Istilah Pencipta di bidang seni ditengah masyarakat dikenal secara umum sebagai seniman. Dalam cabang seni rupa disebut “perupa” atau “senirupawan” [pelukis, pepatung (pematung), pegrafis (grafikus), pekramik (keramikus), pedesain (desainer, perancang), pekria (kriawan, perajin), peilustrasi (ilustrator), pekartun (kartunis), pekarikatur (karikarturis), peinstal (seniman instalasi), petampil (seniman performance art), pekaligrafi (seniman kaligrafi dan lain-lain]. Dalam cabang seni sastra “pencipta” secara umum dikenal sebagai pesastra alias “sastrawan”, pesyair (penyair), pecerpen (cerpenis), penovel (novelis), peroman (penulis roman), peprosa (prosais) dan lain-lain]. Dalam cabang seni di bidang musik “pencipta” dikenal sebagai pemusik [musikus, komposer, pemain musik, penyanyi, dan lain-lain], Dalam bidang teater “pencipta” berarti [peteater (teaterwan, dramawan, sutradara, pelakon-peperan (aktor, aktris, artis pendukung, penaskah (penulis naskah) pedekor (dekorator) pecahaya (penata cahaya) dan lain-lain]. Dalam cabang seni tari secara umum “pencipta” dikenal sebagai petari (penari), penata tari (koreografer), penata musik (pengiring tari) pebusana (penata busana), perias (penata rias) dan lain-lain]. Dalam bidang sinematografi, “pencipta” dapat berarti, penaskah, pelakon, peperan (pemeran utama, aktor, artis, pemeran pembantu-pendukung), pekamera (kameramen), pesunting (penyunting, editor, pelaku editing) penata laku (sutradara), pemusik (ilustrasi musik pengiring film) pecahaya (penata cahaya), pesuara (penata suara), peanimasi (animator), dan lain-lain]. Di bidang ilmu pengetahuan seni, “pencipta” dapat berarti [peteliti seni (peneliti seni), pesejarah seni (sejarahwan seni), peilmu seni (ilmuwan seni, sosiolog seni, psikolog seni, antropolog seni, pekritik seni (kritikus seni), dan lain-lain]
Dari paparan di atas dapat dilihat betapa luas profesi seni yang harus mendapatkan perlindungan hak cipta, dan masing-masing profesi ini secara ideal memerlukan jaminan perlindungan hukum atas kreativitas dan hasil ciptaannya yang unik (dalam undang-undang keunikan ini dihargai sebagai hak eksklusif) sebagai seniman. Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak yang lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menterjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepa-da publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Cipataan kepada publik melalui sarana apapun. Di sini tidak kita lihat faktor “pemalsuan” karya seni yang menjadi masalah yang merisaukan di kalangan perupa, terutama pemalsuan karya seni lukis di tingkat nasional maupun internasional. Jadi Undang-Undang Hak Cipta memerlukan pengembangan untuk dapat menampung semua keluhan tentang “pemalsuan” itu. Di samping perlu menampung kecenderungan seni dalam era posmodernisme yang telah menjungkirbalikkan semua kriteria seni modernisme.
Sudahkah karya-karya posmodernisme mendapat perlindungan hukum? Atau sudahkah para seniman conseptual art mendapatkan perlindungan hak cipta? Yang terakhir ini kiranya perlu dipertimbangkan, mengingat dalam undang-undang disebut-kan “Perlindungan Hak Cipta hanya diberikan pada perwujudan suatu Ciptaan dan bukan pada ide, prosedur, metode pelaksanaan atau konsep-konsep matematis semacamnya. Perlindungan hak cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya seni harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar. Dengan demikian berarti conseptual art yang lebih mementingkan makna konsep sebagai seni dibandingkan dengan karya jadinya, jelas menjadi persoalan yang memerlukan pengkajian lebih lanjut. Dalam hal ini mendengar dan memper-timbangkan nilai kreativitas atau “ciptaan” seni konseptual merupakan tindakan yang arif. Agar kehadiran UUHC benar-benar memberikan perlindungan pada seniman, dan bukan sebaliknya.
Dari paparan di atas dapat dilihat betapa luas profesi seni yang harus mendapatkan perlindungan hak cipta, dan masing-masing profesi ini secara ideal memerlukan jaminan perlindungan hukum atas kreativitas dan hasil ciptaannya yang unik (dalam undang-undang keunikan ini dihargai sebagai hak eksklusif) sebagai seniman. Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak yang lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menterjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepa-da publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Cipataan kepada publik melalui sarana apapun. Di sini tidak kita lihat faktor “pemalsuan” karya seni yang menjadi masalah yang merisaukan di kalangan perupa, terutama pemalsuan karya seni lukis di tingkat nasional maupun internasional. Jadi Undang-Undang Hak Cipta memerlukan pengembangan untuk dapat menampung semua keluhan tentang “pemalsuan” itu. Di samping perlu menampung kecenderungan seni dalam era posmodernisme yang telah menjungkirbalikkan semua kriteria seni modernisme.
Sudahkah karya-karya posmodernisme mendapat perlindungan hukum? Atau sudahkah para seniman conseptual art mendapatkan perlindungan hak cipta? Yang terakhir ini kiranya perlu dipertimbangkan, mengingat dalam undang-undang disebut-kan “Perlindungan Hak Cipta hanya diberikan pada perwujudan suatu Ciptaan dan bukan pada ide, prosedur, metode pelaksanaan atau konsep-konsep matematis semacamnya. Perlindungan hak cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya seni harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar. Dengan demikian berarti conseptual art yang lebih mementingkan makna konsep sebagai seni dibandingkan dengan karya jadinya, jelas menjadi persoalan yang memerlukan pengkajian lebih lanjut. Dalam hal ini mendengar dan memper-timbangkan nilai kreativitas atau “ciptaan” seni konseptual merupakan tindakan yang arif. Agar kehadiran UUHC benar-benar memberikan perlindungan pada seniman, dan bukan sebaliknya.