Biladu Jawah oleh orang arab kuno

Dalam istilah geografi Arab Zaman Pertengahan (dan hingga kini masih kerap dipakai), setiap negeri memiliki julukan sendiri sesuai dengan ras atau bangsa yang mendiaminya.
Disana ada Biladul Arab (Negeri Arab, yaitu julukan untuk negeri-negeri Arab di Semenanjung Arabia), Biladu Faris (Negeri Persia, yaitu Iran dan Transoxiania atau Ma Wara’a An Nahr), Biladul Kurd (Negeri Kurdi), Biladut Turk (Negeri Turki), Biladu Ifranj (Negeri Eropa/Franks) dan Biladu Jawah (Negeri Jawah/Melayu/Nusantara).
Orang Arab kuno mengenal kepulauan yang membentang pada jalur pelayaran setelah India menuju daratan Cina (Kanton) sebagai “Bilad Jawah” atau “Kepulauan Jawah”.
Ahli geografi Arab termasyhur Imaduddin Ismail bin Muhammad bin Umar atau yang dikenal dengan Abul Fida (wafat tahun 732 H.) Berkata dalam bukunya “Taqwimul Buldan”:
“Di antara kepulauan Lautan India adalah Pulau Jawah yaitu satu pulau besar terkenal karena banyak rempah-rempah/obat-obatan (al ‘aqaqir)…Di sebelah selatan Pulau Jawah ini terdapat kota Fansur yang dinisbatkan padanya Kapur Fansur (Kapur Barus)…” (Taqwimul Buldan, hal. 369. Dar Shadir, Beirut, Lebanon).
Sebenarnya yang dimaksud oleh Abul Fida dengan Pulau Jawah di atas adalah Pulau Sumatra atau yang dikenal oleh orang-orang Arab sebagaijawah Ash Shugra (Jawa Minor), karena kota Fansur terdapat di Aceh, ujung utara Pulau Sumatra.
Ibnu Batutah–pengembara Maroko— yang melawat ke Samudra Pasai pada tahun 745 H./1344 M. Bercerita dalam bukunya “Tuhfatun Nudhdhar Fi Ghara’ibil Amshar”:
” … Setelah duapuluh lima hari, kami sampai di Pulau Jawah, yaitu dimana dinisbatkan padanya Lubban Jawi (Kapur Jawa atau Kapus Barus). Selama setengah hari kami melihatnya (sebagai) sebuah pemandangan hijau berseri … Kemudian kami masuk menghadap Sultan yaitu di kota Samuterah, satu kota bagus besar yang memiliki dinding kayu dan menara kayu. Dan Sultan Jawah adalah Raja Zahir …”(Tuhfatun Nudhdhar Fi Ghara’ibil Amshar, hal. 619).
Tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Batutah tengah berlabuh dan memasuki Pulau Sumatra, tepatnya Kesultanan Samudera Pasai, di Aceh.
Doktor Hussein Mo’nis sejarawan muslim Mesir yang mengutip dari berbagai sumber mengatakan bahwa asal kata “Sumatera” yang sekarang kita kenal berasal dari kata “Samutera” yang asal katanya”Samudera”. Karena di ujung utara pulau tersebut terdapat kerajaan bernama Samudera atau Samudera Pasai. (Ibnu Batutah Wa Rihlatuhu; Tahqiq wa Dirasah Wa Tahlil, Dr. Hussein Mo’nis, 192-193, Darul Ma’arif, Cairo).
Sedangkan sebelumnya pulau itu dikenal oleh orang-orang Arab dengan”Jawa Ash Shugra” (Jawa Minor). Dan Dr. Ali Al Montasir–sejarawan Arab yang mengeditkritik buku Ibnu Batutah itu—mengatakan bahwa kata “Jawah” adalah julukan bagi semua pulau yang ada di Nusantara.(Tuhfatun Nudhdhar Fi Ghara’ibil Amshar, hal. 619).
Kemudian setelah meninggalkan Samudera Pasai, Ibnu Batutah melanjutkan perjalanannya menuju Cina. Dalam perjalanan beliau melihat “Mul Jawah” atau apa yang dikatakan oleh para sejarawan sebagai “Semenanjung Melayu” atau Semenanjung Malaysia sekarang. (Tuhfatun Nudhdhar Fi Ghara’ibil Amshar, hal. 623).
Dari sini kita dapat tahu bahwa Pulau Sumatera, Samudera Pasai dan Semenanjung Melayu yang kita kenal, dulu dikenal juga sebagai Pulau Jawah dan Semenanjung Jawah.
Semenjak masuknya Islam pertama kali ke Kepulauan Nusantara melalui Kerajaan Samudera Pasai maka tidak sedikit para penduduk Kepulauan Nusantara (Bilad Jawah) yang pergi ke Negeri Arab.
Sejarawan Arab yang juga penulis ensiklopedi geografi “An Nisbah Ilal Mawadli’ Wal Buldan” atau “Penisbatan Pada Tempat dan Negeri”Jamaluddin Abdullah At Tayyib Bin Abdullah Bin Ahmad Bamakhramah Al Himyari Al Hadrami (wafat tahun 947 H.) Bercerita tentang penduduk Bilad Jawah ini melalui penamaan asal (nisbat):
“AL JAWI: Dinisbatkan kepada Jawah (setelah huruf Alif; huruf Wawu berfathah, kemudian huruf Ha’. Maksudnya kata “Jawah”, penulis.), sebuah negeri (bilad) pada pantai Laut Cina setelah negeri India. Dari sana didatangkan Kayu Gaharu (Al ‘Oud), Kapur (Kafur. Maksudnya, Kapur Barus) dan Cengkeh ke semua negeri, (perkataan ini) disebutkan oleh Al Qadli Mas’ud. Dan dari tokoh yang dinisbatkan kepada (negeri) Jawah adalah Syeikh Wali Yang Shaleh Mas’ud Al Jawi yang dimakamkan di Aden, (perkataan ini) disebutkan oleh Imam Abdullah bin Sa’ad Al Yafi’i dan ia memuji beliau karena(beliau) penentang Imam Al Bassal” (An Nisbah Ilal Mawadli’ Wal Buldan, Hal. 133).
Syeikh Abu Abdullah Mas’ud bin Abdullah Al Jawi adalah tokoh terkenal yang disebutkan oleh Syeikh Yusuf An Nabhany dengan mengatakan”Syeikh Al Jawi adalah ulama terkenal yang mempunyai banyak murid di Aden (Yaman)”.
Lihatlah nama belakang beliau, orang Samudera Pasai tapi bernama belakang Al Jawi. Ini adalah bukti bahwa Jawah adalah bukan nama asing pada waktu itu, tapi ia adalah nama yang dikenal luas dan bukan milik suku tertentu.
Bukan hanya beliau sendiri yang menggunakan nama belakang Al Jawi. Masih banyak ulama-ulama Nusantara yang menggunakan nama Al Jawi.
Syeikh Abdurrauf Singkel Al Jawi–ulama terkenal asal Singkil, Aceh–penulis terjemah Al Qur’an pertama dalam bahasa Jawi (Melayu berhuruf Arab) yang bernama “At Tarjuman Al Mustafid”.
Syeikh Abdurrauf Singkel Al Jawi dikenal anti tasawuf Wihdatul Wujud di Aceh. Beliau juga penyebar tarekat Syathariyah di Aceh.
Syeikh Abdurrauf Singkel Al Jawi adalah murid Syeikh Ibrahim Al Kurani An Naqsyabandi Asy Syafi’i selama di Madinah sebagaimana dikatakan oleh Ensiklopedi Islam yang terbit di Sharjah, UAE dan penulis Kurdi Dr. Muhammad Ali Ash Shuwairki dalam “a’lamul Kurud Fil Hijaz” atau”Tokoh-Tokoh Kurdi di Hijaz”.
Kemudian, Maulana Daud bin Abdullah bin Idris Al Fatani Al Jawi Asy Syafi’i, ulama terkenal di Negeri Arab (Al Haramain) yang lahir di Kampung Parit Marhum, Pattani yang karangan-karangannya banyak dicetak di Mesir pun menggunakan nama Al Jawi. Digelari sebagai”Ulama dan Pengarang Terulung Asia Tenggara” oleh sejarawan Melayu Malaysia (alm.) Wan Muhammad Shagir Abdullah.
Syeikh Ahmad bin Ismail Al Jawi Al Fattani Asy Syafi’i.
Syeikh Muhammad Nur Khalidi bin Ismail An Naqsyabandi Al Minkabawi Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i pengarang “Qasidah Nuzum Fi Silsilati At Thariqah An Naqsyabandiyah Al Khalidiyah.”
Syeikh Al Arif Billah Abdush Shomad Al Falimbani (Palembang) Al Jawi pengarang kitab tasawuf terkenal “Sairus Salikin”.
Syeikh Nawawi Umar Al Bantani Al Jawi, ulama terkenal produktif dengan karangan-karangannya berbahasa Arab, pengarang “At Tafsir Al Munir” dan ulama Jawi kedua yang menulis tafsir setelah Syeikh Abdurrauf Singkel Al Jawi.
Syeikh Abdul Qadir Mandili (Mandailing) Al Jawi bin Nasir.
Syeikh Abdul Adhim Mandurah (Madura) Al Jawi Asy Syafi’i.
Syeikh Khatib Sambas (Sambas, Kalimantan Barat) dijuluki sebagai”Syaikhul Jawah” di Haramain.
Syeikh Abdul Ghani Bima Al Jawi. Dan lain-lain.
Jika kita membaca nama-nama ulama Nusantara yang menuntut ilmu di Makkah, Madinah dan Kairo sebelum paruh pertama abad XX kita akan mendapati nama belakang Al Jawi. Nama ini adalah identitas bahwa mereka berasal dari Bilad Jawah atau keturunan orang Bilad Jawah. Ini adalah bukti bahwa mereka semua berafiliasi kepada Bilad Jawah (Negeri Jawah) atau Nusantara secara keseluruhan.
Sebenarnya bahasa Jawi itu tersusun dari tiga unsur yang saling menguatkan, yaitu bahasa Melayu dan kosakata Arab sebagai tutur,huruf Arab sebagai penulisan (script) dan Kepulauan Nusantara (Jawah) sebagai domain atau cakupan. Bahasa Jawi adalah hasil pertemuan dan perkawinan unik antara peradaban lokal (Nusantara), agama Islam dan peradaban Arab.
Barangkali warisan (turats) intelektual dan keagamaan karya para ulama Jawah yang berbahasa Jawi (Melayu yang bertuliskan Arab) boleh dikatakan nomor empat terbesar setelah Arab, Persia dan India (Urdu). Mengingat bahasa Jawi adalah bahasa penulisan di Bilad Jawah (Nusantara) masa itu.
Di Mesir ada satu toko buku dan percetakan yang menjadikan kitab-kitab Jawi oplah terbesar setelah kitab-kitab berbahasa Arab pada masa lalu.
Nama toko dan percetakan kitab itu adalah “Mustafa Al Baby Al Halaby Wa Awladuhu” yang berada di belakang Masjid Agung Al Azhar, tepatnya di antara pasar sayur “Suq At Tablithiyah” yang terkenal di kawasan itu.
Jika anda ke Kairo dan bertanya tentang kitab-kitab berbahasa Jawi (Melayu yang menggunakan huruf Melayu) maka orang Mesir akan menunjukkan anda ke tempat itu. Di sana kitab-kitab karya para ulama Bilad Jawah dicetak.
Tentang aktifitas percetakan dan toko buku Mustafa Al Baby Al Halaby ini, Samir Mahmud, generasi keempat dari keluarga pemiliknya yang sekarang menjadi direktur keuangannya, yang pernah diwawancarai surat kabar “Al Masry Al Youm” bercerita:
“Pada tahun 1940-an kegiatan percetakan dan penerbitan di perusahaan itu amat ramai hinggai menjadi penerbitan terbesar di Timur Tengah.
Buku-buku yang dicetak setiap tahun mencapai delapan juta setengah biji. Perusahaan itu adalah yang pertama mencetak mushaf-mushaf di masjid-masjid dengan rasam (tulisan) Utsmani yang terkenal dengan nama Mushaf Mustafa Al Halaby. Sebagaimana penerbit ini dikenal sebagai distributor mushaf dan kitab-kitab turats ke berbagai negeri Islam di seluruh penjuru dunia, seperti Indonesia, Semenanjung Malaya, Singapura, Zanzibar, Ghana, Guinea dan Pantai Gading.
Ia menyebutkan bahwa penerbitannya mempublikasikan 440 judul kitab antara tahun 1900-1949.
Pasar utama bagi toko buku dan percetakan Mustafa Al Baby Al Halaby Wa Awladuhu tidak hanya di Mesir, tapi di seluruh negeri-negeri Arab dan Islam.
Samir mengatakan “Kami telah mengekspor cetakan-cetakan eksklusif dari mushaf-mushaf, buku-buku tafsir, kitab-kitab shahih hadits dan fiqih dalam jumlah besar kepada setiap negara afrika. Dan Indonesia adalah negara yang paling banyak menerima buku-bukunya. Kami tidak mencetaknya dalam bahasa Arab, tapi dengan bahasa Jawi (bahasa Melayu yang berhuruf Arab) bagi penduduk negeri itu.”(Surat kabar “Al Masri Al Youm”, 3/9/2009).
Begitulah warisan karya para ulama Bilad Jawah teramat banyak, tidak hanya di Negeri-Negeri Jawah (Indonesia dan Malaysia), namun juga tersimpan di perpustakaan-perpustakaan negara-negara Arab.
Bahasa Jawi (Melayu berhuruf Arab) telah mampu melakukan perannya menghubungkan Dunia Jawah (Nusantara) dan Dunia Arab pada masa lalu sebagaimana bahasa Persia, Urdu dan Pashtun yang masih menggunakan huruf Arab.
Itulah Bilad Jawah yang membentang dari Selatan Thailand hingga Timur Indonesia dengan para ulamanya cemerlang dan diakui dunia pada masa lalu.
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber : farhankournia.blogspot.co.id
https://fahmialinh.wordpress.com/2016/04/10/dunia-jawah-al-alam-al-jawi/?preview_id=2164&preview_nonce=0f529e3626&post_format=standard&preview=true