Umar bin Khattab dan Seekor Burung Pipit
Pada suatu hari Umar bin Khattab melihat sekelompok anak kecil bermain dengan mengikat seekor burung pipit. Tampak burung kecil itu kelelahan dan tersiksa. Melihat peristiwa itu Umar merasa iba kepada burung tersebut. Maka dengan serta merta ia merajuk anak-anak itu dan membeli burung pipit tersebut. Setelah itu Umar melepas burung tersebut untuk bebas terbang di udara.
Setelah Umar meninggal dunia, para ulama di kota itu bermimpi bertemu dengannya. Mereka menanyakan kepada beliau tentang keadaannya. Mereka bertanya, “Wahai Umar, apa yang telah Allah lakukan kepadamu?” Umar menjawab, “Allah telah mengampuniku dan membalas amal perbuatanku.”
Mereka bertanya kembali, “Ceritakan kepada kami perbuatan apa yang telah menjadikan Allah mengampunimu?”
Umar menjawab, “Sesungguhnya Allah menyayangiku karena aku pernah menyayangi seekor burung pipit.”
Sumber: Oase Spiritual
Sengketa Baju Besi Milik Ali Bin Abi °alib
Ali bin Abi °alib sangat terkenal sebagai seorang khalifah yang adil. Ia tak mau menang sendiri terhadap rakyatnya dalam persoalan apa pun. Setiap urusan selalu diupayakan untuk diselesaikan dengan melalui jalur hukum, sesuai dengan aturan permainan yang sebenarnya. Pada suatu ketika terjadi persengketaan antara sang Khalifah dengan seorang Nasrani mengenai baju besi. Ceritanya Sayyidina Ali melihat baju besinya berada di tangan seorang Nasrani yang kedudukannya adalah rakyat biasa. Seorang Nasrani itu kemudian mengadukan sengketanya dengan Sayyidina Ali ke pengadilan. Pada saat itu hakim yang mengadili bernama Syuraikh.
Akhirnya persidangan pun digelar. Ketika persidangan sudah dimulai, Sayyidina Ali diberi kesempatan untuk berbicara, “Baju besi ini adalah milikku. Aku belum pernah menjualnya atau memberikannya kepada siapapun.”
Mendengar pengakuan sang khalifah, hakim pun meminta keterangan dari pihak tertuduh. Orang Nasrani itu berkata, “Baju besi ini adalah milikku sendiri. Apa yang diutarakan itu tidak benar.” Hakim bertanya kepada Sayyidina Ali, “Adakah bukti nyata atau saksi mata yang menguatkan pengakuanmu?”
Sayyidina Ali menjawab, “Benarlah hakim, aku memang tidak punya bukti maupun saksi dalam hal ini.”
Karena tidak ada bukti maupun saksi, maka hakim menetapkan keputusannya bahwa baju besi tersebut menjadi hak orang Nasrani tersebut.
Seusai sidang, orang Nasrani itu melangkah meninggalkan ruang sidang. Sayyidina Ali hanya bisa memandang baju besi kesayangannya. Namun baru beberapa langkah berlalu, orang Nasrani itu membalikkan badan lalu berkata, “Saya bersaksi bahwa inilah akhlak mulia yang diwariskan para nabi. Seorang Khalifah membawaku ke majlis hakim untuk menyelesaikan perkara.” Selanjutnya dia berkata, “Demi Tuhan, sebenarnya baju besi ini adalah milikmu wahai Khalifah.” Setelah peristiwa itu, orang Nasrani tersebut menjadi muallaf yang sangat taat dan menyerahkan jiwa dan raganya untuk kejayaan Islam.
Sumber: Seri Perkaya Hati
SUMBER : Buku K13 Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas ix
Pada suatu hari Umar bin Khattab melihat sekelompok anak kecil bermain dengan mengikat seekor burung pipit. Tampak burung kecil itu kelelahan dan tersiksa. Melihat peristiwa itu Umar merasa iba kepada burung tersebut. Maka dengan serta merta ia merajuk anak-anak itu dan membeli burung pipit tersebut. Setelah itu Umar melepas burung tersebut untuk bebas terbang di udara.
Setelah Umar meninggal dunia, para ulama di kota itu bermimpi bertemu dengannya. Mereka menanyakan kepada beliau tentang keadaannya. Mereka bertanya, “Wahai Umar, apa yang telah Allah lakukan kepadamu?” Umar menjawab, “Allah telah mengampuniku dan membalas amal perbuatanku.”
Mereka bertanya kembali, “Ceritakan kepada kami perbuatan apa yang telah menjadikan Allah mengampunimu?”
Umar menjawab, “Sesungguhnya Allah menyayangiku karena aku pernah menyayangi seekor burung pipit.”
Sumber: Oase Spiritual
Sengketa Baju Besi Milik Ali Bin Abi °alib
Ali bin Abi °alib sangat terkenal sebagai seorang khalifah yang adil. Ia tak mau menang sendiri terhadap rakyatnya dalam persoalan apa pun. Setiap urusan selalu diupayakan untuk diselesaikan dengan melalui jalur hukum, sesuai dengan aturan permainan yang sebenarnya. Pada suatu ketika terjadi persengketaan antara sang Khalifah dengan seorang Nasrani mengenai baju besi. Ceritanya Sayyidina Ali melihat baju besinya berada di tangan seorang Nasrani yang kedudukannya adalah rakyat biasa. Seorang Nasrani itu kemudian mengadukan sengketanya dengan Sayyidina Ali ke pengadilan. Pada saat itu hakim yang mengadili bernama Syuraikh.
Akhirnya persidangan pun digelar. Ketika persidangan sudah dimulai, Sayyidina Ali diberi kesempatan untuk berbicara, “Baju besi ini adalah milikku. Aku belum pernah menjualnya atau memberikannya kepada siapapun.”
Mendengar pengakuan sang khalifah, hakim pun meminta keterangan dari pihak tertuduh. Orang Nasrani itu berkata, “Baju besi ini adalah milikku sendiri. Apa yang diutarakan itu tidak benar.” Hakim bertanya kepada Sayyidina Ali, “Adakah bukti nyata atau saksi mata yang menguatkan pengakuanmu?”
Sayyidina Ali menjawab, “Benarlah hakim, aku memang tidak punya bukti maupun saksi dalam hal ini.”
Karena tidak ada bukti maupun saksi, maka hakim menetapkan keputusannya bahwa baju besi tersebut menjadi hak orang Nasrani tersebut.
Seusai sidang, orang Nasrani itu melangkah meninggalkan ruang sidang. Sayyidina Ali hanya bisa memandang baju besi kesayangannya. Namun baru beberapa langkah berlalu, orang Nasrani itu membalikkan badan lalu berkata, “Saya bersaksi bahwa inilah akhlak mulia yang diwariskan para nabi. Seorang Khalifah membawaku ke majlis hakim untuk menyelesaikan perkara.” Selanjutnya dia berkata, “Demi Tuhan, sebenarnya baju besi ini adalah milikmu wahai Khalifah.” Setelah peristiwa itu, orang Nasrani tersebut menjadi muallaf yang sangat taat dan menyerahkan jiwa dan raganya untuk kejayaan Islam.
Sumber: Seri Perkaya Hati
SUMBER : Buku K13 Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas ix