tirto.id - Alkisah, seorang pejabat tinggi Belanda datang ke istana Yogyakarta membawa seekor harimau putih besar sebagai hadiah bagi Sultan. Ia mendengar bahwa Sultan sangat menggemari adu harimau dan kerbau. Abdi keraton pun segera sibuk mempersiapkan arena untuk laga antara harimau dan kerbau itu.
Dalam laga yang disaksikan seluruh penghuni keraton itu, kerbau milik Sultan berhasil mengalahkan harimau. Sultan sangat girang atas kemenangan kerbaunya. Begitu pula si pejabat Belanda. Ia mengira bahwa dengan taktik diplomasi ini bisa memperlancar urusannya dengan Sultan.
Tetapi si pejabat Belanda itu salah kira. Sejak lama orang Jawa biasa merepresentasikan dirinya sebagai kerbau dan orang Belanda sebagai harimau. Maka kemenangan kerbau milik Sultan adalah suatu pertanda kemujuran. Sebaliknya, jika Belanda punya harimau yang tak terkalahkan, itu berarti buruk bagi para bangsawan Jawa.
Sejarawan Bernard H.M. Vlekke mendapatkan kisah itu dari magnum opus Sir Thomas Stamford Raffles,
The History of Java (selanjutnya disebut HJ). Vlekke mengutip kisah itu dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2016: 251) untuk menunjukkan bagaimana orang Belanda masih asing dengan alam pikir orang Jawa meskipun telah saling berinteraksi sejak abad ke-17.
Kekalahan harimau bagi orang Jawa adalah sebentuk ejekan tak terucap kepada orang Belanda. Tapi menurut Tim Hannigan dalam Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa
(2015), Belanda sama sekali tak menyadari simbolisme ini.
“Bergenerasi-generasi pejabat Belanda yang berpakaian hitam bertepuk tangan dengan puas dari panggung penonton ketika harimau dilemparkan kerbau ke udara dengan luka tusuk tanduk yang fatal di perutnya, sama sekali tidak tahu alasan mengapa orang Jawa di sekitar mereka tersenyum begitu lebar,” tulis Hannigan (hlm. 299).
Barangkali orang Belanda baru menyadarinya setelah
History of Java terbit pertama kali pada 1817. HJ adalah publikasi pertama yang memberikan informasi tentang Jawa dan penduduknya secara lengkap. Vlekke menilai karya Raffles itu jauh dari netral tetapi isinya menarik dan ditulis secara brilian.
Proses Penulisan HJ
Sejak mula, Raffles memang punya minat besar kepada bahasa dan adat istiadat Jawa. Salah satu tindakan pertamanya usai menguasai Jawa adalah mengaktifkan kembali Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Masyarakat Kesenian dan Keilmuan Batavia). Menurut Vlekke, Raffles juga beberapa kali menerbitkan karyanya di Verhandelingen—jurnal ilmiah terbitan lembaga itu (hlm. 251).
Raffles pertama kali mengutarakan niat menulis buku tentang Jawa dan masyarakatnya kepada Elton Hammond, kemenakannya, pada 1813. Saat itu dia masih menjabat sebagai letnan gubernur jenderal di Jawa. Karena itu, ia masih harus menangguhkan pengerjaan buku tersebut karena waktunya habis untuk urusan pekerjaan.
Tetapi, ia masih punya cukup waktu untuk mengumpulkan bahan-bahan. Kepada Hammond, seperti diungkap P. Swantoro pada salah satu kolomnya yang terkumpul dalam Dari Buku ke Buku (2016), Raffles menyampaikan keyakinannya bahwa tak ada seorang pun yang memiliki informasi tentang Jawa selengkap dirinya (hlm. 169).
Raffles tidak sedang membual. Selama lima tahun masa kerjanya di Jawa, ia mengumpulkan banyak sekali sumber tentang Jawa. Bahan-bahan penting itu ia kumpulkan dengan bantuan beberapa kolega dan bawahannya. Untuk bidang kepurbakalaan, misalnya, ia mendapat bantuan data-data lapangan dari Hermanus Christiaan Cornelius.
H.C. Cornelius, seorang tentara bagian zeni berkebangsaan Belanda, pada 1814 ditugaskan Raffles meneliti Candi Borobudur. Cornelius mengerahkan sekitar 200 orang untuk membantunya dan butuh waktu enam minggu untuk melakukan penelitian. Hasilnya adalah deskripsi ringkas dan sejumlah gambar tentang candi itu (hlm. 162).
Lalu, untuk menghimpun data-data pengetahuan alam, Raffles mendapat bantuan dari Thomas Horsfield. Naturalis berkebangsaan Amerika itu telah meneliti tanaman berkhasiat medis Di Hindia Belanda sejak 1801. Ia juga mahir geologi. Atas dorongan Raffles pula Horsfield memperluas penelitiannya tentang sejarah alam dan zoologi.
Selain memanfaatkan tenaga ahli bangsa Eropa, Raffles juga memanfaatkan pengetahuan orang-orang pribumi. Bantuan orang-orang pribumi Jawa terutama ia butuhkan untuk telaah epigrafi dan menerjemahkan naskah-naskah sastra dan sejarah Jawa. Secara khusus, ia menghimpun kelompok kecil cendekia pribumi di Bogor untuk membantunya.
Swantoro mencatat dalam bukunya, “Di antara mereka terdapat bupati Semarang, Kiai Adipati Suria Adimenggala dan kedua puteranya, Raden Saleh dan Raden Sukur.”
Raden Saleh dan Raden Sukur fasih berbahasa Inggris berkat pendidikannya di Kalkuta. Sementara Ayah mereka adalah seorang priyayi cerdas yang membantu Raffles menerjemahkan naskah babad. Lain itu, ada pula Panembahan Sumenep, Natakusuma, yang menguasai sejarah Jawa dan kitab-kitab Arab.
“Raffles mengakui, alur-utama cerita-sejarah History of Java didasarkan pada hasil pemadatan bahan-bahan yang telah dilakukan oleh Kiai Adipati. Raffles menilai hasil kerja bupati itu paling berkesinambungan,” tulis Swantoro (hlm. 166-167).
Tetapi, bahan-bahan dari Kiai Suria Adimenggala bukanlah sumber tunggal Raffles dalam menyusun sejarah Jawa. Ia masih memanfaatkan sumber lain sebagai pembanding. Menurut Donald Weatherbee dalam artikelnya, “Raffles Sources for Traditional Javanese Historiography and the McKenzie Collections” (terbit di jurnal Indonesia, no. 26, 1978), Raffles sering pula menggunakan manuskrip ringkasan sejarah susunan Middelkoop.
Jacob Albert van Middelkoop adalah pegawai VOC yang pertama kali tiba di Jawa pada 1793. Ia bertugas di Semarang ketika mendapat tugas dari Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Engelhard untuk menerjemahkan naskah-naskah sejarah Jawa tradisional.
Raffles mengakui bahwa ia menggunakan juga sumber dari Middelkoop itu. Salah satu bagian dari HJ dijelaskannya mengambil referensi langsung dari Middelkoop. Namun, pada beberapa bagian lain banyak data-data Middelkoop yang dipakai tanpa menyebut sumbernya lagi. Karenanya, Weatherbee berpendapat bahwa sebenarnya bahan-bahan Middelkoop-lah yang menjadi tulang punggung naskah Raffles daripada bahan-bahan dari Kiai Suria Adimenggala (hlm. 64).
Dari bahan-bahan yang dikumpulkan atas bantuan anak buah, kolega, dan priyayi pribumi itulah Raffles mulai menyusun bukunya. Untuk urusan ini, ia berkiblat pada
History of Sumatra karya William Marsden—yang latar belakangnya sebagai birokrat Inggris mirip dengan Raffles. Buku Marsden itu terbit pada 1783.
Vlekke menjelaskan bahwa Raffles memaksudkan bukunya nanti akan seperti karya Marsden. Buku itu akan menggambarkan secara lengkap Pulau Jawa: iklimnya, penduduknya, peninggalan masa silamnya, dan sejarahnya. Tetapi, berbeda dengan Marsden yang menulis secara saintifik, karya Raffles adalah campuran dari deskripsi ilmiah, apologi, dan pelaporan lapangan (hlm. 252).
Karya Raffles itu kemudian terbit hanya dua tahun setelah masa kerjanya di Jawa habis pada 1815. Berkat HJ, nama Raffles mendunia sebagai seorang cendekiawan. Predikatnya itu bahkan melampaui profesi utamanya sebagai birokrat Kerajaan Inggris. Vlekke sampai menulis, “Zaman berikutnya lebih mengenal Raffles sebagai penulis History of Java (Sejarah Jawa) daripada sebagai gubernur yang memperkenalkan sistem sewa tanah (hlm. 251-252).”