Karena cara kerja buzzer bukan hanya membela pihak tertentu, tapi menyerang pihak lain.
Bahkan menyerang hal bersifat pribadi para tokoh yang kritis di medsos.
Gaji buzzer di Indonesia pun ternyata begitu menggiurkan hingga para buzzer yang terlibat sangat betah meski merusak tatanan demokrasi.
Penggunaan buzzer untuk tujuan tertentu semakin marak dan kerap mengundang perdebatan.
Ternyata, ada riset khusus mengenai buzzer yang pernah diterbitkan University of Oxford pada tahun 2019 lalu.
Penelitian ini berjudul “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”.
Penelitian ini secara komparatif memeriksa organisasi formal pasukan siber di seluruh dunia dan bagaimana para aktor ini menggunakan propaganda komputasi untuk tujuan politik.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan adanya variasi di berbagai negara mengenai skala dan rentang waktu pemanfaatan tim buzzer.
Di beberapa negara, tim muncul untuk sementara waktu di sekitar pemilihan atau untuk membentuk sikap publik seputar acara politik penting lainnya.
Lakukan Kontrol
Di sisi lain, ada buzzer yang diintegrasikan ke dalam lanskap media dan komunikasi dengan staf bekerja penuh waktu.
Mereka bekerja untuk mengontrol, menyensor, dan membentuk percakapan dan informasi online.
Beberapa tim terdiri dari beberapa orang yang mengelola ratusan akun palsu.
“Di negara lain - seperti China, Vietnam, atau Venezuela - tim besar orang dipekerjakan oleh negara untuk secara aktif membentuk opini publik,” tulis laporan ini dikutip Jumat (12/2/2021).
Buzzer ini menggunakan berbagai strategi komunikasi.
Penelitian ini mengkategorikan kegiatan buzzer ke dalam empat kategori.
Pertama, penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi.
Kedua, pelaporan konten atau akun secara massal.
Ketiga, strategi berbasis data.
Keempat, trolling, doxing atau gangguan.
Kelima, memperkuat konten dan media online.
Penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi adalah strategi komunikasi yang paling umum.
Di 52 dari 70 negara yang diperiksa, pasukan siber secara aktif membuat konten, seperti meme, video, situs web berita palsu, atau media yang dimanipulasi untuk menyesatkan pengguna.
“Terkadang, konten yang dibuat oleh pasukan siber ditargetkan pada komunitas atau segmen pengguna tertentu.
Dengan menggunakan sumber data online dan offline tentang pengguna, dan membayar iklan di platform media sosial populer, beberapa pasukan siber menargetkan komunitas tertentu dengan disinformasi atau media yang dimanipulasi,” lanjutnya.
Adapun, penggunaan trolling, doxing, atau pelecehan merupakan tantangan dan ancaman global yang berkembang terhadap hak asasi manusia.
Terdapat 47 negara telah menggunakan trolling sebagai bagian dari senjata digital mereka.
“ Pasukan dunia maya juga menyensor ucapan dan ekspresi melalui pelaporan konten atau akun secara massal.
Kiriman dari aktivis, pembangkang politik, atau jurnalis sering kali dilaporkan oleh jaringan terkoordinasi dari akun pasukan siber untuk mempermainkan sistem otomatis yang digunakan perusahaan media sosial untuk menghapus konten yang tidak pantas,” jelasnya.
Trolling dan penghapusan akun atau postingan bahkan dapat terjadi bersamaan dengan kekerasan dunia nyata, yang dapat memiliki efek yang dalam dan mengerikan pada ekspresi hak asasi manusia.
Strategi pasukan siber
Adapun mengenai tipologi perpesanan dan strategi valensi yang digunakan, pasukan siber saat terlibat dalam percakapan dengan pengguna online untuk beberapa tujuan.
Pertama, menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai.
Kedua, menyerang oposisi atau melancarkan kampanye kotor.
Ketiga, mengalihkan percakapan atau kritik dari masalah penting.
Keempat, memotori pembagian dan polarisasi.
Kelima, menekan partisipasi melalui serangan atau pelecehan pribadi.
Dalam laporan ini disebutkan pula harga yang dibanderol para buzzer.
Di Indonesia, penggunaan buzzer bersifat kontrak temporer, dengan nilai antara Rp 1 juta-Rp 50 juta.
Kebanyakan buzzer di Indonesia menggunakan cara-cara disinformasi dan media yang dimanipulasi, serta memperkuat konten.