Ini zamannya zaman instan. Untuk memasak mie, Anda tinggal merebus air, lalu memasukkan mie, terus bumbu-bumbu yang sudah tersedia, dan selesai. Atau, Anda ingin makan kare? Gampang. Rebus daging, kemudian masukkan bumbu kare instan, dan kare yang nyaman siap dinikmati.
Memasak pun sangat mudah; tinggal memencet tombol. Mencuci baju, cukup dengan menekan tombol. Memanggang roti, merebus air dan lain-lain, semua serba mudah, serba instan.
Bahkan membangun rumah, bisa dilakukan secara instan. Menikah secara instan. Mencari jodoh secara instan. Menjadi selebritis pun bisa dengan cara instant. Caranya? Ikuti AFI, Indonesian Idol, KDI atau program-program sejenis untuk akting, model, dan semacamnya. Menjadi dai instan? Kenapa tidak. Semua ada di stasiun televisi.
Budaya Populer
Kata orang, ini zamannya zaman budaya popular, budaya massa. Zamannya media massa mendominasi kita, menjajah kita. Zamannya orang-orang mudah dikecoh dan dimanipulasi media massa. Zamannya media massa dapat menciptakan realitasnya sendiri, meski tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya.
Berkat media massa banyak orang dipanggil ustadz atau kiai meski mereka tidak punya latar belakang pendidikan agama. Hanya gara-gara disebut kiai atau ustadz di media massa, orang ikut-ikutan memanggilnya demikian.
Cara lainnya ialah melalui organisasi. Hanya berkat keanggotaannya dalam kepengurusan ormas Islam, tak sedikit orang yang dipanggil kiai, meski ilmu agamanya tidak memadai atau perilakunya tidak cocok dengan ajaran Islam. Lebih-lebih bila hal ini diperkuat oleh media massa yang selalu menyebutnya kiai.
Tak jarang hal demikian dilakukan dengan penuh kesadaran, baik oleh yang bersangkutan (misalnya bikin tayangan promosional di televisi, di mana dirinya disebut ustadz atau kiai) maupun oleh orang lain.
Hal ini banyak terjadi di dunia politik. Umpamanya, guna memperkuat basis legitimasi terhadap partai politik, maka ada kader-kadernya yang dipopulerkan dengan panggilan ustadz atau kiai.
Lucunya, ada orang-orang yang, kita sebut saja, menjadi “kiai sehari” (mirip dengan “raja sehari” dalam dongeng rakyat). Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya bukan kiai, tapi karena tujuan politis mereka diundang untuk melakukan upacara keagamaan sembari memberi dukungan di rumah pejabat tertentu sambil mengenakan atribut-atribut kekiaian (lengkap dengan serbannya), dan mereka diklaim sebagai kiai. Usai acara itu, mereka pulang ke rumah masing-masing, dan menjadi orang biasa lagi.
Perdukunan
Itu semua adalah fenomena masyarakat modern dalam bingkai budaya massa, di mana rekayasa dilakukan melalui alat-alat modern, yaitu media massa dan organisasi. Ada pula jalan tradisional. Yaitu melalui praktek perdukunan.
Perdukunan merupakan batu loncatan yang paling mudah untuk mendapat pengakuan sebagai ustadz atau kiai. Maklumlah, dalam sistem budaya kita, batas antara dukun dan kiai begitu tipis. Bukankah banyak dukun, khususnya dalam masyarakat Jawa, yang dipanggil kiai, gus atau ustadz, padahal mereka sama sekali tidak mengajar agama, sementara ilmu agamanya sangat minim, kalau bukan nol besar. Tak sedikit dukun yang dianggap wali, khususnya dukun-dukun yang dipandang “tokcer” – dapat menebak orang dengan tepat, dapat meramal dengan tepat, dan dapat membantu hajat orang dengan sigap. Padahal, mereka bukan wali. Kiai juga tidak. Ustadz pun bukan. Mereka adalah dukun ansich, yang terkadang jauh dari ajaran syariat.
Tak sedikit dukun yang melengkapi perdukunan mereka dengan upacara keagamaan, seperti menggelar istighatsah dan manaqib rutin, yang nota bene berfungsi memperkuat basis kewibawaan mereka di tengah masyarakat. Malah ada pula yang mendirikan pesantren – satu hal yang kian memperkokoh status kekiaian mereka.
Yang terakhir ini mungkin bisa kita mengerti dan syukuri sepanjang “sang kiai” tidak menyimpang dari rel syariat dalam praktek perdukunannya serta tidak mengintervensi pesantren tersebut dengan “kedukunannya”. Lagi pula, dalam keseharian dia lurus dengan syariat.
Oya, dalam realitas, kita tidak hanya menjumpai kiai-kiai gadungan atau kiai karbitan, tapi juga dukun gadungan. Berbagai cerita telah diungkap (baik di media massa maupun dari lisan ke lisan) mengenai trik-trik mereka guna meraih pengakuan sebagai dukun. Entah dengan mengaku mendapat “wangsit”, berprilaku yang aneh-aneh, atau dengan menggunakan jasa “intelelijen”. Maksud kami, dia suruh seseorang untuk mengumpulkan data-data mengenai seseorang, setelah itu orang dimaksud digiring untuk datang kepadanya, lalu dia akan menebak dengan “jitu” segala masa lalu dan data-data keluarga orang tersebut. Karena berkali-kali dia dapat menebak dengan benar identitas orang-orang, lambat laun percayalah orang, dia seorang dukun, bahkan seorang wali.
Kuburan
Kuburan menjadi pilihan lain untuk membangun basis kewibawaan dan legitimasi sebagai kiai. Caranya, mereka mengaku menemukan kuburan seorang wali, entah dia habib entah kiai, melalui mimpi atau wangsit. Lalu berdatanganlah orang-orang ke tempat itu. Akan halnya si penemu tadi, dia bertindak sebagai juru kunci yang menyelenggarakan berbagai upacara untuk para peziarah dan sekaligus sebagai kiai yang legitimasinya terbangun melalui hubungan dengan “si wali”.
Misalnya, di satu tempat yang diklaim sebagai makam seorang habib (padahal menurut orang-orang tua setempat di lokasi itu dulu dikubur kuda dan anjing milik seorang demang yang melarikan diri) setiap Jumat tertentu digelar pembacaan Maulid Al-Habsyi, tahlil dan lain-lain. Banyak orang yang mengikutinya.
Dalam pengamatan kami, belakangan ini fenomena penemuan kuburan semakin gencar dan meluas saja. Ada kuburan yang “kekeramatannya” tidak langgeng, yang kemudian ditinggalkan orang meski sempat menuai “untung banyak”, ada pula yang bertahan hingga bertahun-tahun. Malah setiap tahun digelar haul untuk si wali, yang entah ada entah tidak (fiktif).
Fenomena ini sudah cukup lama terjadi. Buktinya, ada satu novel yang ditulis novelis India bernama Syed Wali, beberapa dasawarsa yang lalu. Novel berjudul “Pohon tanpa Akar” ini bercerita tentang ulama yang membangun basis legitimisasinya melalui penemuan kuburan.
Terabas
Kembali ke masalah budaya instan, memang tidak semua fenomena yang diungkap di atas merupakan bagian dari budaya ini. Sebagian adalah bagian dan dapat diterangkan melalui – meminjam istilah antropolog Kuntjaraningrat – budaya terabas yang dimiliki bangsa Indonesia. Yaitu kebiasaan untuk mendapatkan sesuatu melalui jalan pintas. Misalnya, ingin mendapat kekayaan tidak dengan bekerja tapi dengan pergi ke dukun, lewat pesugihan, pergi ke Gunung Kawi dan semacamnya.
Tetapi, apapun bingkainya, keduanya memiliki kesamaan dari sisi substansi. Baik yang lahir dari budaya instan maupun yang lahir dari budaya terabas, keduanya punya kesamaan: yaitu sama-sama tidak cukup matang, tidak mantap. Karbitan. Bahkan, bisa jadi, pepesan kosong – seperti halnya kuburan yang diklaim sebagai makam wali, padahal tidak ada apa-apanya. Atau, kalau ada, hanya berisi tulang-tulang anjing, kuda atau orang yang jauh dari sebutan wali. Demikian pula kiai yang terlahir dari kedua budaya ini umumnya tidak mantap, dan tidak qualified, sebagai ulama. Sebab, dia tidak cukup memenuhi syarat-syarat ulama. Apa pula syarat-syarat ulama?
Secara syar’i, setidaknya ulama harus memiliki dua persyaratan. Yaitu syarat keilmuan (ilmiyah) dan syarat amaliyah. Secara keilmuan, dia harus memiliki ilmu agama yang memadai. Sebab, kalau tidak, mana bisa dia disebut ulama, yang merupakan kata jama’ dari “‘alim” yang berarti “orang berilmu”?
Ilmu yang dikuasai pun haruslah ilmu agama, yaitu ilmu yang bersangkut paut dengan akhirat, seperti ilmu fiqih, tauhid, akhlak dan semacamnya. Sebab, ulama di sini bersifat terminologis, dalam arti merupakan istilah keagamaan (Islam) sehingga pengertiannya harus mengikuti definisi yang diberikan syariat. Ini sesuai dengan isyarat Allah dalam firman-Nya:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
Artinya, mereka hendaknya menguasai (tafaqquh dengan) ilmu agama, yang dengannya dia bisa memberi ingat kepada orang-orang mengenai jalan kebenaran yang diridhai oleh Allah dan mengantar pada kebahagiaan akhirat.
Di samping itu, ulama juga harus memenuhi syarat amaliyah. Yaitu, seperti ditegaskan dalam Al-Quran:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sungguh, yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Jadi, syarat menjadi ulama ialah: dia harus memiliki rasa takut dan takwa kepada Allah. Dia menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan kata lain, perilakunya dibimbing oleh Al-Quran dan hadis. Dia pun lebih mendahulukan akhirat daripada dunia. Apabila Anda menjumpai orang yang disebut kiai tapi dia tidak salat atau suka mengumbar nafsu untuk berbuat maksiat, misalnya, dia bukan ulama. Berarti bukan kiai pula karena kiai itu, secara terminologis, merupakan terjemahan dari kata ulama.Ust. Hamid Ahmad
Memasak pun sangat mudah; tinggal memencet tombol. Mencuci baju, cukup dengan menekan tombol. Memanggang roti, merebus air dan lain-lain, semua serba mudah, serba instan.
Bahkan membangun rumah, bisa dilakukan secara instan. Menikah secara instan. Mencari jodoh secara instan. Menjadi selebritis pun bisa dengan cara instant. Caranya? Ikuti AFI, Indonesian Idol, KDI atau program-program sejenis untuk akting, model, dan semacamnya. Menjadi dai instan? Kenapa tidak. Semua ada di stasiun televisi.
Budaya Populer
Kata orang, ini zamannya zaman budaya popular, budaya massa. Zamannya media massa mendominasi kita, menjajah kita. Zamannya orang-orang mudah dikecoh dan dimanipulasi media massa. Zamannya media massa dapat menciptakan realitasnya sendiri, meski tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya.
Berkat media massa banyak orang dipanggil ustadz atau kiai meski mereka tidak punya latar belakang pendidikan agama. Hanya gara-gara disebut kiai atau ustadz di media massa, orang ikut-ikutan memanggilnya demikian.
Cara lainnya ialah melalui organisasi. Hanya berkat keanggotaannya dalam kepengurusan ormas Islam, tak sedikit orang yang dipanggil kiai, meski ilmu agamanya tidak memadai atau perilakunya tidak cocok dengan ajaran Islam. Lebih-lebih bila hal ini diperkuat oleh media massa yang selalu menyebutnya kiai.
Tak jarang hal demikian dilakukan dengan penuh kesadaran, baik oleh yang bersangkutan (misalnya bikin tayangan promosional di televisi, di mana dirinya disebut ustadz atau kiai) maupun oleh orang lain.
Hal ini banyak terjadi di dunia politik. Umpamanya, guna memperkuat basis legitimasi terhadap partai politik, maka ada kader-kadernya yang dipopulerkan dengan panggilan ustadz atau kiai.
Lucunya, ada orang-orang yang, kita sebut saja, menjadi “kiai sehari” (mirip dengan “raja sehari” dalam dongeng rakyat). Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya bukan kiai, tapi karena tujuan politis mereka diundang untuk melakukan upacara keagamaan sembari memberi dukungan di rumah pejabat tertentu sambil mengenakan atribut-atribut kekiaian (lengkap dengan serbannya), dan mereka diklaim sebagai kiai. Usai acara itu, mereka pulang ke rumah masing-masing, dan menjadi orang biasa lagi.
Perdukunan
Itu semua adalah fenomena masyarakat modern dalam bingkai budaya massa, di mana rekayasa dilakukan melalui alat-alat modern, yaitu media massa dan organisasi. Ada pula jalan tradisional. Yaitu melalui praktek perdukunan.
Perdukunan merupakan batu loncatan yang paling mudah untuk mendapat pengakuan sebagai ustadz atau kiai. Maklumlah, dalam sistem budaya kita, batas antara dukun dan kiai begitu tipis. Bukankah banyak dukun, khususnya dalam masyarakat Jawa, yang dipanggil kiai, gus atau ustadz, padahal mereka sama sekali tidak mengajar agama, sementara ilmu agamanya sangat minim, kalau bukan nol besar. Tak sedikit dukun yang dianggap wali, khususnya dukun-dukun yang dipandang “tokcer” – dapat menebak orang dengan tepat, dapat meramal dengan tepat, dan dapat membantu hajat orang dengan sigap. Padahal, mereka bukan wali. Kiai juga tidak. Ustadz pun bukan. Mereka adalah dukun ansich, yang terkadang jauh dari ajaran syariat.
Tak sedikit dukun yang melengkapi perdukunan mereka dengan upacara keagamaan, seperti menggelar istighatsah dan manaqib rutin, yang nota bene berfungsi memperkuat basis kewibawaan mereka di tengah masyarakat. Malah ada pula yang mendirikan pesantren – satu hal yang kian memperkokoh status kekiaian mereka.
Yang terakhir ini mungkin bisa kita mengerti dan syukuri sepanjang “sang kiai” tidak menyimpang dari rel syariat dalam praktek perdukunannya serta tidak mengintervensi pesantren tersebut dengan “kedukunannya”. Lagi pula, dalam keseharian dia lurus dengan syariat.
Oya, dalam realitas, kita tidak hanya menjumpai kiai-kiai gadungan atau kiai karbitan, tapi juga dukun gadungan. Berbagai cerita telah diungkap (baik di media massa maupun dari lisan ke lisan) mengenai trik-trik mereka guna meraih pengakuan sebagai dukun. Entah dengan mengaku mendapat “wangsit”, berprilaku yang aneh-aneh, atau dengan menggunakan jasa “intelelijen”. Maksud kami, dia suruh seseorang untuk mengumpulkan data-data mengenai seseorang, setelah itu orang dimaksud digiring untuk datang kepadanya, lalu dia akan menebak dengan “jitu” segala masa lalu dan data-data keluarga orang tersebut. Karena berkali-kali dia dapat menebak dengan benar identitas orang-orang, lambat laun percayalah orang, dia seorang dukun, bahkan seorang wali.
Kuburan
Kuburan menjadi pilihan lain untuk membangun basis kewibawaan dan legitimasi sebagai kiai. Caranya, mereka mengaku menemukan kuburan seorang wali, entah dia habib entah kiai, melalui mimpi atau wangsit. Lalu berdatanganlah orang-orang ke tempat itu. Akan halnya si penemu tadi, dia bertindak sebagai juru kunci yang menyelenggarakan berbagai upacara untuk para peziarah dan sekaligus sebagai kiai yang legitimasinya terbangun melalui hubungan dengan “si wali”.
Misalnya, di satu tempat yang diklaim sebagai makam seorang habib (padahal menurut orang-orang tua setempat di lokasi itu dulu dikubur kuda dan anjing milik seorang demang yang melarikan diri) setiap Jumat tertentu digelar pembacaan Maulid Al-Habsyi, tahlil dan lain-lain. Banyak orang yang mengikutinya.
Dalam pengamatan kami, belakangan ini fenomena penemuan kuburan semakin gencar dan meluas saja. Ada kuburan yang “kekeramatannya” tidak langgeng, yang kemudian ditinggalkan orang meski sempat menuai “untung banyak”, ada pula yang bertahan hingga bertahun-tahun. Malah setiap tahun digelar haul untuk si wali, yang entah ada entah tidak (fiktif).
Fenomena ini sudah cukup lama terjadi. Buktinya, ada satu novel yang ditulis novelis India bernama Syed Wali, beberapa dasawarsa yang lalu. Novel berjudul “Pohon tanpa Akar” ini bercerita tentang ulama yang membangun basis legitimisasinya melalui penemuan kuburan.
Terabas
Kembali ke masalah budaya instan, memang tidak semua fenomena yang diungkap di atas merupakan bagian dari budaya ini. Sebagian adalah bagian dan dapat diterangkan melalui – meminjam istilah antropolog Kuntjaraningrat – budaya terabas yang dimiliki bangsa Indonesia. Yaitu kebiasaan untuk mendapatkan sesuatu melalui jalan pintas. Misalnya, ingin mendapat kekayaan tidak dengan bekerja tapi dengan pergi ke dukun, lewat pesugihan, pergi ke Gunung Kawi dan semacamnya.
Tetapi, apapun bingkainya, keduanya memiliki kesamaan dari sisi substansi. Baik yang lahir dari budaya instan maupun yang lahir dari budaya terabas, keduanya punya kesamaan: yaitu sama-sama tidak cukup matang, tidak mantap. Karbitan. Bahkan, bisa jadi, pepesan kosong – seperti halnya kuburan yang diklaim sebagai makam wali, padahal tidak ada apa-apanya. Atau, kalau ada, hanya berisi tulang-tulang anjing, kuda atau orang yang jauh dari sebutan wali. Demikian pula kiai yang terlahir dari kedua budaya ini umumnya tidak mantap, dan tidak qualified, sebagai ulama. Sebab, dia tidak cukup memenuhi syarat-syarat ulama. Apa pula syarat-syarat ulama?
Secara syar’i, setidaknya ulama harus memiliki dua persyaratan. Yaitu syarat keilmuan (ilmiyah) dan syarat amaliyah. Secara keilmuan, dia harus memiliki ilmu agama yang memadai. Sebab, kalau tidak, mana bisa dia disebut ulama, yang merupakan kata jama’ dari “‘alim” yang berarti “orang berilmu”?
Ilmu yang dikuasai pun haruslah ilmu agama, yaitu ilmu yang bersangkut paut dengan akhirat, seperti ilmu fiqih, tauhid, akhlak dan semacamnya. Sebab, ulama di sini bersifat terminologis, dalam arti merupakan istilah keagamaan (Islam) sehingga pengertiannya harus mengikuti definisi yang diberikan syariat. Ini sesuai dengan isyarat Allah dalam firman-Nya:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
Artinya, mereka hendaknya menguasai (tafaqquh dengan) ilmu agama, yang dengannya dia bisa memberi ingat kepada orang-orang mengenai jalan kebenaran yang diridhai oleh Allah dan mengantar pada kebahagiaan akhirat.
Di samping itu, ulama juga harus memenuhi syarat amaliyah. Yaitu, seperti ditegaskan dalam Al-Quran:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sungguh, yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Jadi, syarat menjadi ulama ialah: dia harus memiliki rasa takut dan takwa kepada Allah. Dia menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan kata lain, perilakunya dibimbing oleh Al-Quran dan hadis. Dia pun lebih mendahulukan akhirat daripada dunia. Apabila Anda menjumpai orang yang disebut kiai tapi dia tidak salat atau suka mengumbar nafsu untuk berbuat maksiat, misalnya, dia bukan ulama. Berarti bukan kiai pula karena kiai itu, secara terminologis, merupakan terjemahan dari kata ulama.Ust. Hamid Ahmad