1. Peradilan dan Sanksi Atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Kasus pelanggaran HAM akan senatiasa terjadi jika tidak secepatnya
ditangani. Negara yang tidak mau menangani kasus pelanggaran HAM yang terjadi
di negaranya akan disebut sebagai unwillingness state atau negara yang tidak mempunyai kemauan menegakkan HAM. Kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di negara tersebut akan disidangkan oleh Mahkamah
Internasional. Hal tersebut tentu saja menggambarkan bahwa kedaulatan hukum
negara tersebut lemah dan wibawa negara tersebut jatuh di dalam pergaulan
bangsa-bangsa yang beradab. Sebelum berlakunya Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM, kasus pelanggaran HAM diperiksa dan diselesaikan
di pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden dan berada
di lingkungan peradilan umum. Setelah berlakunya undang-undang tersebut kasus
pelanggaran HAM di Indonesia ditangani dan diselesaikan melalui proses
peradilan di Pengadilan HAM.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dilakukan berdasarkan
ketentuan Hukum Acara Pidana. Proses penyidikan dan penangkapan dilakukan oleh Jaksa
Agung dengan disertai surat perintah dan alasan penangkapan, kecuali tertatangkap
tangan. Penahanan untuk pemeriksaan dalam sidang di Pengadilan HAM dapat
dilakukan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari oleh
pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya. Penahanan di pengadilan tinggi
dilakukan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari.
Penahanan di Mahkamah Agung paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling
lama 30 hari.
Adapun, penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang
berat dilakukan oleh Komnas HAM. Dalam melakukan penyelidikan, Komnas HAM dapat
membentuk Tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat. Hasil
penyelidikan Komnas HAM yang berupa laporan pelanggaran hak asasi manusia
diserahkan berkasnya kepada Jaksa Agung yang bertugas sebagai penyidik. Jaksa
Agung wajib menindak lanjuti laporan dari Komnas Ham tersebut. Jaksa Agung
sebagai penyidik dapat membentuk penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur
pemerintah dan masyarakat.
Proses penuntutan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh
Jaksa Agung. Dalam pelaksanaan tugasnya, Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum
ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah atau masyarakat. Setiap saat Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada
Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat. Jaksa penuntut umum ad hoc sebelum
melaksanakan tugasnya harus mengucapkan sumpah atau janji. Selanjutnya, perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan diputuskan oleh
Pengadilan HAM yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM paling lama 180
hari setelah berkas perkara dilimpahkan dari penyidik kepada Pengadilan HAM.
Majelis Hakim Pengadilan HAM yang berjumlah lima orang terdiri atas dua orang
hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan tiga orang hakim ad hoc yang
diketuai oleh hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan.
Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dimohonkan banding ke pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus
dalam waktu paling lama 90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke
Pengadilan Tinggi. Pemeriksaan perkara pelanggaran HAM di pengadilan tinggi
dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas dua orang hakim pengadilan
tinggi yang bersangkutan dan tiga orang hakim ad hoc. Kemudian, dalam hal
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung,
perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari terhitung
sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung. Pemeriksaan perkara pelanggaran
HAM berat di Mahkamah Agung dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas dua orang
Hakim Agung dan tiga orang hakim ad hoc. Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas
usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
2. Peradilan dan Sanksi Atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Internasional
Secara garis besar apabila terjadi pelanggaran HAM berat dan
berskala internasional, proses peradilannya sebagai berikut.
a. Jika suatu negara sedang
melakukan penyelidikan, penyidikan atau penuntutan atas kejahatan yang terjadi, maka pengadilan pidana internasional
berada dalam posisi inadmissible (ditolak) untuk menangani perkara kejahatan tersebut. Akan tetapi,
posisi inadmissible dapat berubah menjadi admissible (diterima untuk menangani perkaran pelanggaran HAM) apabila negara
yang bersangkutan enggan (unwillingness) atau tidak mampu (unable) untuk melaksanakan tugas investigasi dan penuntutan.
b. Perkara yang telah
diinvestigasi oleh suatu negara, kemudian negara yang bersangkutan telah
memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan lebih lanjut terhadap pelaku
kejahatan tersebut, maka pengadilan pidana internasional berada dalam posisi inadmissible. Namun dalam hal ini, posisi inadmissible dapat berubah menajdi admissible bila putusan berdasarkan keengganan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unability) dari negara untuk melakukan penuntutan.
c. Jika pelaku kejahatan telah
diadili dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka terhadap pelaku
kejahatan tersebut sudah melekat asas nebus in idem. Artinya, seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya
dalam perkara yang sama setelah terlebih dahulu diputuskan perkaranya oleh
putusan peradilan yang tetap.
Putusan peradilan yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan itu
bersalah, maka berakibat akan jatuhnya sanksi. Sanksi internasional dijatuhkan
kepada negara yang dinilai melakukan pelanggaran atau tidak peduli terhadap
pelanggaran hak asasi manusia di negaranya. Sanksi yang diterapkan
bermacam-macam, diantaranya:
1) diberlakukannya travel warning (peringatan bahaya untuk berkunjung ke negara tertentu) terhadap
warga negaranya,
2) pengalihan investasi atau penanaman modal asing,
3) pemutusan hubungan diplomatik,
4) pengurangan bantuan ekonomi,
5) pengurangan tingkat kerja sama,
6) pemboikotan produk ekspor,
7) embargo ekonomi.