dalam fiqih, ASWAJA MENGIKUTI SALAH SATU DARI 4 MADZHAB


Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku (Sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).”[HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 ]
Siapakah pengikut ulama SALAF sebenarnya?
  • Imam Hanafi lahir:80 hijrah
  • Imam Maliki lahir: 93 hijrah
  • Imam Syafie lahir:150 hijrah
  • Imam Hanbali lahir:164 hijrah

Imam Malik lahir tahun 93 Hijriyah. Sementara Imam Bukhari lahir tahun 196 H dan Imam Muslim lahir tahun 204 H. Artinya Imam Malik sudah ada 103 tahun sebelum Imam Bukhari lahir.
Biar kata misalnya menurut Sahih Bukhari misalnya sholat Nabi begini2 dan beda dgn sholat Imam Mazhab, namun para Imam Mazhab seperti Imam Malik melihat langsung cara sholat puluhan ribu anak2 sahabat Nabi di Madinah. Anak2 sahabat ini belajar langsung ke Sahabat Nabi yang jadi bapak mereka. Jadi lebih kuat ketimbang 2-3 hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari 100 tahun kemudian.

Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Kenapa?

Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Kedua, karena keempat imam mazhab itu sendiri justru merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang secara zaman lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada masa Bukhari atau Muslim sendiri. Maka kualitas periwayatan hadits mereka dipastikan lebih kuat dan lebih terjamin ketimbang kualitas di masa-masa berikutnya. Keempat, justru Bukhari dan Muslim sendiri malah bermazhab kepada para imam mazhab yang empat itu. Banyak kajian ilmiyah yang memastikan bahwa Bukhari sendiri dalam fiqihnya bermazhab Syafi’i.

Ada suatu ungkapan para imam mazhab: “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu tidak mengerti dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya. Padahal maksudnya bukan begitu. Para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu ada yang lebih kuat. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu kurang kuat menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”. Dan Yang bicara tentang derajat hadits itu adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka meninggalkannya. Bukan karena mereka tidak mengetahui atau tidak mengerti melainkan mereka mengetahui semuanya kemudian memilih yang terkuat menurut penilaian beliau, perlu diingat bahwa beliau-beliau hafal lebih 1 juta hadist dan hidup dimasa keemasan yang disebutkan Rosululloh, bila beliau salah tentulah banyak ulama hadist dimasa itu yang mengoreksinya, tetapi yang terjadi mereka mengikuti madzhab beliau.

Madzhab yg diakui Ahlussunnah wal Jamaah ini bukan hanya empat saja, namun masih banyak lagi, dan boleh boleh saja bermadzhabkan pada selain Madzhab 4, tidak harus dizaman sekarang, di zaman dulu pun boleh boleh saja, namun sulit sekali kita mengakui kebenarannya dan mempelajari sumbernya, karena kitab kitab sumbernya pun jarang dan sulit dicari, demikian pula ulama ulama fiqih nya, karena Imam Madzhab haruslah seorang Mujtahid, sudah mencapai derajat Muhaddits yaitu hafal lebih dari seratus ribu hadits dengan hukum sanad dan matannya, dan pula telah betul betul mendalam dalam segala cabang Ilmu syariah.

Tak ada lagi Imam Madzhab baru dizaman sekarang, karena tak adalagi yg mampu mencapai derajat tersebut saat ini.
sebagaimana muncul ajaran ajaran sesat di akhir zaman ini yg mengaku sebagai madzhab, padahal tidak diakui oleh jumhur ulama Ahlussunnah waljamaah dan menyimpang dari kebenaran seperti madzhab wahabiy, yg tidaklah Imam mereka itu memenuhi persyaratan sebagai Imam Madzhab.
Namun ada madzhab madzhab lain yg imam imamnya diakui oleh jumhur muhadditsin ahlussunnah wal jamaah, namun alangkah sulitnya kita mencari sumbernya dizaman sekarang ini,

dan bagaimana pula kita bermakmum atau menjadi imam, karena kemungkinan terdapat perbedaan pendapat, demikian pula dalam hukum waris, hukum berwudhu, dlsb..

Hal yg paling aman bagi kita adalah bermadzhab dengan madzhab yg dipakai di wilayah tempat kita, karena akan terjamin ke absahan ibadah kita, mudah mencari kitab rujukannya, mudah mencari ulama fiqih nya,

bukankah bersentuhan dengan wanita di madzhab Syafii hukumnya batal wudhu?, maka kita yg bermadzhab syafii tidak sah bermakmum pada Madzhab yg lain, karena mereka boleh boleh saja bersentuh wanita, tak perlu berwudhu sebagaimana pada Madzhab syafii, walaupun ada pula pendapat ulama syafii yg men sahkannya

Pada Madzhab Hanafi, wudhu haruslah dari air pancuran yg mengalir, tak boleh menciduk air dengan tangannya, dan hukumnya tidak sah berwudhu terkecuali dengan pancuran air.., maka tak sah pula mereka bermakmum kepada kita karena kita tak perlu mencari pancuran, bahkan menciduk dari bak besar ( air yg lebih dari dua kulak/1,25 hasta P X L X T).pun sah wudhunya, walaupun ada pula pendapat ulama syafii yg men sahkannya

Maka yg terbaik adalah bermadzhab dengan madzhab yg jelas dan tak sulit mencari hukum hukumnya, yaitu yg memang menjadi madzhab wilayah sekitar kita, dan diseluruh dunia, yg paling banyak adalah mereka yg bermadzhabkan Syafii, ini menunjukkan bahwa Madzhab inilah yg paling dominan, karena didukung oleh ulama terbanyak

Mengenai keberadaan negara kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian guru – guru kita dan guru-guru dari guru – guru kita, sanad guru mereka jelas hingga Imam Syafii, dan sanad mereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga Rasul saw.

Bukan sebagaimana orang – orang masa kini yang mengambil ilmu dari buku terjemahan atau menggunting dari internet lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya. Anda benar, bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di Makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan Hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa kini yang gemar mencari yang aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yang lain, hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat.

Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih (shariih : jelas). Namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa – apa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.

Misalnya kita membeli air, apa hukumnya? tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yang harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air? dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yang wajib.

Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudera syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di Imam – Imam Muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, karena kita tak bisa beribadah hal – hal yang fardhu atau wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.

Sebagaimana suatu contoh kejadian ketika Zeyd dan Amir sedang berwudhu, lalu keduanya ke pasar, dan masing – masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka Zeyd berwudhu dan Amir tak berwudhu. Ketika Zeyd bertanya pada Amir, mengapa kau tak berwudhu? bukankah kau bersentuhan dengan wanita? maka amir berkata, aku bermadzhabkan Maliki, maka Zeyd berkata, maka wudhu mu itu tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab maliki mengajarkan wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii.

Demikian contoh kecil dari kebodohan orang yang mengatakan bermadzhab tidak wajib, lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas wudhunya? ia butuh sanad yang ia pegang bahwa ia berpegangan pada sunnah Nabi saw dalam wudhunya, sanadnya berpadu pada Imam Syafii atau pada Imam Malik? atau pada lainnya? atau ia tak berpegang pada salah satunya sebagaimana contoh diatas.

Dan berpindah – pindah madzhab tentunya boleh – boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun (malikiyyun orang – orang yang bermadzhab maliki) maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dengan madzhab syafii-nya. Demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab syafi’iyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain.
 

diambil dari: http://farid.zainalfuadi.net/mengenal-ahlussunnah-wal-jamaah/