PERANAN ULAMA DALAM MELESTARIKAN AJARAN NABI MUHAMMAD SAW

PERANAN ULAMA DALAM MELESTARIKAN AJARAN NABI MUHAMMAD SAW

Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dua sumber pokok hukum Islam yang ditulis dalam Bahasa Arab. Untuk memahami kedua sumber tersebut umat Islam hendaknya menguasai bahasa Arab dengan baik. Pada sisi lain, Islam sudah tersebar luas ke seluruh penjuru dunia. Saat ini mayoritas umat Islam tidak menguasai  bahasa  Arab dengan  baik, bahkan yang buta huruf Al-Qur’an pun masih sangat banyak. Fenomena di atas menunjukkan bahwa untuk memahami ajaran agama Islam secara langsung dari sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan hadits tidaklah dapat dilakukan oleh setiap orang. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak bisa berbahasa Arab akan menafsirkan Al Qur’an dan hadits secara langsung tanpa mengikuti penafsiran para ulama mufassirin terdahulu? Bagaimana mungkin orang akan berijtihad dalam suatu masalah hukum jika ia tidak memiliki alat ijtihad yang komplet?
Bagaimanapun juga baik diakui  maupun  tidak  ada  hirarki dalam penyampaian ajaran Agama Islam dari masa Nabi hingga sekarang, bahkan hingga akhir zaman. Dahulu ajaran Islam dijelaskan oleh Nabi kepada para sahabat, lalu setelah Nabi wafat, para sahabat yang mengajarkan ajaran agama Islam kepada para tabi’in, para tabi’it tabi’in pun mengajarkan ajaran Agama Islam kepada generasi-generasi sesudahnya, dan akhirnya agama Islam sampai kepada kita melalui para ulama yang mendidik dan mengajar kita.
Berhukum langsung kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa diiringi kemampuan berijtihad yang sempurna bukan mendekatkan kepada kebenaran tetapi justru bisa membuat orang tersesat. Hal itu disebabkan karena kemampuan orang pada zaman sekarang untuk menghafal ratusan ribu hadits dengan mengerti sanad dan para perawinya, mengetahui asbabul wurudnya, nasikh dan mansukhnya, dan segala yang berkaitan adalah tidak mudah. Apalagi pada zaman sekarang banyak orang yang bahasa Arab saja tidak paham, tetapi mereka enggan memperhatikan pendapat ulama karena ingin mengambil hukum langsung dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan hadits. Yang menjadi masalah, mampukah dia untuk melakukan itu? Apakah orang yang berbuat demikian menganggap bahwa para ulama mujtahid itu tidak mengggunakan Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar ijtihadnya? Alangkah naifnya orang yang mengetahui Al-Qur’an dan Al-Hadits hanya dari buku-buku yang sudah diterbitkan namun merasa lebih piawai daripada para ulama mujtahid dan mengecam para muqallid. Pada hakikatnya orang yang bersumber langsung dari terjemahan Al-Qur’an dan terjemahan hadits adalah taklid kepada para penerjemah.
Dengan melalui ilmu para ulama yang tidak diragukannya itulah, Islam terus berkembang hingga kini dan bahkan hingga akhir zaman.


STRATEGI NU DALAM MELESTARIKAN AJARAN AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH

Latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) adalah untuk mempertahankan ajaran Ahlussunnah Waljama’ah yang eksistensinya terancam ketika pemerintah Arab Saudi hendak menyatukan dunia Islam dengan paham Wahabinya. NU didirikan sebagai wadah para ulama untuk menyuarakan aspirasi umat Islam dunia agar paham Ahlussunnah Waljama’ah tidak terusik keberadaannya. Pemerintah Arab Saudi pun menyetujui hal itu.
Meskipun tujuan awal untuk berdirinya NU sudah berhasil, tetapi bukan berarti kemudian NU dibubarkan. NU tetap eksis dan tetap berusaha melestarikan dan mengembangkan ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Selain itu, sebagai organisasi NU membentuk beberapa badan atau badan khusus. Diantaranya adalah:
1. Bidang Dakwah, karena pada hakikatnya NU adalah gerakan dakwah.
2. Bidang Ma’arif, pendidikan, karena sekolah/madrasah adalah salah satu pengejawantahan amal Nahdlatul Ulama bagi masyarakat dan sekaligus merupakan saluran pengembangan ajaran Islam ‘ala madzhabi Ahlissunnah Waljama’ah.
3. Bidang Mabarat, sosial, dengan program kerja mengembangkan gairah dan kepekaan sosial sebagaimana  diajarkan  oleh Islam dan sekaligus mengusahakan kesejahteraan masyarakat lahir batin duniawi dan ukhrawi.
4. Bidang Muamalah (ekonomi) dengan program pokok mem- bimbing umat untuk bermuamalah sesuai dengan hukum dan ajaran agama Islam dan sekaligus berusaha meningkatkan potensi ekonomi umat sebagai salah satu sarana untuk mencapai ‘Izzul Islam wal Muslimin.
Selain itu, NU juga mendirikan banyak pesantren di seluruh Indonesia. Di pesantren itulah para santri NU digembleng dalam ilmu agama Islam, khususnya yang berpahamkan Ahlussunnah Waljama’ah.
Biaya pesantren dibuat semurah mungkin agar rakyat kecil dan orang miskin bisa belajar di pesantren. Di sana para santri bukan hanya dididik dengan pendidikan Islam, tetapi karakternya pun dibentuk dengan karakter Islami. Para santri bukan hanya diberi ilmu pengetahuan tetapi juga dibangun kepribadiannya. Jadi, pesantren bukan hanya wahana untuk transfer of knowledge (mentransfer pengetahuan) tetapi juga transfer of value (mentransfer nilai = maksudnya nilai-nilai Islami)  dan character building (pembangun karakter).