Bu Nyai Siti Ambariyah, Kartini dan Wali Wanita di Pekalongan*

*Mengenang Para Pejuang Dan Ulama Nusantara*

*Bu Nyai Siti Ambariyah, Kartini dan Wali Wanita di Pekalongan*

Kita sering mengenal Kartini sebagai wanita yang hebat, Pahlawan Indonesia, pejuang yang gigih dan berani, pembela dan pejuang kesetaraan, pencerah pendidikan Indonesia, inspirator wanita Indonesia, dan lain sebagainya. Memang hal tersebut sangatlah mungkin dan wajar, karena jauh sebelum Kartini lahir berikut perjuangannya, banyak tokoh wanita Indonesia-Nusantara yang mempunyai peran penting dan jasa yang luar biasa untuk bangsa kita.

Di Pekalongan, kita mengenal nama Siti Ambariyah yang makamnya terletak di *desa Bukur kecamatan Bojong*, masyarakat sekitar menyebutnya Ibu Agung Siti Fatimah Ambariyah. Siti Ambariyah ialah seorang putri dari *Ki Ageng Rogoselo*, seorang wali, ulama, dan pejuang nusantara yang makamnya berada di Desa Rogoselo Kecamatan Doro. sebuah kisah yang berdasar dari cerita turun temurun menuturkan, bahwa Ki Penatas Angin, salah satu Pangeran dari Mataram Islam diutus oleh Sultan Agung untuk tapa brata dan belajar kepada Ki Ageng Rogoselo (Ayahanda Siti Ambariyah). Ki Penatas Angin belajar kepada Ki Ageng Rogoselo, bertujuan untuk memperluas ilmu Agama Islam sekaligus belajar ilmu kanuragan dan strategi untuk melawan penjajah (Belanda).

Suatu hari, Ki Penatas Angin merasa katresnan dan ingin menikahi Siti Ambariyah (putri gurunya, Ki Ageng Rogoselo), namun siapa sangka Siti Ambariyah lebih dulu memilih untuk berjuang melawan penjajah sekaligus menyebarkan syiar Islam dan pengetahuan di wilayah lain, yaitu di daerah Bojong (Pekalongan bagian barat). “Lebih dulu memilih berjuang demi kedaulatan nusantara, pendidikan, dan syiar agama dari pada dinikahi oleh salah seorang Pangeran”, sebuah pilihan yang sangat bijak dari seorang wanita. Siti Ambariyah pun dikenang oleh masyarakat Pekalongan sebagai wanita sholehah, penuh ketegaran, welas asih dan perjuangan. Setiap tahun diadakan peringatan haul di makamnya di desa Bukur, Bojong, Pekalongan.

Begitulah, jauh sebelum istilah-istilah emansipasi (yang kurang jelas konsepnya) diimpor dari “Barat”, wanita-wanita nusantara sudah sejak dahulu menunjukkan peran penting wanita dan kegigihannya. Seperti pahlawan Indonesia dari Aceh, Laksamana Malahayati ,Tjut Nja’ Dien misalnya seorang tokoh wanita yang memimpin pasukan gerilya melawan penjajah di Aceh, strateginya sampai membuat pasukan Belanda kalang kabut. Adapula Nyai Ageng Serang di Kulonprogo Yogyakarta, monumen patung Nyai Ageng Serang naik kuda dengan satu tangannya memegang tombak, berdiri kokoh di tengah kota Wates Kulonprogo untuk mengenang perjuangannya. Dan pastinya masih banyak lagi wanita-wanita nusantara yang berperan penting, dan adapula yang sejarahnya kabur ditelan waktu.

 Kartini bukanlah satu-satunya wanita Indonesia yang punya peran penting bagi Indonesia kita, bahkan saya lebih cenderung mengamini kalau Kartini mewarisi karakter wanita-wanita Indonesia 

Siti Ambariyah hidup disekitar tahun 1700an, dan Kartini hidup di tahun 1879-1904 Masehi. Kartini hidup pada masa yang sudah kekinian (modern), di mana sudah ada tradisi penulisan berbagai macam peristiwa, sedang pada masa Siti Ambariyah sangat minim tradisi penulisan. Akan tetapi kebesarannya (Siti Ambariyah) terekam oleh ingatan kolektif masyarakat (tradisi oral/cerita turun-temurun). Mereka berdua memiliki pola berpikir yang sama, mereka punya karakter yang kuat, bijak, welas asih, dan kepedulian terhadap sesama. Begitupun juga pejuang atau tokoh wanita nusantara lainnya.

Berbanggalah menjadi pewaris karakter wanita nusantara, berbanggalah menjadi wanita Pekalongan (karena mempunyai Ibu Agung Siti Fatimah Ambariyah), berbanggalah menjadi wanita nusantara. Karena saya yakin wanita nusantara ialah wanita yang kuat, wanita yang penuh dengan kebijaksanaan, wanita yang bermartabat, dan wanita yang penuh kasih sayang. Semoga bermanfaat, dan semoga muncul tulisan yang lebih mendalam