PENYAMPAIAN AJARAN AHLUSSUNNAH KEPADA GENERASI PENERUS

PENYAMPAIAN AJARAN AHLUSSUNNAH KEPADA GENERASI PENERUS
Ajaran Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan Al Hadits disampaikan di Makkah dan Madinah lebih dari lima belas abad yang lalu. Kemudian, disebarluaskan dan diwariskan kepada seluruh umat manusia. Al Qur’an dan Al Hadits disampaikan untuk umat manusia sepanjang zaman dengan segala perubahan dan perkembangannya.
Pada zaman Nabi masih hidup, para sahabat mendapatkan ajaran Agama Islam dari Nabi. Pada waktu itu wahyu masih turun dan jika ada pertanyaan-pertanyaan tentang agama mereka bisa menanyakan kepada Rasulullah. Meskipun demikian, ada pula ijtihad sahabat jika memang permasalahan itu tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau hadits Nabi sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabbal ketika diutus ke Yaman.
Setelah Nabi wafat, penyampaian ajaran Islam dilanjutkan oleh para sahabat. Di antara sahabat itu ada yang hidup berdampingan dengan Rasulullah dan ada yang rumahnya jauh dari Rasulullah, ada yang selalu bersama dengan Rasulullah dan ada yang jarang bertemu Rasulullah. Ada yang cerdas namun ada pula yang biasa saja. Para sahabat yang hidup bersama dengan Rasulullah, sering bersama Rasulullah, dan cerdas sering menjadi tempat bertanya para sahabat yang lain.
Setelah para sahabat wafat, estafet pengajaran Agama Islam disampaikan oleh  para  tabi’in.  Merekalah  yang  menggantikan para sahabat. Mereka yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi yang didapatkan dari para sahabat. Dan setelah tabi’in wafat, pengajaran Agama Islam disampaikan oleh tabi’it tabi’in.
Pada masa tabi’in ini permasalahan menjadi bertambah kompleks. Banyak hal yang terjadi yang belum terjadi pada masa Nabi dan sahabat tetapi terjadi pada masa tabi’in. Selain itu, pada masa tabi’in umat Islam sudah terpecah-pecah, ada jumhur, ada Syi’ah, ada Muktazilah, dan sebagainya. Pada masa tabi’in juga sudah ada pemalsuan hadits Rasulullah. Akan tetapi, pada masa tabi’in dan sesudahnya ini juga muncul para ulama mujtahid. Ada Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafii, dan Imam Hanbali. Ada pula penulis dan penyeleksi hadits seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i, Imam Ibnu Majah, dan lain-lain. Para ulama mujtahid tersebut mendirikan madzhab dan yang paling masyhur ada empat madzhab. Merekalah yang disebut mujtahid mustaqil.
Problem umat semakin kompleks, sementara keempat imam madzhab sudah wafat. Akhirnya ijtihad diteruskan oleh mujtahid muntashib (mujtahid terbatas) dan dilanjutkan oleh ashhabul fatwa lalu dilanjutkan oleh para ulama hingga sampai kepada orang awam.
Ajaran dari Nabi Muhammad SAW diteruskan kepada sahabat kemudian para tabi’in. Pada masa tabi’in dan sesudahnya ini juga muncul para ulama mujtahid mustaqil (yang paling masyhur ada empat madzhab).

TANTANGAN YANG DIHADAPI DALAM MELESTARIKAN AJARAN AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH
Jaminan penjagaan Allah terhadap Agama Islam sampai hari kiamat, bukan berarti kemudian umat Islam tidak wajib berjuang mempertahankannya. Rasulullah SAW saja harus berjuang demi mempertahankan Agama Islam ini dari serangan orang-orang kafir.
Peperangan antara umat Islam dan orang-orang kafir masih terus berlangsung sampai saat ini. Peperangan tersebut mencakup perang fisik dan perang non fisik. Peperangan fisik dengan mengerahkan tenaga dan senjata seperti terjadi di Palestina. Sedangkan peperangan non fisik mencakup perang ideologi, politik, dan kebudayaan (Ghoswah Al-Fikr).
Ilmu pengetahuan juga merupakan salah satu senjata bagi kaum kafir untuk melenyapkan ajaran Islam. Berikut ini upaya-upaya kaum kafir dalam melenyapkan ajaran Islam melalui ilmu pengetahuan:
1. Mengaburkan al-hadits, yang diawali dengan membayangkan sesuatu yang pantas diragukan, seperti: meragukan kemampuan Abu Hurairah meriwayatkan banyak hadits dan meragukan kemampuan Az-Zuhri dalam mengumpulkan hadits yang berserakan. Jika keraguan terhadap hadits sudah tertanam, maka ditanamkanlah keraguan terhadap al-Qur’an.
2. Menganjurkan penggunaan akal yang sebebas-bebasnya karena Islam pun menghargai akal dan pikiran. Mereka menumbuhkan pendapat bahwa akal manusia cukup untuk mengatur segala- galanya. Sasaran akhirnyaadalahagarumat Islam lebih menampilkan akalnya dan mengesampingkan agamanya. Kalau sasaran ini sudah tercapai, maka dengan mudah mereka akan memompa otak kaum muslimin dengan teori-teori, paham-paham, dan doktrin ciptaan mereka, antara lain:
Intelektualisme: paham yang menyatakan bahwa dengan akal saja manusia akan dapat mencapai segala tujuan hidupnya
Materialisme: paham yang mengajarkan bahwa yang paling menentukan hidup manusia adalah benda
Sekulerisme: paham yang mengajarkan bahwa manusia harus dapat memisahkan masalah duniawi yang harus dijadikan urusan pokok dan masalah ukhrawi yang diragukan kebenarannya
Bahaya-bahaya tersebut merupakan bahaya yang datang dari luar. Adapun bahaya-bahaya yang muncul dari dalam umat Islam sendiri, antara lain:
1 Sikap memihak yang berlebihan kepada seseorang atau sekelompok orang, baik  karena  motif  kekeluargaan  atau  kekuasaan  atau  motif lainnya, sehingga cenderung mencari dalih dan dalil untuk membenarkan sikap sendiri.
2 Sikap “menentang yang lama” secara berlebihan sehingga tergelincir pada sikap “serba anti lama”, anti madzhab, anti taqlid, anti ziarah kubur, dan sebagainya.
3 Masih adanya siswa-siswa kepercayaan lama, seperti Israiliyat dan Majusi, yang ditambah dan dikobarkan kembali dengan sengaja oleh kaum munafiqin.
Oleh karena itu, untuk melestarikan ajaran Ahlussunah Waljama’ah, kita harus mengetahui hakekat Ahlussunnah Waljama’ah, bagaimana prinsip-prinsip ajarannya, apa saja landasan hukumnya. Di samping itu, kita hendaknya juga mengerti ilmu-ilmu sosial, seperti: ekonomi, politik, dan sosiologi.
Untuk melestarikan ajaran Ahlussunah Waljama’ah, kita harus mengetahui hakekat Ahlussunnah Waljama’ah, prinsip-prinsip ajarannya, dan apa saja landasan hukumnya. Di samping itu, kita hendaknya juga mengerti ilmu- ilmu sosial, seperti: ekonomi, politik, dan sosiologi.
 
PERANAN ULAMA DALAM MELESTARIKAN AJARAN NABI MUHAMMAD SAW
Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dua sumber pokok hukum Islam yang ditulis dalam Bahasa Arab. Untuk memahami kedua sumber tersebut umat Islam hendaknya menguasai bahasa Arab dengan baik. Pada sisi lain, Islam sudah tersebar luas ke seluruh penjuru dunia. Saat ini mayoritas umat Islam tidak menguasai  bahasa  Arab dengan  baik, bahkan yang buta huruf Al-Qur’an pun masih sangat banyak. Fenomena di atas menunjukkan bahwa untuk memahami ajaran agama Islam secara langsung dari sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan hadits tidaklah dapat dilakukan oleh setiap orang. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak bisa berbahasa Arab akan menafsirkan Al Qur’an dan hadits secara langsung tanpa mengikuti penafsiran para ulama mufassirin terdahulu? Bagaimana mungkin orang akan berijtihad dalam suatu masalah hukum jika ia tidak memiliki alat ijtihad yang komplet?
Bagaimanapun juga baik diakui  maupun  tidak  ada  hirarki dalam penyampaian ajaran Agama Islam dari masa Nabi hingga sekarang, bahkan hingga akhir zaman. Dahulu ajaran Islam dijelaskan oleh Nabi kepada para sahabat, lalu setelah Nabi wafat, para sahabat yang mengajarkan ajaran agama Islam kepada para tabi’in, para tabi’it tabi’in pun mengajarkan ajaran Agama Islam kepada generasi-generasi sesudahnya, dan akhirnya agama Islam sampai kepada kita melalui para ulama yang mendidik dan mengajar kita.
Berhukum langsung kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa diiringi kemampuan berijtihad yang sempurna bukan mendekatkan kepada kebenaran tetapi justru bisa membuat orang tersesat. Hal itu disebabkan karena kemampuan orang pada zaman sekarang untuk menghafal ratusan ribu hadits dengan mengerti sanad dan para perawinya, mengetahui asbabul wurudnya, nasikh dan mansukhnya, dan segala yang berkaitan adalah tidak mudah. Apalagi pada zaman sekarang banyak orang yang bahasa Arab saja tidak paham, tetapi mereka enggan memperhatikan pendapat ulama karena ingin mengambil hukum langsung dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan hadits. Yang menjadi masalah, mampukah dia untuk melakukan itu? Apakah orang yang berbuat demikian menganggap bahwa para ulama mujtahid itu tidak mengggunakan Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar ijtihadnya? Alangkah naifnya orang yang mengetahui Al-Qur’an dan Al-Hadits hanya dari buku-buku yang sudah diterbitkan namun merasa lebih piawai daripada para ulama mujtahid dan mengecam para muqallid. Pada hakikatnya orang yang bersumber langsung dari terjemahan Al-Qur’an dan terjemahan hadits adalah taklid kepada para penerjemah.
Dengan melalui ilmu para ulama yang tidak diragukannya itulah, Islam terus berkembang hingga kini dan bahkan hingga akhir zaman.