Masuk Islamnya Khalid tidak terjadi begitu saja, tapi setelah pergulatan batin.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ia memiliki julukan sebagai Pedang Allah. Khalid bin al-Walid dikenal lantaran kecer dasan dan ketangguhannya sebagai pemimpin pasukan kuda Quraisy. Tanpa kehadiran Islam di relung hatinya, sosok jenius ini semata-mata jagoan Kota Makkah yang berperang demi memperebutkan harta atau sekadar fanatisme kesukuan.
Khalid awalnya termasuk musuh Islam yang paling keras. Dalam Perang Uhud, ia memimpin pasukan kuda Quraisy yang berhasil memukul balik pertahanan kaum Muslimin. Saat itu, pada mulanya kaum kafir Quraisy terdesak sehingga berlarian menyingkir dari tebasan pedang pasukan Muslim.
Mereka meninggalkan harta benda di belakang. Melihat musuhnya tunggang- langgang, pasukan Muslim yang bertugas mengawasi dengan senjata panah dari bukit justru turun merebut harta rampasan perang. Di sinilah Khalid melihat peluang.
Khalid bergegas menyerang pasukan Muslim dari arah belakang. Dalam situasi terkejut, cukup banyak pasukan Muslim yang terkena serangan anak buah Khalid. Akan tetapi, Khalid tidak mampu menembus benteng kokoh yang terdiri atas tubuh-tubuh kelelahan para sahabat yang setia menjadi tameng hidup untuk melindungi Rasulullah SAW. Saat itu, dalam diri mereka terdapat keimanan yang kuat, sedangkan dalam pasukan Quraisy hanya ada nafsu dendam.
Masuk Islamnya Khalid tidak terjadi begitu saja, tapi setelah pergulatan batin yang panjang. Hal itu dimulai ketika kekuatan umat Islam semakin terkonsolidasi di Madinah. Di sisi lain, kondisi di Makkah kian melemah. Enam tahun setelah peristiwa hijrah, perjanjian Hudaibiyah terjadi antara Rasulullah SAW dan pemimpin Quraisy.
Dalam pada itu, kedua belah pihak menyepakati masa damai 10 tahun lamanya. Lantaran perjanjian ini, Nabi Muhammad SAW dan seluruh pengi kutnya berhak melakukan perjalanan ibadah haji ke Makkah dalam situasi kondusif.
Khalid mengamati langsung bagaimana umat Islam berbondong-bondong bergerak bersama-sama dari Madinah ke Makkah hanya untuk satu tujuan, yakni menuntaskan kerinduan pada kampung halaman Nabi SAW serta menjalani ibadah haji.
Di sinilah Khalid merasa bahwa apa yang diperjuangkan Nabi Muhammad bukanlah fanatisme kesukuan atau harta benda, melainkan sesuatu yang lebih luhur, yakni keimanan pada Allah SWT. Dengan kata lain, Nabi tidak menyimpan dendam pada orang-orang Quraisy yang telah menyingkirkannya dari Makkah.
Seperti ditulis dalam kitab Shuwar min Siyar ash-Shahabiyyat,pada suatu hari Khalid merenungkan agama Islam yang ia saksikan sendiri semakin besar pengikut dan maruahnya. Khalid pun berkata, Demi Allah, sungguh jalan keben aran telah tampak. Orang itu (Nabi Muhammad SAW) benar-benar utusan Allah. Lalu, sampai kapan aku memeranginya? Demi Allah, aku akan pergi menghadapnya dan masuk Islam.
Keinginan Khalid ini mendapat kecam an dari tokoh Quraisy, Abu Sufyan. Namun, Khalid tidak menyerah. Ia pun menemui Utsman bin Thalhah dan selanjutnya berpapasan dengan Amr bin al-Ash. Ketiganya pergi ke Madinah menghadap kepada Rasulullah SAW di hari pertama Bulan Shafar tahun delapan Hijriyah.
Ketika berjumpa dengan Nabi, Khalid mengucapkan salam pujian. Wajah Rasulullah berseri-seri dengan menjawab salam Khalid dan dua temannya itu. Sesudah mengucapkan dua kalimat syahadat, Khalid memohon ampunan kepada Allah dan meminta pengertian dari Nabi akan perangainya dahulu sebagai pemimpin pasukan kafir Quraisy. Rasul pun bersabda, Sesungguhnya Islam menghan curkan dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya (orang masuk Islam).
Membela Islam
Sebagai pemuka pasukan Muslimin, perang pertama yang dijalani Khalid adalah Perang Mu'tah. Dalam kecamuk peperangan itu, pembawa panji Islam telah gugur sebagai syahid. Kemudian, Tsabit bin Aqram merebut panji Islam dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berseru, Wahai sekalian kaum Anshar!
Maka, pasukan Muslimin segera mendatanginya. Di hadapan mereka, Khalid menerima panji dari tangan Tsabit. Demi Allah, aku Tsabit bin Aqram tidaklah mengambil bendera ini melainkan untuk aku serahkan kepadamu (Khalid).
Dengan semangat yang menyala- nyala, Khalid memimpin serangan balasan terhadap pasukan kafir Quraisy. Sejak Perang Mu'tah ini, tidak ada peperangan berikutnya dalam sejarah jihad Islam yang tidak disertai Khalid.
Sesudah wafatnya Rasulullah SAW, sejumlah golongan mengumumkan murtad dari agama Islam. Jazirah Arab kembali bergolak. Khalid memimpin pasukan Muslim untuk menghadapi kaum yang menolak membayar zakat serta memecah- belah persatuan umat Islam itu.
Setelah situasi Jazirah Arab cukup kondusif, kekuasaan Islam mencakup hingga Irak dan perbatasan Syam (Suriah). Di Irak, pasukan Muslim bertemu dengan bala tentara Persia di bawah komando Raja Kisra yang lalim.
Khalid memimpin pasukan Muslim sehingga memenangi pertempuran melawan pasukan Kisra. Usai itu, Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq kemudian memerintahkan pasukan Khalid kembali ke negeri Syam. Di sana, sudah menunggu pasukan Romawi yang angkuh.
Khalid membawa 10 ribu personel dari Irak melintasi padang pasir ke arah Syam. Mereka menerobos gersangnya gurun dengan perbekalan seadanya. Namun, semua dilalui dengan kepatuhan, keimanan yang teguh, dan kesabaran.
Sesampainya di tujuan, Khalid melihat pasukan Romawi yang begitu besar jumlahnya. Ia tidak gentar dan segera mempersiapkan perlengkapan perangnya. Pertempuran antara pasukan Muslim dan pasukan Romawi terjadi di Ajnadin. Kemenangan berada pada pihak Khalid . Setelah itu, pasukan Muslim bergerak menuju medan Yarmuk, di mana pasukan Romawi lainnya sudah menunggu.
Saat itu, jumlah pasukan Muslim tak lebih dari 45 ribu personel, sedangkan pasukan Romawi terdiri atas 200 ribu prajurit dengan perlengkapan perang yang lebih unggul. Akan tetapi, Khalid tak gentar dan berusaha mempelajari strategi musuh untuk kemudian menemukan kelemahan-kelemahan mereka. Baik perang di Ajnadin maupun Yarmuk berakhir dengan kekalahan di pihak Romawi. Sejak saat itu, negeri Syam bersih dari kekuasaan Romawi.