BEBERAPA waktu lalu, saya mengikuti sholat jumat di sebuah masjid dekat Kampus UI. Dalam khotbahnya, beberapa kali sang khatib menyebut bahwa salah satu penyebab umat Islam Indonesia terpuruk adalah karena kita masih belum bisa keluar dari bayang-bayang penjajah yang sudah menguasai bangsa ini selama 350 tahun. Disebut angka itu, tiba-tiba ingatan saya berkunjung ke tahun 1985. Saat itu, saya duduk di kelas 3 Sekolah Dasar, ketika mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) pertama kali diluncurkan oleh Pemerintah Orde Baru. Di era itulah saya sering sekali mendengar ungkapan para guru bahwa penjajahan di Indonesia berlangsung selama 350 tahun. Hah 350 tahun? Pikir saya. Alangkah lamanya.
Namun tak ada yang protes dengan angka tersebut. Semua orang (termasuk saya) seolah sudah sepakat bahwa Indonesia memang dijajah dalam kurun waktu sebanyak itu. Hingga pada 1991, saat duduk di bangku kelas 1 SMA, saya membaca perdebatan antara Soe Hok Gie dengan salah seorang dosen sejarahnya.
Soe sangat tidak terima Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Mengutip pendapat Profesor G.J. Resink (akademisi UI yang berkebangsaan Belanda), aktivis dan mahasiswa sejarah itu menyebut angka tersebut hanya “dramatisasi politik” Soekarno untuk membakar rakyat Indonesia punya jiwa.
“Dalam kenyataannya, Belanda tak pernah bisa menguasai 100% wilayah Nusantara sampai akhir kekuasaannya,”kata Soe sambil menyebut beberapa pemberontakan rakyat Aceh yang masih berlangsung hingga 1942.
Rahmat Safari, salah seorang teman saya yang sangat menggilai sejarah, bahkan berani menyebut penjajahan Belanda atas Indonesia hanya 4 tahun (1945-1949). Apa sebab? “Sebelum 1945, secara de facto dan de jure , memang Republik Indonesia sudah ada?”katanya malah balik bertanya kepada saya.
Logika historis Rahmat saya pikir-pikir memang ada benarnya juga. Nama Indonesia sendiri baru disebut-sebut di kalangan ilmuwan ketika pada 1850, seorang etnolog berkebangsaan Inggris bernama James Richardson Logan menulis Ethnology of the India Archipelago (dimuat dalam The Journal of Indian Archipelago and East Asian Edisi IV . Dalam waktu yang hampir bersamaan, Adolf Bastian, seorang etnolog Jerman (1826-1905) lantas menulis sebuah buku berjudul Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel(Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu).
Sebelum 1945, wilayah Indonesia memang dikenal sebagai Hindia Belanda.Artinya India punya Belanda.Itu untuk membedakan dengan Hindia Barat atau India yang punya Inggris. Dua nama itu murni hasil kesepakatan antara bangsa penjajah semata. Dan jauh sebelum ada nama Hindia Belanda,kawasan kita lebih dikenal sebagai Nusantara (artinya diantara pulau-pulau).Isinya terdiri dari berbagai bangsa dan kerajaan seperti Sunda, Bali, Gowa, Pajajaran, Melayu, Andalas, Pagaruyung, Mataram, Banten dan lain sebagainya.
Kembali ke soal angka 350. Rupanya, angka tersebut hulu-hulunya keluar dari mulut salah seorang Gubernur Hindia
Gubernur Jenderal De Jonge (tengah) foto: www.-archief.nl)
Belanda. Namanya Bonifacius Cornelis de Jonge (1931-1936). Ceritanya, pada sekitar pertengahan tahun 1930-an, ia memberikan keterangan ke pers bahwa sebuah Hindia Belanda yang merdeka masih jauh dari kenyataan: “Kami sudah ada di sini sejak hampir 350 tahun yang lalu, dan kami akan tetap di sini sampai 300 tahun kemudian,”ujarnya.
Benarkah apa yang dikatakan De Jonge? Kalaupun itu dihitung sejak kedatangan pertama kali armada Belanda pimpinan Cornelis de Houtman pada 22 Juli 1596 atau Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwijck pada 1 Mei 1598 ,saya pikir ia tidak salah. Tapi bukankah saat pertama kali mereka datang ke Pelabuhan Banten tujuannya hanya berbisnis semata,bukan melakukan penjajahan? Alih-alih menjajah, mereka bahkan terikat kesepakatan dengan Kerajaan Banten dan justru mempersembahkan upeti kepada Sultan Banten.
Harus diingat pula, setelah berdirinya Maskapai Perdagangan Hindia Timur (VOC) pada 1602 tak serta merta urusan “penguasaan” ekonomi dan politik Belanda atas kawasan Nusantara berlangsung mulus. Berbagai perlawanan terjadi ketika Belanda berniat menganeksasi wilayah kerajaan-kerajaan yang ada saat itu.
Muncullah berbagai perang yang terjadi di berbagai di kawasan Nusantara. Di Jawa Barat muncul seorang Haji Prawatasari yang memimpin secara sporadis perlawanan terhadap VOC (1703-1707), di Sumatera Barat meletus Perang Padri (1821-1837), di Jawa Tengah dan Yogyakarta terjadi Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh I (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh II (1912-1942).
Praktis hingga 1942, Belanda tidak bisa sepenuhnya menguasai wilayah Nusantara. Di beberapa kawasan seperti Banten, Aceh dan sebagian wilayah Sumatera lainnya, bahkan secara de facto Belanda hanya menguasai kawasan kota semata. Sedangkan kawasan pelosok dan pedalaman, tetap dikendalikan oleh para pejuang lokal. Pendapat tersebut diperkuat oleh sejarawan dari Universitas Padjajaran, Nina Lubis, Menurut Nina, hingga akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, beberapa kerajaan di Bali, dan beberapa kerajaan di Nusa Tenggara Timur, masih mengadakan perjanjian sebagai negara bebas (secara hukum internasional) dengan Belanda.
Jadi masihkan kita menyebut dengan “takjub” di mimbar-mimbar dan kelas-kelas bahwa kita telah dijajah Belanda selama 350 tahun? Kalau saya sih ogah. (hendijo)
(sumber: arsipindonesia.com)