rabiul awal 1365 H/1946 malam Ahad, kemudian penerusan Pesantren Buntet KH. Muhtadi Abbas, Putra KH. Abbas. Belaiu wafat akibat shock karena mendengar kabar ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati yang banyak merugikan bangsa Indonesia (hal. 92).
Judul Buku : Perlawanan dari Tanah Pengasingan
Penulis : H. Ahmad Zaini Hasan
Dalam catatan sejarah, pandangan dan sikap pesantren tidak bersedia bekerjasama dengan penjajah, bahkan sikap perlawanan yang total yang diperlihat oleh kaum santri sebagai wujud cinta tanah air. Pandangan dan sikap demikian tidak lepas dari pandangan yang dibentuk oleh keyakinan teologis, filosofis dan sosiologis pesantren itu sendiri.
Institusi pendidikan tradisional ini yang tersebar di pelosok-pelosok dapat dikatakan merupakan bukti geografis bentuk “perlawanan” pesantren –kyai, santri dan masyarakatnya– terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang. Dalam konteks pergerakan nasional, kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh para penjajah di tanah air Indonesia. Sebagai gerakan perlawanan terhadapan penjajahan yang telah melakukan penindasan terhadap rakyat.
Hal inilah yang tercermin dalam semangat Kyai Muqoyyim yang tidak lain adalah pendiri Pesantren Buntet di Cirebon. Beliau rela melepaskan jabatan Mufti Kesultanan Kanoman yang merupakan satu dari tiga kesultanan yang ada di Cirebon, yakni Kesultanan Kasepuhan dan Kesultanan Kacirebonan. Sebab jabatan yang disandang oleh Kyai Muqoyyim dirasa sangatlah terbatas dan tidak memiliki kewenangan yang luas untuk dapat membendung campur tangan Belanda yang terus menerus menindas rakyat (hal. 20).
Lahirnya Pesantren Buntet
Keinginan Kyai Muqoyyim direstui oleh Sultan Chaeruddin Awwal untuk meninggalkan Keraton Kanoman pada tahun 1770 M. Dengan membawa kekesalan dan kebencian yang mendalam terhadap Belanda pada waktu itu, yang terus menerus menindas rakyat dengan berbagai cara, akhirnya Kyai Muqoyyim pergi ke bagian Timur Selatan Cirebon untuk mencari perkambungan yang cocok menurut hatinya.
Kampung Kedungmalang, Desa Buntet, Kecamatan Astana Japura inilah Kyai Muqoyyim mendirikan pesantren yang kemudian dikenal dengan Pesantren Buntet atau Buntet Pesantren. Pada mulanya, Kyai Muqoyyim hanya membangun rumah yang sangat sederhana dengan langgar (mushola) dan beberapa biliki. Kemudian Beliau menggelar pengajian yang akhirnya banyak orang tahu dan banyak yang ingin menjadi santrinya. Selain pendidikan agama Islam yang diajarkan, Beliau juga mengajarkan tentang ketatanegaraan (hal. 21).
Semenjak Kyai Muqoyyim meninggalkan Kesultanan Kanoman, Belanda merasa khawatir dengan kharisma beliau yang dapat mempengaruhi rakyat untuk melawan dan menentang Belanda. Akhirnya Belanda mencari dan berhasil menemukan keberadaan Kyai Muqoyyim. Pihak Belanda pun merencakan strategi untuk melakukan penyergapan. Namun rencana Belanda ini diketahui oleh Kyai Ardi Sela –teman Kyai Muqoyyim– dan memberitahukan kepada Kyai Muqoyyim. Mendengar kabar itu, Kyai Muqoyyim bersama santrinya segera meninggal Pesantren Buntet menuju ke Selatan, tepatnya di Desa Pesawahan Sindang laut di kediaman Kyai Ismail, adik Beliau.
Sesampainya tentara Belanda di Pesantren Buntet membuat mereka semakin geram. Karena rencana mereka telah bocor dan pesantren dalam kondisi kosong, akhirnya tentara membumihanguskan bangunan pesantren hingga rata dengan tanah. Bahkan mereka membrondong secara brutal bocah-bocah seusia santri yang bermukim di perkampungan tersebut. Sampai kini di sekitar tempat itu dikenal penduduk sebagai makam santri (hal. 22).
Selama di Pesawahan digunakan Kyai Muqoyyim dan Kyai Ismail untuk membangun dan membenahi berbagai sarana kebutuhan pesantren seperti masjid dan bilik-biliki santri, kemudian dikenal dengan Pesantren Pesawahan. Setelah dibangun, kegiatan pengajian berjalan sebagaimana lazimnya pondok pesantren.
Pada suatu hari, Kyai Muqoyyim dan Kyai Ismail mengadakan hajat merayakan pernikahan putra-putrinya secara besar-besaran. Tiba-tiba muncul pasukan Belanda sekaligus menembakkan senjata apinya, para tamu undangan dan pengunjung panik. Namun secepat itu pula Kyai Muqoyyim melemparkan kendi ke arah balong dan di sinilah kehebatan Beliau, tiba-tiba gelaplah di sekitar dan terjadilah perlawanan dari Kyai Muqoyyim. Hingga akhirnya sebagian tentara Belanda mati dan ada yang melarikan diri.
Merasa sosok dirinya menjadi sasaran utama yang dicari Belanda maka demi berjalan lancarnya Pondok Pesantren Pesawahan, beberapa waktu kemudian Kyai Muqoyyim berpamitan kepada Kyai Ismail untuk meninggalkan Pesawahan menuju Pemalang. Di Pemalang, di kampung Beji beliau menyembunyikan identitas dirinya dan menjadi abdi di tempatnya Kyai Abdussalam.
Pada suatu ketika, tiba-tiba dari pemerintahan di Cirebon menemui Kyai Muqoyyim untuk menyembuhkan wabah penyakut To’un yang menyerang masyarakat di Cirebon. Mereka yang terkena wabah ini, pagi merasa sakit kemudian sore meninggal, malam merasa sakit kemudian pagi mati. Kyai Muqoyyim mengiyakan dan kembali ke Cirebon untuk mengobati warga. Akhirnya berkat Yang Maha Kuasa, wabah penyakit To’un ini berhasil disembuhkan oleh Kyai Muqoyyim.
Pasca kejadian wabah To’un, membuat kharisma Kyai Muqoyyim semakin tinggi dan dikagumi masyarakat serta pemerintahan Cirebon. Keadaan ini digunakan Beliau untuk membangun pesantren agar lebih besar dan maju. Beliau membangun kembali Pesantren Buntet, namun lokasinya bergeser tidak jauh ke Desa Padukuhan, sebelah tenggara yakni di Blok Manis, Depok Pesantren Desa Mertapada kulon. Berjalannya waktu, Kyai Muqoyyim akhirnya dipanggil Allah dan dimakamkan di salah satu petilasannya, yaitu di kampung Tuk, Singdanglaut (hal. 30).
Pesantren Buntet dalam Pergerakan Nasional
Perkembangan Pesantren Buntet semakin nampak dan dikenal diberbagai wilayah. Generasi penerus yang memperjuangkan Pesantren Buntet dipegang oleh KH. Muta’ad yang merupakan keturunan dari Ny. Rt. Aisyiah (Nyai Lor), cucu Kyai Muqoyyim. Masa KH. Muta’ad ini merupakan masa gerbangnya ilmu, karena masa ini semakin berkembang ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren Buntet. Pada masa ini juga, diadakannya upaya untuk menerjemahkan kitab kuning ke dalam bahasa Jawa.
Generasi setelah KH. Muta’ad, Pesantren Buntet dipegang oleh putranya, KH. Abdul Jamil. Pada masa ini Pesantren semakin bangkit ke permukaan dalam kancah nasional. Dalam upaya mengembangkan pesantren, KH. Abdul Jamil merekrut tenaga-tenaga pengajar yang potensial dalam mengelola dan memajukan pesantren sehingga Pesantren Buntet semakin terkenal.
Bahkan KH. Abdul Jamil telah berhasil mencetak kader ulama penggerak nasional yang memiliki wawasan luas terhadap berbagai aspek sosial, punya kreadibilitas tinggi dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Adapun tokoh penggerak nasional yang berguru ke KH. Abdul Jamil seperti H. Samanhudi (tokoh pendiri Sarekat Dagang Islam), KH. Ridlwan Abdullah (pencipta lambang NU) dan KH. Abbas (putra KH. Abdul Jamil, yang dikenal ulama moderat dan jago silat) (hal. 54).
Perjuangan Pesantren Buntet selanjutnya dipegang oleh KH. Abbas. Beliau pun memperjuangkan seperti yang dilakukan oleh para pendahulunya. Perlawanan terhadap para penjajah pun selakukan dilakukan sebagai langkah perlawanan untuk mempertahankan tanah air. Keterlibatan Pesantren Buntet sangat tampak dalam pergolakan nasional pada masa KH. Abbas, yang juga santri Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama).
Tepatnya, setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, penjajah Belanda tak begitu saja rela menyerahkan kedaulatan kepada rakyat Indonesia. Dalam bertopeng pemerintah sipil, Belanda masuk kembali ke Indonesia, bahkan kali ini bersama sekutu. Maka sebagai langkah perlawanan para mujahid pembela negara siap mempertahankan. Tak ketinggalan, pasukan Sabilillah dan Hizbullah bergerak sangat militan, setelah KH. Hasyim Asy’ari mengumumkan wajib ain hukumnya membela negara –dikenal dengan Resolusi Jihad– yang diumumkan pada 22 Oktober 1945.
Gaung Resolusi Jihad mampu mendidihkan darah pejuang arek-arek (pemuda) Surabaya dan sekitarnya. Perlawanan terhadap sekutu mencapai puncaknya pada 10 November 1945 yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan. Ketika Bung Tomo berkonsultasi dengan KH. Hasyim Asy’ari untuk meminta restu memulai perlawanan terhadap Inggris, KH. Hasyim Asy’ari menjawab “Tunggu dulu, Singa Jawa Barat belum datang”.
Baru diketahui kemudian, bahwa yang dimaksudkan Singa Jawa Barat adalah KH. Abbas dari Pesantren Buntet. KH. Abbas datang ke Surabaya bersama KH. Annas dan santri-santri pilihannya. Atas restu KH. Hasyim Asy’ari, berangkatlah Bung Tomo, KH. Abbas dan lainnya bertempur melawan tentara Inggris. Selain itu, sebagai langkah membantu perlawanan rakyat mengusir penjajah, KH. Abbas juga mengirimkan santri-santrinya yang bergabung dalam Laskar Hizbullah yang pernah bertempur di Bekasi, Jakarta, Priyangan Timur, Jawa Barat bagian Timur, Cianjur dan sebagainya.
Pada masa Kemerdekaan, KH. Abbas diangkat sebagai anggota KNIP (Komite Nasioanl Indonesia Pusat) yang merupakan Dewan Perwakilan Rakyat bersufat sementara sebelun terbentuknya DPR hasil pemilihan umum. KH. Abbas merupakan perwakilan alim ulama Jawa Barat. KH. Abbas wafat 1 Rabiul awal 1365 H/1946 malam Ahad, kemudian penerusan Pesantren Buntet KH. Muhtadi Abbas, Putra KH. Abbas. Belaiu wafat akibat shock karena mendengar kabar ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati yang banyak merugikan bangsa Indonesia (hal. 92).
Judul Buku : Perlawanan dari Tanah Pengasingan
Penulis : H. Ahmad Zaini Hasan