Ahlussunnah Wal-Jama’ah Islam, Wahabi Islam, Syiah juga Islam. Jadi Islam telah menyatukan mereka. Hanya saja kemudian mereka dikotak-kotakkan dan dipisahkan oleh banyak perbedaan baik dalam masalah-masalah ushul (akidah) maupun dalam masalah-masalah furu’ (fiqih). [Tentu saja, Syiah masih dianggap Islam, selama mereka tidak menistakan para istri Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak mengakafirkan sahabat dan tidak meyakini kepalsuan al-Qur’an).
90 % umat Islam itu pengikut madzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan yang 10 % ada yang Syiah, Zaidiyah, Khawarij (Ibadhiyah) dan Mu’tazilah.
Dari 90 % pengikut madzhab empat tersebut, apabila kita petakan akidah mereka adalah sebagai berikut:
1) Pengikut madzhab Hanafi, 30 % mengikuti akidah Asya’irah, dan 70 % mengikuti Maturidiyah
2) Pengikut madzhab Maliki dan Syafi’i, 100 % mengikuti Asya’irah
3) Pengikut madzhab Hanbali, dalam akidah pecah menjadi tiga kelompok.
Pertama, mayoritas mereka, atau sekitar 60 % adalah pengikut Hasyawiyah, atau Mujassimah yang berkeyakinan Allah berdomisili di Arasy. Kelompok ini disebut dengan Ghulat al-Hanabilah (kaum ekstrem madzhab Hanbali).
Kedua, kelompok yang mengikuti madzhab Asya’iroh, seperti Abul Wafa Ibnu ‘Aqil, Rizqullah bin Abdul Wahhab al-Tamimi dan Abul Faraj Ibnul Jauzi. Kelompok ini disebut dengan fudhala’ al-hanabilah (kaum utama madzhab Hanbali).
Ketiga, mengikuti ajaran tafwidh, yakni tidak melakukan ta’wil terhadap nash-nash mutasyabihat, tapi menyerahkan maknanya kepada Allah subhanahu wata’ala.
Ketiga kelompok tersebut sama-sama mengklaim sebagai representasi pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal dalam bidang akidah. Akan tetapi meskipun ketiga kelompok tersebut berbeda dalam soal-soal akidah, mereka sama-sama mengikuti ajaran tashawuf, melakukan istighatsah, tawasul, tabaruk dan ziarah kubur.
Pada abad ketujuh Hijriah, kelompok Ghulat al-Hanabilah hampir habis dan beralih haluan mengikuti Asya’irah, berkat kebijakan Raja Zhahir Baibars al-Bindiqdari, yang mengangkat Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat) dari madzhab empat. Sehingga keempat madzhab tersebut sering melakukan diskusi, dan dampak positifnya, penyakit tajsim (menjasmanikan Tuhan) yang menggerogoti Hanabilah, sedikit demi sedikit terobati dan hampir habis.
Hanya saja setelah itu lahir Syaikh Ibnu Taimiyah, yang kemudian berhasil meradikalisasi madzhab Hanbali dalam bidang ushul dan furu’. Dalam bidang akidah, Ibnu Taimiyah mengembalikan mayoritas Hanabilah menjadi pengikut Hasyawiyyah dan membabat habis kelompok Fudhala’ al-Hanabilah yang mengikuti Asya’irah. Sedangkan dalam bidang furu’, Ibnu Taimiyah mengharamkan istighatsah, tawasul, tabaruk dan ziarah makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wali dengan tujuan tabaruk.
Dalam rangka radikalisasi tersebut, Ibnu Taimiyah membuat perangkat ideologi yang disebut dengan pembagian Tauhid menjadi tiga, yaitu Rububiyah, Uluhiyah dan Asma wa Shifat. Tauhid Uluhiyah dibuat untuk melarang amalan-amalan seperti istighatsah, tawasul, tabaruk dan ziarah. Sedangkan Tauhid Asma wa Shifat dibuat untuk menyesatkan mayoritas umat Islam yang berakidah tanzih (menyucikan Allah dari menyerupai makhluk) dan melakukan ta’wil terhadap nash-nash mutasyabihat. Akan tetapi perlu dicatat, Ibnu Taimiyah masih membolehkan membaca al-Qur’an di kuburan, tahlilan, dzikir bersama, maulid dan beberapa tradisi shufi lainnya.
Pada abad kedua belas Hijriah, muncul Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri Wahabi. Dia meradikalisasi madzhab Hanbali, lebih keras dari Ibnu Taimiyah, dengan mengadopsi akidah Hasyawiyah. Hanya saja, beberapa amalan yang diharamkan oleh Ibnu Taimiyah, seperti istighatsah, tawasul, tabaruk dan ziarah dengan alasan Tauhid Uluhiyah, oleh pendiri Wahabi tersebut dinaikkan status hukumnya menjadi syirik akbar, murtad dan kafir. Sedangkan beberapa tradisi shufi yang dibolehkan oleh Ibnu Taimiyah, seperti dzikir bersama, membaca al-Qur’an di kuburan, maulid, tahlilan dan semacamnya diharamkan dengan alasan bid’ah dhalalah dan pemurnian agama.
Sekarang kita melihat perbedaan akidah, antara Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Wahabi dan Syiah. Contohnya dalam konsep tentang ketuhanan.
Dalam madzhab Ahlussunnah Wal-Jama’ah, berkaitan dengan ketuhanan ada konsep sifat wajib dua puluh bagi Allah. Sifat dua puluh ini, selain sebagai internalisasi, atau membangun konsep yang benar tentang ketuhanan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah seperti yang dipahami oleh ulama salaf, juga sebagai respon terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan faksi-faksi di luar Ahlussunnah Wal-Jama’ah, seperti Mu’tazilah, Zaidiyah, Syiah, Wahabi dan lain-lain. Secara sederhana begini, sifat dua puluh tersebut dibangun oleh para ulama dalam rangka menjawab pertanyaan paling mendasar tentang Allah.
Misalnya tentang sifat wujud. Ada sebuah pertanyaan, apakah Allah itu ada? Jawabannya, Allah itu ada, dan keberadaannya bersifat wajib ‘aqli (wajibul wujud). Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Wahabi, Mu’tazilah dan para pengikutnya, yaitu Zaidiyah, Syiah, Khawarij dan Hizbut Tahrir. Karena keempat kelompok tersebut secara ideologi mengikuti Mu’tazilah.
Pertanyaan kedua, apabila Tuhan itu ada, lalu sejak kapan keberadaan-Nya? Jawabannya, Tuhan itu bersifat qidam, keberadaan-Nya tanpa permulaan. Mengenai sifat qidam ini, umat Islam sepakat, bahwa wujudnya Tuhan tanpa permulaan, baik Ahlussunnah, Mu’tazilah, Syiah dan Wahabi. Hanya saja, dalam ajaran Hasyawiyah (yang diikuti Wahabi), sejak masa Ibnu Taimiyah, menolak penggunaan istilah qidam bagi Allah, dan menganggapnya bid’ah yang sesat, dengan alasan istilah qidam bagi Allah tidak ada dalam al-Qu’an dan hadits. Padahal penetapan sifat Qidam tersebut didasarkan pada dalil ijma’ ulama salaf. Oleh karena itu, para ulama sebelum Ibnu Taimiyah, termasuk Hasyawiyah sendiri menerima istilah Qidam bagi Allah.
Pertanyaan ketiga, sampai kapan wujudnya Tuhan? Jawabannya, Tuhan wajib bersifat baqa’, kekal dan abadi, yaitu wujudnya tidak ada akhirnya. Dalam masalah ini, semua umat Islam sepakat, karena istilah baqa’ bagi Tuhan memang ditegaskan dalam al-Qur’an.
Pertanyaan keempat, kalau Tuhan itu memang Wujud, Qidam dan Baqa’, lalu Tuhan itu seperti apa? Jawabannya, mayoritas umat Islam, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Mu’tazilah dan Syiah sepakat menjawab, Tuhan itu bersifat mukhalafah lil-hawaditsi, yaitu Dzat Tuhan berbeda dengan apapun dari makhluk-makhluk-Nya yang baru. Sementara kaum Wahabi berbeda dengan mayoritas umat Islam. Karena itu, Wahabi disebut kaum Musyabbihah (menyerupakan Tuhan dengan makhluk) dan Mujassimah (menjasmanikan Tuhan).
Pertanyaan kelima, kalau begitu, Tuhan tinggal di mana? Menjawab pertanyaan ini, ketiga kelompok tadi berbeda lagi. Mu’tazilah dan Syiah menjawab, Tuhan ada di mana-mana. Wahabi menjawab lain, dan berpendapat bahwa Tuhan bertempat di Arasy. Sedangkan Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang merupakan mayoritas umat Islam menjawab, Tuhan tidak butuh pada tempat. Tuhan ada sebelum adanya tempat.
Masalah ini sebenarnya perbedaan yang paling utama dan paling pokok antara Wahabi dengan umat Islam yang lain dalam masalah ketuhanan. Sehingga menurut Wahabi, umat Islam yang tidak meyakini Tuhan berdomisili di Asrasy adalah kafir, karena telah melanggar Tauhid Asma wa Shifat. Dan dengan Tauhid Asma wa Shifat ini pula, Wahabi menganggap umat Islam yang melakukan ta’wil terhadap nash-nash mutasyabihat adalah sesat. Padahal ta’wil dalam hal tersebut telah dilakukan oleh kaum salaf yang shaleh sejak generasi sahabat. Jadinya, Tauhid Asma wa Shifat telah berdampat negatif, karena menyesatkan umat Islam sejak generasi salaf yang shaleh.
Sementara Ahlussunnah Wal-Jama’ah, berpendapat bahwa keyakinan Wahabi bahwa Tuhan berdomisili di Arasy adalah sesat dan menyesatkan. Karena keyakinan tersebut dapat menjerumuskan pada kekufuran. Kaum Wahabi memiliki keyakinan, bahwa setiap sesuatu yang ada pasti bertempat. Tuhan itu ada, berarti bertempat. Kalau tidak bertempat, berarti tidak ada.
Beberapa waktu yang lalu Seorang kyai berdialog dengan seorang Ustadz Wahabi dan bertanya kepada dia,
Tuhan itu bertempat apa tidak? Dia menjawab, ya bertempat. Kalau tidak bertempat berarti tidak ada. Karena setiap sesuatu yang ada pasti bertempat.
Lalu bertanya, kalau begitu, tempat-Nya di mana? Dia menjawab, di Arasy.
Lalu saya bertanya lagi, Arasy itu makhluk apa bukan? Kalau Anda menjawab bukan makhluk, Anda kafir, karena meyakini ada sesuatu selain Tuhan yang bukan makhluk Tuhan.
Kalau Anda menjawab, Arasy itu makhluk, saya akan bertanya lagi. Dia menjawab, tentu saja Arasy itu makhluk.
Lalu bertanya lagi, kalau begitu, sebelum Allah menciptakan Arasy, Allah bertempat di mana? Akhirnya Wahabi tersebut tidak bisa menjawab, dan berbicara ke mana-mana.
Pendapat Wahabi bahwa setiap sesuatu yang ada pasti bertempat, jelas menjerumuskan pada kekufuran, ketika mereka dihadapkan pada persoalan, di mana tempat Tuhan sebelum menciptakan tempat. Kalau mereka menjawab, Tuhan tidak ada, berarti mereka kafir. Kalau mereka menjawab, Tuhan ada tanpa tempat, berarti mereka paradoks dan membatalkan konsepnya sendiri.
Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga menolak konsep Mu’tazilah dan Syiah yang mengatakan Tuhan ada di mana-mana. Karena pendapat tersebut melecehkan Tuhan, dengan kesimpulan bahwa Tuhan ada di tempat-tempat yang baik seperti Masjid dan tempat ibadah, juga di tempat-tempat yang tidak baik seperti toilet dan semacamnya. Oleh karena itu, mayoritas umat Islam, Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini Tuhan itu ada tanpa tempat.
Mungkinkah Nahdlatul Ulama bersatu dengan Wahabi? Jawabannya, di sini harus dipahami bahwa perbedaan kami dengan Wahabi tidaklah sederhana. Kami mengikuti mayoritas umat Islam sejak generasi salaf yang shaleh dari kaum ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Sedangkan Wahabi mengikuti kaum Hasyawiyah, Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi. Sedangkan Syiah mengikuti Mu’tazilah.
diambil dari: http://farid.zainalfuadi.net/mengenal-ahlussunnah-wal-jamaah/