Berdasarkan legenda, dahulu bangsa Tartar dari Asia Timur sempat menguasai daerah Blitar yang kala itu belum bernama Blitar. Majapahit saat itu merasa perlu untuk merebutnya. Kerajaan adidaya tersebut kemudian mengutus Nilasuwarna untuk memukul mundur bangsa Tartar.
Keberuntungan
berpihak pada Nilasuwarna, ia dapat mengusir bangsa dari Mongolia itu. Atas
jasanya, ia dianugerahi gelar sebagai Adipati Aryo Blitar I untuk kemudian
memimpin daerah yang berhasil direbutnya tersebut. Ia menamakan tanah yang
berhasil ia bebaskan dengan nama Balitar yang berarti kembali pulangnya bangsa
Tartar.
Akan
tetapi, pada perkembangannya terjadi konflik antara Aryo Blitar I dengan Ki
Sengguruh Kinareja yang tak lain adalah patihnya sendiri. Konflik ini terjadi
karena Sengguruh ingin mempersunting Dewi Rayung Wulan, istri Aryo Blitar I.
Singkat
cerita, Aryo Blitar I lengser dan Sengguruh meraih tahta dengan gelar Adipati
Aryo Blitar II. Akan tetapi, pemberontakan kembali terjadi. Aryo Blitar II
dipaksa turun oleh Joko Kandung, putra dari Aryo Blitar I. Kepemimpinan Joko
Kandung dihentikan oleh kedatangan bangsa Belanda. Sebenarnya, rakyat Blitar
yang multietnis saat itu telah melakukan perlawanan, tetapi dapat diredam oleh
Belanda dengan membuat peraturan baru.-->
Kota
Blitar mulai berstatus gemeente (kotapraja) pada tanggal 1 April 1906
berdasarkan peraturan Staatsblad van Nederlandsche Indie No. 150/1906. Pada
tahun itu, juga dibentuk beberapa kota lain di Pulau Jawa, antara lain Batavia,
Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang, Samarang, Salatiga, Madioen, Malang,
Soerabaja, dan Pasoeroean.
Dengan
statusnya sebagai gemeente, selanjutnya di Blitar juga dibentuk Dewan
Kotapradja Blitar yang beranggotakan 13 orang dan mendapatkan subsidi sebesar
11.850 gulden dari Pemerintah Hindia-Belanda. Untuk sementara, jabatan
burgemeester (wali kota) dirangkap oleh Residen Kediri.
Pada
zaman pendudukan Jepang, berdasarkan Osamu Seirei tahun 1942, kota ini disebut
sebagai Blitar-shi dengan luas wilayah 16,1 km² dan dipimpin oleh seorang
shi-chō.
Selanjutnya,
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 17/1950, Kota Blitar ditetapkan
sebagai daerah kota kecil dengan luas wilayah 16,1 km². Dalam perkembangannya,
nama kota ini kemudian diubah lagi menjadi Kotamadya Blitar berdasarkan
Undang-Undang No. 18/1965. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 48/1982, luas
wilayah Kotamadya Blitar ditambah menjadi 32,58 km² serta dikembangkan dari
satu menjadi tiga kecamatan dengan 20 kelurahan. Terakhir, berdasarkan
Undang-Undang No. 22/1999, nama Kotamadya Blitar diubah menjadi Kota Blitar.
Pariwisata
Potensi pariwisata Kota Blitar tidak lepas dari nilai-nilai sejarah yang masih kental tergurat di kota yang pernah menjadi salah satu tempat berkecamukmya semangat kepahlawanan pejuang bangsa. Nama-nama besar seperti Adipati Aryo Blitar, Proklamator Bung Karno, Shodancho Suprijadi, dan lain sebagainya menjadi inspirasi yang ikut mewarnai dinamika, arah, dan kemajuan kota yang sedang tumbuh ini.
Pariwisata
Potensi pariwisata Kota Blitar tidak lepas dari nilai-nilai sejarah yang masih kental tergurat di kota yang pernah menjadi salah satu tempat berkecamukmya semangat kepahlawanan pejuang bangsa. Nama-nama besar seperti Adipati Aryo Blitar, Proklamator Bung Karno, Shodancho Suprijadi, dan lain sebagainya menjadi inspirasi yang ikut mewarnai dinamika, arah, dan kemajuan kota yang sedang tumbuh ini.