novel Nyani Sunyi dari Indragiri, Novel peraih penghargaan utama Ganti Award 2004—nama sebuah penghargaan penulisan novel yang diselenggarakan oleh Yayasan Bandar Serai di Pekanbaru, Provinsi Riau (Ensiklopedia Sastra Riau, 2011)—ini diterbitkan oleh Gurindam Press pada Desember 2004. Novel dengan tebal 102 halaman ini terdiri dari empat bagian, yaitu (1) Prolog, (2) Alia, (3) Sarah, dan (4) Epilog.
Bacalah prolog dan epilog novel Nyani Sunyi dari Indragiri berikut.
A. Prolog
lelaki tak memiliki apa-apa jiwanya pergi, mengikuti arah angin yang tak berketentuan, atau air sungai yang mengalir membawanya pergi jauh ke arah entah kadang dia bertanya: “seberapa beranikah aku mempertaruhkan diriku bertarung membela kehormatan?”
juga, dia masih meragukan dirinya sendiri: “seberapa takutkah aku dicintai?”
lelaki tak memiliki apa-apa, bekalnya hanya rasa, untuk dijadikan tongkat penunjuk dalam perjalanan...
(NSdI, 2004:ix)
B. Epilog
Senja hampir habis, burung-burung terbang mencari tempat untuk pulang dan angin semilir berembus tipis. Seorang laki-laki dengan rambut gondrong, cambang, kumis, dan segala rambut yang menutupi kepala dan wajahnya. Di punggungnya tergantung tas ransel lusuh, baju, dan celana, serta sepatu yang dipakainya juga lusuh. Angin mengibar-ngibarkan rambut gondrongnya, dan matahari senja yang hampir habis bersinar menerpanya, membuat lelaki itu seperti siluet hitam, yang terlihat hanya bayangan.
Di sebuah lapau tempat banyak laki-laki yang sedang bermain domino, dia berhenti sejenak. Mereka yang ada di situ serentak memandangnya, tetapi kemudian kembali asyik dengan batu dominonya.
“Masih berapa jauhkah Bukit Tengkorak dari sini, Ibu?” tanya lelaki itu kepada pemilik lapau.
Kontan, semua orang menghentikan permainannya. “Untuk apa Anak mencari bukit itu? Semua yang datang ke bukit itu tak pernah kembali. Kata orang, di bukit itu benar-benar ada hantu, juga binatang buas seperti beruang, harimau, dan sebagainya,” jawab salah seorang dari mereka.
“Saya tahu, Pak, saya sudah mendengar semua cerita tentang Bukit Tengkorak itu. Saya memang tak ingin kembali lagi setelah sampai di sana...”
Semuanya heran, mulutnya melongo. Ibu pemilik lapau itu kemudian mengatakan bahwa untuk mencapai Bukit Tengkorak, harus melakukan perjalanan kaki paling cepat dua hari dua malam, menuruni tiga lembah dan empat bukit. “Letaknya di sebalik Gunung Kerinci itu, Anak. Tapi tidak ada angkutan mobil yang bisa mengantar ke sana. Bahkan pemilik sewaan kuda di daerah ini juga tidak mau menyewakan kudanya kalau tujuannya ke Bukit Tengkorak.”
“Terima kasih, Bu. Mungkin saya memang harus berjalan kaki...”
Kemudian, seperti dalam cerita-cerita komik atau film silat, lelaki berambut gondrong menggendong tas ransel itu berjalan menjauhi lapau itu, yang membuat semua orang yang ada di situ melongo. Angin senja yang hampir habis membuat rambutnya berkibar-kibar, dan sinar matahari yang hampir tenggelam membuat tubuhnya tampak hanya bayangan, seperti siluet. Dia berjalan ke arah barat, ke arah matahari tenggelam, ke arah Bukit Tengkorak, bukit kematian yang diyakini oleh seluruh penduduk di kaki Gunung Kerinci itu.
Aku memang ingin mati, katanya dalam hati. Tetapi mengapa aku tak bisa mati?
Beberapa saat kemudian, senja benar-benar telah habis.
Bayangan lelaki itu sudah tidak tampak lagi dari lapau, yang tertinggal hanya hawa dingin yang menggigilkan tulang.
“Orang aneh...” desis orang-orang di lapau itu. “Semua orang ingin mencari hidup, ini malah mencari mati... Mengapa tidak bunuh diri saja?”
Kembali, angin hanya menyisakan dingin yang menggigilkan tulang-tulang, dan para lelaki itu terus bermain domino hingga menjelang tengah malam, ketika dingin benar-benar tak bisa dikurangi dengan kopi atau selimut tebal.
Dingin yang membuat beku, dan laki-laki berambut gondrong menggendong tas ransel itu tetap berjalan dalam gelap, tanpa cahaya apapun. Dia terus berjalan, terus berjalan, tanpa cahaya, tanpa apa-apa. Hanya berjalan, ke arah entah.
(NSdI, 2004:99—101)
Bacalah prolog dan epilog novel Nyani Sunyi dari Indragiri berikut.
A. Prolog
lelaki tak memiliki apa-apa jiwanya pergi, mengikuti arah angin yang tak berketentuan, atau air sungai yang mengalir membawanya pergi jauh ke arah entah kadang dia bertanya: “seberapa beranikah aku mempertaruhkan diriku bertarung membela kehormatan?”
juga, dia masih meragukan dirinya sendiri: “seberapa takutkah aku dicintai?”
lelaki tak memiliki apa-apa, bekalnya hanya rasa, untuk dijadikan tongkat penunjuk dalam perjalanan...
(NSdI, 2004:ix)
B. Epilog
Senja hampir habis, burung-burung terbang mencari tempat untuk pulang dan angin semilir berembus tipis. Seorang laki-laki dengan rambut gondrong, cambang, kumis, dan segala rambut yang menutupi kepala dan wajahnya. Di punggungnya tergantung tas ransel lusuh, baju, dan celana, serta sepatu yang dipakainya juga lusuh. Angin mengibar-ngibarkan rambut gondrongnya, dan matahari senja yang hampir habis bersinar menerpanya, membuat lelaki itu seperti siluet hitam, yang terlihat hanya bayangan.
Di sebuah lapau tempat banyak laki-laki yang sedang bermain domino, dia berhenti sejenak. Mereka yang ada di situ serentak memandangnya, tetapi kemudian kembali asyik dengan batu dominonya.
“Masih berapa jauhkah Bukit Tengkorak dari sini, Ibu?” tanya lelaki itu kepada pemilik lapau.
Kontan, semua orang menghentikan permainannya. “Untuk apa Anak mencari bukit itu? Semua yang datang ke bukit itu tak pernah kembali. Kata orang, di bukit itu benar-benar ada hantu, juga binatang buas seperti beruang, harimau, dan sebagainya,” jawab salah seorang dari mereka.
“Saya tahu, Pak, saya sudah mendengar semua cerita tentang Bukit Tengkorak itu. Saya memang tak ingin kembali lagi setelah sampai di sana...”
Semuanya heran, mulutnya melongo. Ibu pemilik lapau itu kemudian mengatakan bahwa untuk mencapai Bukit Tengkorak, harus melakukan perjalanan kaki paling cepat dua hari dua malam, menuruni tiga lembah dan empat bukit. “Letaknya di sebalik Gunung Kerinci itu, Anak. Tapi tidak ada angkutan mobil yang bisa mengantar ke sana. Bahkan pemilik sewaan kuda di daerah ini juga tidak mau menyewakan kudanya kalau tujuannya ke Bukit Tengkorak.”
“Terima kasih, Bu. Mungkin saya memang harus berjalan kaki...”
Kemudian, seperti dalam cerita-cerita komik atau film silat, lelaki berambut gondrong menggendong tas ransel itu berjalan menjauhi lapau itu, yang membuat semua orang yang ada di situ melongo. Angin senja yang hampir habis membuat rambutnya berkibar-kibar, dan sinar matahari yang hampir tenggelam membuat tubuhnya tampak hanya bayangan, seperti siluet. Dia berjalan ke arah barat, ke arah matahari tenggelam, ke arah Bukit Tengkorak, bukit kematian yang diyakini oleh seluruh penduduk di kaki Gunung Kerinci itu.
Aku memang ingin mati, katanya dalam hati. Tetapi mengapa aku tak bisa mati?
Beberapa saat kemudian, senja benar-benar telah habis.
Bayangan lelaki itu sudah tidak tampak lagi dari lapau, yang tertinggal hanya hawa dingin yang menggigilkan tulang.
“Orang aneh...” desis orang-orang di lapau itu. “Semua orang ingin mencari hidup, ini malah mencari mati... Mengapa tidak bunuh diri saja?”
Kembali, angin hanya menyisakan dingin yang menggigilkan tulang-tulang, dan para lelaki itu terus bermain domino hingga menjelang tengah malam, ketika dingin benar-benar tak bisa dikurangi dengan kopi atau selimut tebal.
Dingin yang membuat beku, dan laki-laki berambut gondrong menggendong tas ransel itu tetap berjalan dalam gelap, tanpa cahaya apapun. Dia terus berjalan, terus berjalan, tanpa cahaya, tanpa apa-apa. Hanya berjalan, ke arah entah.
(NSdI, 2004:99—101)