Tidak semua orang dapat seenaknya menafsirkan Al Qur'an

Penafsiran Al Qur'an



ahli Tafsir harus tahu mana yang haqnya Allah Ta’ala mana hak-nya Rasul

Para mufasir bukanlah orang sembarangan, mereka adalah ulama-ulama yang hebat. Beliau-beliau mempunyai dasar-dasar ma’rifat yang sangat kuat sekali, sehingga bisa membedakan mana yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah Swt. Beliau memahami betul ketentuan-ketentuan haknya Allah Ta’ala, Ketentuan-ketentuan yang wajib bagi Allah Ta’ala, ketentuan-ketentuan yang mustahil bagi Allah Ta’ala, Ketentuan-ketentuan yang jaiz bagi Allah Ta’ala. Ini adalah suatu dasar mutlak sebagi seorang mufasir.

Yang kedua didalam cara menafsirkan, beliau tetep tidak terlepas dari konteks atau koredor yang ada pada sifat para rasul-rasul itu sendiri. Seperti mana sifat wajib bagi para rasulnya dan mana yang jaiz bagi para rasulnya dan mana yang mustahil bagi para rasulNya.
Nah. dengar dasar-dasar tersebut para ulama tahu mana nasikh manskhuhnya. Para ulama juga tahu peranan-peranan risalah Rasulullah, kewajibannya kepada umat dan kewajiban umat kepada Rasul, bagaimana berperan cara mengambil dalam al-Qur’an, sehingga tahu konteksnya yang persis dalam memahami ayat-ayat al Quran.

Para ulama bukan seorang yang bodoh, mereka tahu persis cara menafsirkan ayat; dimana mereka bisa memilah ini haqullah dan mana yang mustahil bagi Allah Swt. Dengan demikian mereka akan bisa mengambil sikap yang tegas ketika menjumpai ayat-ayat yang harus di takwil, seperti ayat ‘Arahman ‘Ala al Arsyi istawa’, Allah menguasai Arsy, jadi bukan bersemayam di Arsy.
Serta mana yang mustahil bagi RasulNya Saw. Dan ini juga menjadi dasar bagi setiap muarikhin, para sejarawan. Semisal saja bagaimana mereka menyikapi kisah ghonorik atau ayat-ayat setan. Tidak hanya ketergantungan kepada logika saja, tapi pasti akan terkait dengan mana yang mustahil mana wajib yang bagi Rasulullah dan mana yang jaiz bagi Rasulullah. Seperti yang jaiz bagi Rasulullah qul innamaa ana basyarun mislukum, basyarun mislukum yang jaiz apa? Ya makan, tidur, minum, wajar.

Tapi ini ada takhsis, ada penghususan, walaupun pertamanya mujmal, global, seolah-olah makan-minum Rasulullah sama seperti kita, tapi tetap berbeda, jauh berbeda, apa yang dimakan oleh Rasulullah. Contoh yang simpel saja, kita makan lupa bismillah, kalau Rasulullah tidak akan lupa baca bismillahirahmanirrahim, itu saja dahulu.

Tidak mungkin Rasulullah akan makan meninggalkan bismillahirahmanirrahim, tidak mungkin bagi Rasulullah akan minum meninggalkan bismillahirahmanirrahim, tidak mungkin Rasulullah akan melangkah meninggalkan bismillahirahmanirrahim dan lain sebagainya dalam segala amal kebaikan.

Dimana Rasulullah melangkah, pasti tidak akan melupakan Allah SWT. Dengan bukti bismillahirahmanirrahim. Itu suatu contoh, jadi kalau dikatakan basyarun mislukumnya ammah, umum ya makan secara definisi makan dan minumnya saja, tapi tidak dalam mu’amalahnya, tidak pada aqwaliahnya, tetap berbeda jauh sekali. Rasulullah tidur, ini yang tidak kita ketahui, Rasulullah memejamkan matanya, tapi tidak memjamkan hatinya, tetap hatinya taqarruban ilallah Swt. Sedangkan kita kan tidak, sudah tidur, ya lupa matanya, ya lupa hatinya. Jauh sekali. Jangankan mendapatkan ma’sum, mahfud saja kita tidak, jauh berbeda.

Selain yang membedakan tadi perbedaannya adalah yuha ilayya, Rasul diberi wahyu. Jadi basyar yang diistemewakan dengan diberi wahyu. Bukan sembarang basyar, manusia. Kalau toh Rasul manusia biasa, berarti semua orang bisa mendapat wahyu, ini bahaya, jadi jangan salahkan kalau banyak yang mengaku Nabi?!

Nah, dengan pengetahuan yang memadai tentang mana hak Allah mana hak Rasul-Nya, suatu ketika jika ada suatu hadits yang janggal, tidak pas dengan is’mahnya Rasulullah Saw, walaupun hadits itu kelihatannya shohih, periwayatan dari shahabat benar, tapi kita bisa melihat, apakah demikian? Semisal hadis yang menceritakan bahwa ketika nabi baru lahir, nabi tidak mau menyusu selama dua hari karena mulut Rasulullah Saw ditutupi oleh syaithan. Ini bertentangan dengan ismahnya Rasulullah SAW.
Nah Ternyata benar saja, shahabat itu hanya menceritkan qaulul yahud, menceritakan pendapatnya orang yahudi, tapi shahabat ini tidak menceritakan hakikat Rasulullah sendiri, hanya bercerita bagaimana pendapat orang yahudi pada waktu kelahiran Rasulullah demikian.
Nah, dalam pendapat yahudi yang diceritakan kembali oleh para sahabat ini. Secara kaitan ismahnya, ma’sumnya Rasulullah sangat bertentangan sekali, karena banyak bukti-bukti bahwa saat nabi masih kecil banyak sifat dan keistimewaan nabi yang tidak di dapati pada umumnya anak-anak pada waktu itu secara umum.

Demikian pula seperti hanya sejarawan, para mufasir, lebih-lebih para mufasir harus betul-betul menerapkan prinsif ‘Qadimnya Allah Swt’, ‘mukhalafahnya Allah’, ‘wahdaniahNya Allah’, inilah prinsif berkenaan dengan hak Allah dalam penafsiran. Sementara prinsif yang berkaitan dengan hak nabi yang harus dipegang para mufasir dan para sejarawan adalah ‘ishmah-nya nabi, shidiq (jujur), amanah (terpercaya), fathanah (cerdas), dan yang terakhir (tabligh).

Jika mengabaikan barometer atau prinsip itu , akan terjadi seperti al mu’tazilah, al mu’tazilah banyak condong bahwa Allah Ta’ala tajasm, berjisim. Yang kedua mu’tazilah mempunyai pendapat bahwa Allah Ta’ala bertempat. kalau Kalau Allah bertempat, secara logika saja kalah dengan timbangan, orang bikin timbangan tahu tidak? Ada orang yang bobotnya 1 kwintal 2 kwintal ketika ditimbang, la ketika orang yang membuat timbangan menimbang dirinya sekian kilo gram, yang lebih tahu dahulu bobotnya siapa, timbangan itu atau siapa? Mestinya timbangannya. Anda pernah menimbang diri ndak? ketika Anda naik diatas timbangan jarum menunjukan sekian bobot Anda, pernahkan?!

Berarti yang mengetahui BB, berat badan, timbangan lebih tahu dahulu, oo.. iki antepe sa’mene, orang ini beratnya sekian. Pertanyaan saya begini, bagaimana kalau Allah Swt bertempat di Arsy ? Arsy lebih tahu dahulu, beratnya Allah Ta’ala, besar-kecilNya, berapa BB-Nya, jika Allah bertempat di Arsy, Arsy kan tahu, logikanya begitu kan, mustahil nda’? Disinilah perbedaannya, mu’tazilah tidak pernah menimbang kesana, hanya tahunya menempat, sebagai mahligai. Khoto’, salah untuk kita.

Yang kedua, bahwa kalau Allah Ta’ala kalau bertempat, apapun alasannya, setiap siapapun yang merlukan tempat, walaupun tidak mengambil faidah, manfaat, taruhlah kepada tempat tersebut, itu sudah mengambil faidah, manfaat secara tidak langsung, mustahil bagi Allah Swt.

Analoginya begini, seperti saya berkata pada seseorang “pokoknya dagangan saya silahkan anda jual, jual pas-pasan saja silahkan anda mengambil untung sebanyakmungkin, ini saya beli 1000 rupiah, saya berikan kepada anda 1000 rupiah, saya tidak mengambil untung, sama sekali, lepas saya tidak mengambil untung”.

Walaupun demikian tetap mengambil untung, apa sebabnya “Habib Lutfi khoir, baik orangnya”, itu sudah mengambil faedah, walaupun kita tidak mengambil. Tapi pasti akan terlontar dari orang yang kita beri modal itu tadi, dia bisa menjual bebas dan bisa mengikuti pasaran, apa kata orang yang mengambil barang dari saya? “Ambil saja dari Habib Lutfi..!!!, nga’ pake faidah-faidahan, Habib Luthfi tidak mengambil untung”, itupun sudah termasuk mengambil faedah. Karena akhirnya saya mendapat sebutan orang loman.

Jadi apapun alasannya mengambil tempat mustahil bagi Allah. Dan bagaimana kalau Allah Ta’ala menempati Arsy ? Walaupun Allah Ta’ala tidak mengabil faidah, artinya tidak ada maksud untuk menempati Ars, tapi sudah mengambil faedah, karena apa? Menunjukan sesuatu yang memerlukan suatu pertolongan adalah dhoif, lemah.
Nah, kalau memerlukan tempat, berarti menunjukan atas kedhoifannya, walaupun Maha, tetap menunjukkan kedhaifannya, “lemah”, mustahil bagi Allah Swt. Itu diantara jawaban yang ada kaitannya dengan cara menafsirkan mana yang haqnya Allah Ta’ala mana hak-nya Rasul kita semua harus tahu. (spyn)


sumber :  www.habiblutfiyahya.net.