STATUS MUKMIN DAN KAFIR DALAM PANDANGAN BERBAGAI FIRQAH

STATUS MUKMIN DAN KAFIR DALAM PANDANGAN BERBAGAI FIRQAH

Ada perbedaan antara berbagai firqah tentang status mukmin dan kafir. Menurut Ahlussunnah, seseorang disebut mukmin jika ia beriman kepada keenam rukun iman. Keimanan tersebut tidak hilang meskipun dia melakukan dosa besar. Mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat statusnya tetap menjadi mukmin, tetapi mukmin yang berdosa. Kelak dia akan dimasukkan ke dalam neraka, setelah hukumannya sesuai dengan dosa yang telah dilakukannya, ia bisa masuk ke surga.
Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad sehingga ia wajib dibunuh.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang telah dilakukannya terserah kepada Allah untuk mengampuninya atau tidak mengampuninya.
Golongan Muktazilah tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi juga bukan mukmin. Orang yang serupa ini menurut mereka mengambil posisi di antara kedua posisi mukmin dan kafir yang di dalam bahasa Arabnya dikenal dengan posisi manzilah bainal manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Golongan Muktazilah berbeda pendapat dengan golongan Asy’ariyah. Menurut Mu’tazilah, mukmin yang berdosa dan mati sebelum bertaubat dikategorikan sebagai orang yang fasik. Tempatnya kelak tidak di surga dan tidak pula di neraka, melainkan di satu tempat di antara surga dan neraka atau yang biasa disebut dengan manzilah bainal manzilatain.
Menurut paham Ahlussunnah Waljama’ah, seseorang disebut mukmin jika ia beriman kepada keenam rukun iman. Keimanan tersebut tidak hilang meskipun dia melakukan dosa besar.


PERBEDAAN DAN PERSAMAAN PAHAM FIRQAH-FIRQAH DALAM MASALAH IKHTIAR MANUSIA

Ada perbedaan di antara berbagai firqah seputar ikhtiar manusia. Hal ini disebabkan karena perbedaan pemahaman mereka terhadap takdir sebagaimana terdapat di sejumlah ayat Al-Qur’an. Golongan Qadariyah berpendapat bahwa ikhtiar manusia itu bersifat mutlak. Artinya, nasib manusia ditentukan sendiri oleh ikhtiarnya. Allah tidak turut campur dalam hal itu. Baik dan buruk itu adalah semata-mata pilihan dan kehendak manusia. Golongan Mu’tazilah pun berpendapat serupa. Ada banyak dalil yang mereka ajukan, diantaranya firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar Ra’du: 11)
Golongan Jabbariyah berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, segala perbuatan manusia itu telah diciptakan oleh Allah. Manusia bagaikan wayang yang selalu mengikuti lakon yang dimainkan oleh sang dalang. Atau seperti pemain sandiwara yang hanya mengikuti penulis naskah dan sutradaranya.
Jadi, apapun yang dilakukan oleh manusia, tidak pernah terlepas dari apa yang telah ditakdirkan oleh Allah. Surga dan nerakanya telah ditentukan sejak zaman azali. Manusia tidak pernah bisa mengubah takdir. Mereka (golongan Jabbariyah) pun mengajukan banyak argumen, di antaranya adalah firman Allah:
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS Ash-Shaffat: 96)
Jadi, menurut golongan ini, semua perbuatan manusia sudah diciptakaan oleh Allah, manusia hanya menjalankan takdir Allah saja. Jika manusia mencuri, maka itu memang sudah ditakdirkan oleh Allah. Surga dan neraka semua sudah ditakdirkan oleh Allah. Pokoknya kita tinggal menjalankan takdir itu saja.
Golongan Ahlussunnah berpendapat lain. Menurut mereka, Allah memang menakdirkan hidup manusia. Akan tetapi, manusia memiliki bagian usaha atau yang disebut dengan kasb. Jadi, Ahlussunnah Waljama’ah tidak sepakat dengan golongan Qadariyah yang menafikan Allah dalam perbuatannya dan juga tidak sepakat dengan golongan Jabbariyah yang berpendapat bahwa manusia itu dipaksa oleh Allah dalam segala perbuatannya tanpa adanya kemampuan untuk berusaha.
Ada perbedaan di antara berbagai firqah seputar ikhtiar manusia. Hal ini disebabkan karena perbedaan pemahaman mereka terhadap takdir sebagaimana terdapat di sejumlah ayat Al-Qur’an.


PERBEDAAN DAN PERSAMAAN PAHAM FIRQAH-FIRQAH DALAM MASALAH SIFAT-SIFAT ALLAH

Menurut Asy’ariyah, Allah mempunyai sifat-sifat. Allah hidup dengan hayat, mendengar dengan sama’, mengetahui dengan ilm, dan berkuasa dengan qudrah. Sifat-sifat itu melekat pada Dzat-Nya dan tidak dapat dipisahkan. Bagi Asy’ari, sifat-sifat Allah tidak identik dengan Dzat-Nya. Karena Allah bersifat qadim, berarti sifat-sifat Allah juga ‘azali dan qadim.
Dalam memandang masalah  sifat-sifat  Allah  ini,  pendapat kaum Asy’ariah bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah. Dalam pandangan Mu’tazilah, Tuhan tidak mempunyai sifat. Demikian kata Al-Juba’i. Sebab menurutnya, apa yang disebut dengan  sifat  itu pada dasarnya adalah esensi Dzat-Nya. Hudzail (tokoh Mu’tazilah) berpendapat bahwa Allah mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan adalah Dzat-Nya. Tuhan berkuasa dengan Dzat-Nya dan kekuasaan itu adalah Dzat-Nya.
Pendapat Mu’tazilah di atas ditentang oleh Asy’ariyah. Menurutnya, tidak mungkin Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya, melihat dengan penglihatan-Nya. Sebab, jika demikian Allah itu sama dengan pengetahuan, penglihatan, dan sebagainya.