7 PASAL
KODE ETIK WARTAWAN INDONESIA :
1.
Wartawan
Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
Contoh kasus :
TV One
Melakukan Kebohongan Publik
Makelar
Kasus yang sedang menjadi sorotan media ini, sesuai dengan teori media ”Agenda
Setting” yaitu media membentuk persepsi atau pengetahuan publik tentang apa
yang dianggap penting. Dengan ungkapan lain, apa yang dianggap penting oleh
media, maka dianggap penting juga oleh publik. Ada hubungan positif antara
tingkat penonjolan yang dilakukan media terhadap suatu persoalan (issue) dan
perhatian yang diberikan publik terhadap yang ditonjolkan media.
Stasiun televisi Aburizal Bakrie, TVOne digugat kredibilitasnya. Program
Apa Kabar Indonesia Pagi tanggal 18 Maret 2010 yang menghadirkan narasumber
seorang markus (makelar kasus) pajak, Andreas Ronaldi, diduga adalah markus
palsu. TVOne menghadirkan Andreas Ronaldi, pria yang mengaku markus di
Mabes Polri. Pada waktu itu, Andreas mengenakan topeng dan menggunakan nama
samaran Roni. Selain itu, suaranya pun diubah sedemikian rupa sehingga tak
tampak suara aslinya. Andreas mengaku ia telah menjadi markus selama 12 tahun
di lingkungan Mabes Polri. Mabes Polri kemudian menangkap seorang yang diklaim
sebagai narasumber program acara Apa Kabar Indonesia Pagi tersebut pada tanggal
7 April 2010, dengan landasan dugaan rekayasa berita.
Andreas adalah seorang karyawan lepas pada sebuah perusahaan media
hiburan.
Terkait dengan pernyataan yang dikeluarkan Mabes Polri, TVOne menyatakan belum dapat memastikan apakah makelar kasus yang dimaksud adalah narasumber yang pernah tampil di program Apa Kabar Indonesia Pagi tanggal 18 Maret lalu. Tetapi, juru bicara TVOne, sekaligus General Manajer Divisi Pemberitaan, Totok Suryanto menyatakan bahwa tidak pernah ada rekayasa yang di lakukan dalam setiap pemberitaan.
Terkait dengan pernyataan yang dikeluarkan Mabes Polri, TVOne menyatakan belum dapat memastikan apakah makelar kasus yang dimaksud adalah narasumber yang pernah tampil di program Apa Kabar Indonesia Pagi tanggal 18 Maret lalu. Tetapi, juru bicara TVOne, sekaligus General Manajer Divisi Pemberitaan, Totok Suryanto menyatakan bahwa tidak pernah ada rekayasa yang di lakukan dalam setiap pemberitaan.
Andreas Ronaldi mengaku menjadi oknum markus di Mabes Polri berdasarkan
permintaan dari pihak pembawa acara televisi swasta yang berinisial IR dengan
imbalan 1,5 juta rupiah. Andreas juga mengatakan bahwa keterangan yang ia
berikan itu hanya untuk mengumpan Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum,
Denny Indrayana. . Presenter TV One Indy Rahmawati, diduga tokoh yang
paling berperan di balik kasus rekayasa narasumber tersebut.Perekayasaan
narasumber ini jelas dilakukan karena faktor persaingan antar media televisi,
yaitu untuk memperoleh rating yang tinggi.
Sumber :
2.
Wartawan
Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi
serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
Contoh kasus :
Kasus Wawancara Fiktif
Kasus wawancara fiktif terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian di
Surabaya menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri Nurdin M
Top. Untuk meyakinkan kepada publiknya, sang wartawan sampai mendeskripsikan
bagaimana wawancara itu terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya
terpercaya, hasil wawancara tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat
luas. Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut palsu alias
fiktif karena tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri Nurdin M Top kala itu
sedang sakit tenggorokkan sehingga untuk berbicara saja sulit, apalagi memberikan
keterangan panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut. Wartawan dari
harian ini memang tidak pernah bersua dengan isteri orang yang disangka teroris
itu dan tidak pernah ada wawancara sama sekali.
Wartawan dalam kasus di atas melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 dan
Pasal 4. Pasal 2 bernunyi: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang
profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 4 berbunyi: Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Wartawan tersebut
tidak menggunakan cara yang professional dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak
menyebarkan berita yang faktual dan tidak menggunakan narasumber yang jelas,
bahkan narasumber yang digunakan dalah narasumber fiktif. Wawancara dan berita
yang dipublikasikannya merupakan kebohongan. Tentu ini merugikan konsumen
media. Pembaca mengkonsumsi media untuk memperoleh kebenaran, bukan kebohongan.
Kredibilitas harian tempat wartawan tersebut bekerja juga sudah tentu menjadi
diragukan.
Sumber :
3.
Wartawan
Indonesia menghormati azas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dan
opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak
melakukan plagiat.
Contoh kasus :
Pengusaha Gunawan
Yusuf mendesak Majalah Tempo meminta maaf
Pengusaha Gunawan Yusuf yang juga
pemilik Sugar Group melalui kuasa hukumnya Hotman Paris Hutapea, mendesak
Majalah Tempo untuk meminta maaf sesuai keputusan Dewan Pers yang menilai Tempo
telah melanggar kode etik jurnalisitik.
Permintaan maaf itu kata Hotman harus
dilakukan dalam bentuk iklan permohonan maaf sebanyak lima halaman, sesuai
pemberitaan Majalah Tempo, serta dibuat di satu Koran nasional.
Menurut Hotman Paris, ini untuk kali
pertama Dewan Pers berani menjatuhkan hukuman berat dengan cara menerapkan
Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Keputusan dalam bentuk Pernyataan
Penilaian dan Rekomendasi itu ditandatangani Ketua Dewan Pers Prof Dr Bagir
Manan pada 19 September 2012.
Bersarkan penilaian Dewan Pers, jelas
pengacara kondang ini, berita-berita dimaksud termuat di Majalah Tempo edisi 26
Maret – 1 April 2012 sebagaimana diadukan kliennya berjudul; Rochadi,
Korban Sengketa Makindo (hal 32), Terjepit
Sengketa Raja Gula (hal 44-48), Gugatan
Dua Saudara (hal 58-50), dan Taipan
Nyentrik di ST Regis (hal 50) telah
melanggar Pasal 3 KEJ.
Pasal 3 KEJ tersebut berbunyi; Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga
tak bersalah.
Atas dasar pasal tersebut jelas
Horman, Dewan Pers merekomendasikan Majalah Tempo wajib memuat hak jawab
pengadu dan meminta maaf kepada pengadu serta pembaca. Majalah Tempo juga harus
berkomitmen untuk menaati KEJ dalam pemberitaan selanjutnya tentang pengadu.
“Apabila putusan tersebut tidak
dilaksanakan secara konsekuen kami akan tempuh upaya pidana dan perdata kepada
PT Tempo Inti Media tbk selaku pemilik Majalah Tempo,” tegas Hotman di Jakarta,
kemarin.
Dia menjelaskan, gugatan pidana yang
akan dilakukan terkait pasal 310 KUHP dan pasal 311 KUHP tentang pencemaran
nama baik. Sedangkan gugatan perdata ditujukan agar Majalah Tempo memberikan
ganti rugi secara materil kepada Gunawan Jusuf selaku pengusaha.
Gugatan juga terkait pelanggaran Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena pemberitaan Majalah Tempo tersebut juga dimuat di media online.
Dipaparkan Hotman, dalam Majalah Tempo edisi 26 Maret-1 April 2012 termuat tulisan sebanyak lima halaman yang isinya tak sesuai fakta hukum. Yang jadi perhatian, kata Hotman terutama berita berjudul Terjepit Sengketa Raja Gula dimana disitu tertulis kalimat;Jurus berkelit menghindari utang dengan menggunakan data keimigrasian ternyata bukan sekali digunakan Gunawan Jusuf.
Gugatan juga terkait pelanggaran Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena pemberitaan Majalah Tempo tersebut juga dimuat di media online.
Dipaparkan Hotman, dalam Majalah Tempo edisi 26 Maret-1 April 2012 termuat tulisan sebanyak lima halaman yang isinya tak sesuai fakta hukum. Yang jadi perhatian, kata Hotman terutama berita berjudul Terjepit Sengketa Raja Gula dimana disitu tertulis kalimat;Jurus berkelit menghindari utang dengan menggunakan data keimigrasian ternyata bukan sekali digunakan Gunawan Jusuf.
“Tempo memvonis bahwa seolah-olah
Gunawan banyak utang. Padahal tak ada bukti di pengadilan Gunawan Jusuf punya
utang. Dan, seolah-olah Gunawan dengan menggunakan data keimigrasian untuk
menghindari utang,” kata Hotman.
Berita diatas sudah jelas bahwa
majalah tempo melakukan pelanggaran kode etik di pasal 3 KEJ.
Sumber :
4.
Wartawan
Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan
cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
Contoh kasus :
Kasus wawancara fiktif terjadi di Surabaya.
Seorang wartawan harian di Surabaya menurunkan berita hasil wawancaranya
dengan seorang isteri Nurdin M Top. Untuk meyakinkan kepada publiknya, sang
wartawan sampai mendeskripsikan bagaimana wawancara itu terjadi. Karena berasal
dari sumber yang katanya terpercaya, hasil wawancara tersebut tentu saja
menjadi perhatian masyarakat luas. Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara
tersebut palsu alias fiktif karena tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri
Nurdin M Top kala itu sedang sakit tenggorokkan sehingga untuk berbicara saja
sulit, apalagi memberikan keterangan panjang lebar seperti laporan wawancara
tersebut. Wartawan dari harian ini memang tidak pernah bersua dengan isteri
orang yang disangka teroris itu dan tidak pernah ada wawancara sama sekali.
Wartawan dalam kasus di atas melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 dan
Pasal 4. Pasal 2 bernunyi: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang
profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 4 berbunyi: Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Wartawan
tersebut tidak menggunakan cara yang professional dalam menjalankan tugasnya.
Ia tidak menyebarkan berita yang faktual dan tidak menggunakan narasumber yang
jelas, bahkan narasumber yang digunakan dalah narasumber fiktif. Wawancara dan
berita yang dipublikasikannya merupakan kebohongan. Tentu ini merugikan
konsumen media. Pembaca mengkonsumsi media untuk memperoleh kebenaran, bukan
kebohongan. Kredibilitas harian tempat wartawan tersebut bekerja juga sudah
tentu menjadi diragukan.
dalam hal ini dapat dijatuhkan sanksi yang dimana
terdapat dalamPasal 57 .
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:
Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (5); yang isinya adalah :
Isi siaran dilarang:
Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong.
Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan
obat terlarang.
Mempertentangkan suku, agama, ras, dan
antar golongan.
Sumber :
5.
Wartawan
Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
Contoh kasus :
Saham PT Krakatau Steel; Dewan Pers: Ada Pelanggaran
Kode Etik
Dewan Pers menilai, terjadi pelanggaran kode etik dalam kasus dugaan
permintaan hak istimewa untuk membeli saham penawaran umum perdana PT Krakatau
Steel oleh wartawan. Pelanggaran itu berupa penyalahgunaan profesi serta
pemanfaatan jaringan yang dimiliki sejumlah wartawan peliput di Bursa Efek
Indonesia.
”Tindakan itu menimbulkan konflik kepentingan karena sebagai wartawan yang
meliput kegiatan di Bursa Efek Indonesia juga berusaha terlibat dalam proses
jual beli saham untuk kepentingan pribadi. Ini bertentangan dengan Pasal 6 Kode
Etik Jurnalistik,” ujar Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika
Pers Dewan Pers Agus Sudibyo di Jakarta, Rabu (1/12).
Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak
menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Dalam situs Dewan Pers,
tafsiran terhadap pasal ini, (a) menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan
yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas
sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum; (b) suap adalah segala
pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang
memengaruhi independensi.
Agus menyatakan, Dewan Pers menghargai sikap profesional dan niat baik
detik.com, Kompas, MetroTV, dan Seputar Indonesia dalam proses penyelesaian
kasus ini. Dewan Pers mengimbau segenap pers Indonesia menegakkan kode etik
jurnalistik dan profesionalisme media.
Harian Kompas pun menghormati putusan Dewan Pers yang menyatakan seorang
wartawan Kompas berinisial RN terbukti melanggar kode etik jurnalistik. Pada
hari yang sama, harian Kompas telah menindaklanjuti putusan Dewan Pers itu
dengan memberhentikan wartawannya itu sebagai wartawan Kompas.
”Manajemen harian Kompas pun memberhentikan yang bersangkutan sebagai
wartawan Kompas. Pemberhentian berlaku sejak diterbitkannya Keputusan Dewan
Pers,” kata Redaktur Pelaksana Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Dalam keputusannya, Dewan Pers sejauh ini belum menemukan bukti kuat adanya
praktik pemerasan, yang dilakukan wartawan, terkait dengan kasus pemberitaan
penawaran umum perdana saham PT Krakatau Steel. Keputusan ini dibuat Dewan Pers
setelah melakukan pemeriksaan silang dan klarifikasi dengan pihak-pihak
terkait.
Sumber:
6.
Wartawan
Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar
belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
Contoh kasus:
Tidak Paham
Makna "Off the Record"
Menurut Kode Etik Jurnalistik, wartawan wajib menghormati ketentuan tentang off the record. Artinya, apabila narasumber sudah mengatakan bahan yang diberikan atau dikatakannya adalah off the record, wartawan tidak boleh menyiarkannya. Kalau wartawan tidak bersedia terikat dengan hal itu, sejak awal ia boleh membatalkan pertemuan dengan narasumber yang ingin menyatakan keterangan off the record.
Begitu pula off the record tidak berlaku bagi informasi yang sudah menjadi rahasia umum.
Satu lagi, terdapat tradisi jurnalis bahwa off the record tidak berlaku untuk opini. Dengan kata lain, off the record lebih diutamakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan data dan fakta. Tetapi, kalau wartawan sudah bertemu dengan narasumber yang menyatakan keterangannya off the record, ia terikat dengan kesepakatan ini. Apabila keterangan off the record disiarkan juga, maka seluruh berita tersebut menjadi tangggung jawab wartawan atau pers yang bersangkutan. Dalam hal ini narasumber dibebaskan dari segala beban tangung jawab karena pada prinsipnya keterangan off the record harus dipandang tidak pernah dikeluarkan oleh narasumber untuk disiarkan. Pemberitaan sesuatu yang off the record sepenuhnya menjadi tangung jawab pers yang menyiarkannya.
Tetapi, justru inilah yang tidak dilakukan oleh wartawan satu harian di Yogyakarta. Seorang narasumber dari kantor Telekomunikasi setempat mengungkapkan bahwa ada pungutan tidak resmi oleh Asosiasi Warung Telepon di Yogyakarta antara Rp5 juta - Rp25 juta. Keterangan tersebut dengan jelas dan tegas dinyatakan sebagai off the record. Tetapi, ternyata oleh wartawan surat kabar ini keterangan tersebut tetap disiarkan. Ini jelas merupakan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, yakni menyiarkan berita yang sebenarnya off the record.
Akibatnya, narasumber yang tadinya begitu percaya kepada wartawan, merasa dikhianati. Apalagi kemudian dari segi yuridis atau hukum narasumber tersebut dituduh mencemarkan nama baik. Di tingkat Pengadilan Negeri ia kalah. Alasannya, menurut hakim, yang boleh mengatakan off the record hanyalah pejabat tertentu! Orang pada posisi setingkat narasumber itu, seorang yang cuma memiliki jabatan kepala, tidak boleh atau tidak berhak mengeluarkan pernyataan off the record, kata hakim. (Pendapat demikian, dilihat dari sudut pandang Kode Etik Jurnalistik, tentulah sangat keliru).
Pada tingkat Pengadilan Tinggi, narasumber tersebut dibebaskan. Tetapi, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung menghukum narasumber dengan dua bulan penjara. Pengajuan "Peninjauan Kembali" oleh narasumber ditolak dengan alasan tidak memenuhi alasan formal. (Sebagai bentuk kekecewaan, narasumber sempat mengiris nadi tangannya untuk bunuh diri, tetapi jiwanya dapat diselamatkan).
Ketidakpahaman terhadap makna off the record juga terjadi pada wartawan satu terbitan pers di Surabaya. Suatu saat ada briefing dari seorang petinggi Tentara Nasional Indonesia tentang berbagai hal yang dinilai sensitif bagi perkembangan pertahanan dan keamanan negara. Perwira tinggi itu sebelum memulai keterangannya sudah mengatakan bahan-bahan yang diberikannya bersifat off the record. Apa yang kemudian terjadi? Salah seorang wartawan yang hadir di sana memberitakan seluruh isi briefing tersebut dengan lengkap. Malahan di bagian akhir laporannya diberitakan bahwa keterangan itu bersifat off the record.
Ini pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pelanggaran semacam ini menurunkan kredibilitas pers, sebab jika hal seperti ini sering terjadi maka narasumber tidak akan lagi percaya kepada pers.
Menurut Kode Etik Jurnalistik, wartawan wajib menghormati ketentuan tentang off the record. Artinya, apabila narasumber sudah mengatakan bahan yang diberikan atau dikatakannya adalah off the record, wartawan tidak boleh menyiarkannya. Kalau wartawan tidak bersedia terikat dengan hal itu, sejak awal ia boleh membatalkan pertemuan dengan narasumber yang ingin menyatakan keterangan off the record.
Begitu pula off the record tidak berlaku bagi informasi yang sudah menjadi rahasia umum.
Satu lagi, terdapat tradisi jurnalis bahwa off the record tidak berlaku untuk opini. Dengan kata lain, off the record lebih diutamakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan data dan fakta. Tetapi, kalau wartawan sudah bertemu dengan narasumber yang menyatakan keterangannya off the record, ia terikat dengan kesepakatan ini. Apabila keterangan off the record disiarkan juga, maka seluruh berita tersebut menjadi tangggung jawab wartawan atau pers yang bersangkutan. Dalam hal ini narasumber dibebaskan dari segala beban tangung jawab karena pada prinsipnya keterangan off the record harus dipandang tidak pernah dikeluarkan oleh narasumber untuk disiarkan. Pemberitaan sesuatu yang off the record sepenuhnya menjadi tangung jawab pers yang menyiarkannya.
Tetapi, justru inilah yang tidak dilakukan oleh wartawan satu harian di Yogyakarta. Seorang narasumber dari kantor Telekomunikasi setempat mengungkapkan bahwa ada pungutan tidak resmi oleh Asosiasi Warung Telepon di Yogyakarta antara Rp5 juta - Rp25 juta. Keterangan tersebut dengan jelas dan tegas dinyatakan sebagai off the record. Tetapi, ternyata oleh wartawan surat kabar ini keterangan tersebut tetap disiarkan. Ini jelas merupakan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, yakni menyiarkan berita yang sebenarnya off the record.
Akibatnya, narasumber yang tadinya begitu percaya kepada wartawan, merasa dikhianati. Apalagi kemudian dari segi yuridis atau hukum narasumber tersebut dituduh mencemarkan nama baik. Di tingkat Pengadilan Negeri ia kalah. Alasannya, menurut hakim, yang boleh mengatakan off the record hanyalah pejabat tertentu! Orang pada posisi setingkat narasumber itu, seorang yang cuma memiliki jabatan kepala, tidak boleh atau tidak berhak mengeluarkan pernyataan off the record, kata hakim. (Pendapat demikian, dilihat dari sudut pandang Kode Etik Jurnalistik, tentulah sangat keliru).
Pada tingkat Pengadilan Tinggi, narasumber tersebut dibebaskan. Tetapi, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung menghukum narasumber dengan dua bulan penjara. Pengajuan "Peninjauan Kembali" oleh narasumber ditolak dengan alasan tidak memenuhi alasan formal. (Sebagai bentuk kekecewaan, narasumber sempat mengiris nadi tangannya untuk bunuh diri, tetapi jiwanya dapat diselamatkan).
Ketidakpahaman terhadap makna off the record juga terjadi pada wartawan satu terbitan pers di Surabaya. Suatu saat ada briefing dari seorang petinggi Tentara Nasional Indonesia tentang berbagai hal yang dinilai sensitif bagi perkembangan pertahanan dan keamanan negara. Perwira tinggi itu sebelum memulai keterangannya sudah mengatakan bahan-bahan yang diberikannya bersifat off the record. Apa yang kemudian terjadi? Salah seorang wartawan yang hadir di sana memberitakan seluruh isi briefing tersebut dengan lengkap. Malahan di bagian akhir laporannya diberitakan bahwa keterangan itu bersifat off the record.
Ini pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pelanggaran semacam ini menurunkan kredibilitas pers, sebab jika hal seperti ini sering terjadi maka narasumber tidak akan lagi percaya kepada pers.
Sumber:
http://www.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=17:pelanggaran-pelanggaran-kode-etik-jurnalistik&catid=4:kajian-media&Itemid=23
7.
Wartawan
Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta
melayani hak jawab.
Contoh kasus:
Berita Ina
Si Nononk selama ini mengabarkan bahwa dia seorang anak SD atau SMP. Namun
fakta baru menunjukkan bahwa sebenarnya Ina Si Nononk ternyata sudah menikah.
Dalam status di akun Facebook (FB)
miliknya, Ina Si Nononk sebenarnya bernama Dinda Meilandary. Menggunakan akun
dengan nama aslinya, Dinda mengungkapkan bahwa di telah menikah bahkan sudah
punya anak.
Dinda Meilandary mengunggah beberapa
foto dirinya bersama seorang laki-laki dan anak pada akun FB miliknya.
Selain itu
Dinda mengunggah foto dirinya sendiri dan kali ini dia benar terlihat jauh
lebih dewasa dan cantik. Dari wajah ini Dinda jauh dari wajah yang ada di foto
Ina Si Nononk. Tidak ada kesan bahwa Dinda anak SD.
Selama itu akui Dinda bahwa akun FB
miliknya dibajak orang dan mengambil foto-fotonya. Kemudian foto-foto tersebut
diunggah pada akun FB Ina Si Nononk yang mengaku warga Cilamaya, Karawang Jawa
Barat. Polisi pun dikabarkan telah mengusut ke salah satu sekolah SMP di
Karawang tapi hasilnya tidak ada.
Siapa yang telah membajak akun Dinda
Meilandary dan membuat akun FB Ina Si Nononk sampai hari ini masih misteri.
Namun dari status yang diunggah Dinda, tampaknya dia tahu siap yang mengunggah
foto-foto syur itu ke akun Ina Si Nonong.
“Demi Allah yg upload foto itu bukan
dinda. Dan demi Allah sebelum bangsat itu ngerasain apa yg dinda rasain jangan
harap umur nya panjang,” ancam Dinda.
Sejak 17 Februari 2016 lalu status ini
sudah diunggah Dinda pada akun Facebooknya. Dan sekitar tanggal 2 Maret
foto-foto syur tampil di akun Ina Si Nononk.
Dan akhirnyamedia memberitakan bahwa Dinda
sudah menikah dan bukan anak kecil lagi.
Sumber :
HUKUM DAN ETIKA MEDIA
MASSA
7 PASAL
KODE ETIK WARTAWAN INDONESIA
OLEH :
RAHEL CLAUDEA CELLONA (1443010299)
IKA KURNIAWATI (1443010232)
ADILLA RESTY RAHMANIAR (1443010264)
RANI DWI SAFITRI (1443010255)
SEPTIYAN AJI PAMUNGKAS (1443010265)
UNIVERSITAS
PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM
STUDI ILMU KOMUNIKASI
SURABAYA
2016