PRINSIP-PRINSIP AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH

ASAL-USUL AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH

Berbagai macam aliran pemikiran muncul di kalangan umat Islam. Syi’ah (aliran ini juga terpecah menjadi banyak seperti Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyah, Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, dan sebagainya), Khawarij, Muktazilah, Murji’ah, dan sebagainya.
Pada akhir abad III H bertepatan dengan masa berkuasanya Al- Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari (260 H - + 330H) di Bashrah dan Abu Manshur Al-Maturidi di Samarkand. Meskipun pada taraf tertentu pemikiran kedua tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya gerakan hegemoni Muktazilah yang dilancarkan para tokoh Muktazilah dan pengikutnya. Dari kedua pemikir ini selanjutnya lahir kecenderungan baru yang mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal itu menjadi mainstream (arus utama) pemikiran-pemikiran di dunia Islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan sering dinisbatkan pada sebutan Ahlussunnah Waljama’ah yang kemudian populer dengan sebutan Aswaja. Hal ini bukan berarti Ahlussunnah Waljama’ah baru ada sesudah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Pada hakikatnya Ahlussunnah Waljama’ah sudah ada sebelumnya. Terbukti golongan ini dalam hal fikih berkiblat kepada salah satu dari keempat imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali).
Pada hakikatnya Ahlussunnah Waljama’ah sudah ada sebelum masa Abu Hasan Al-Asy’ari
dan Abu Manshur Al-Maturidi.
Terbukti golongan ini  dalam hal fikih  berkiblat  kepada salah satu dari keempat imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali).
 

PRINSIP-PRINSIP AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH

Ahlussunnah Waljama’ah memiliki empat prinsip, yaitu tawasuth (pertengahan/jalan tengah), i’tidal (tegak), tawazun (seimbang). dan Tasamuh (Toleran) 

Tawasuth berarti pertengahan, diambil dari firman Allah:
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS Al-Baqarah: 143)

I’tidal artinya tegak lurus, tidak condong ke kanan-kanan atau ke kiri-kirian, diambil dari kata al-’adlu, yang berarti adil atau I’dilu yang berarti berbuat adillah yang terdapat dalam firman Allah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al- Maidah: 8)

Tawazun artinya keseimbangan, tidak berat sebelah, dan tidak kelebihan satu unsur atau kekurangan satu unsur dan kehilangan unsur yang lain. Kata tawazun diambil dari kata al-waznu atau al-mizan yang artinya alat penimbang, diambil dari ayat:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS Al-Hadid: 25)

Tasamuh artinya Toleran atau mau memahami perbedaan.

Tawasuth, i’tidal, tawazun dan Tasamuhdi atas bukanlah serba kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Juga bukan mengucilkan diri dan menolak pertemuan dengan unsur apa-apa. Karakter tawasuth dalam Islam adalah karena memang sudah semula Allah meletakkan dalam Islam segala kebaikan, dan segala kebaikan itu pasti ada di antara dua ujung tatharuf, sifat mengujung, ekstrimisme.