Nasib guru

MANUSIA yang besar adalah mereka yang punya pengorbanan  besar, sebaliknya yang kerdil adalah mereka yang tidak punya catatan pengorbanan. Sedangkan,  manusia yang hebat adalah mereka yang punya pengorbanan dan belajar dari masa lalunya untuk meraih masa depan lebih baik.

Orang ini yang dinamai guru, hakikatnya adalah orang biasa dengan sejarahnya yang panjang dan berliku. Orang ini berada dalam barisan terdepan dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Pengabdian bukan karena titel dan tumpukan harta duniawi melainkan karena adab, pengorbanan besar mereka.

Begitulah seorang guru, ketika bekerja ia mendidik untuk bangsa dan masyarakat, rela menderita demi sebuah cita-cita dan tugas besar. Ingin menjadi siswanya besar dan bermartabat. Mereka korbankan waktu didepan keluarga dan orang lain, demi menaikkan martabat siswanya.

Mengapa mendidik itu menderita : 1) sebagai guru harus bertanggung jawab terhadap semua hal yang terjadi pada setiap siswa, meskipun kesalahan itu dilakukan oleh siswa; 2) guru harus menyediakan seluruh sumber daya yang dimiliki melebihi apa yang bisa diberikan oleh orang lain; 3) guru berada dalam barisan terdepan menghadapi resiko atau bahaya; 4)  jika berhasil itu adalah prestasi semua, jika gagal itu adalah tanggung jawab guru; 5) guru adalah penikmat yang terakhir setelah semua orang menikmati, namun guru adalah penderita paling awal sebelum yang lain menderita.

Namun, disisi lain mendidik itu juga membuat bahagia, karena : 1) guru bekerja untuk kepentingan orang banyak; 2) guru bersedia berkorban untuk kepentingan yang lebih besar; 3) guru dipilih karena guru dipercayai dan memiliki kualitas diatas rata-rata kelompok lain; 4) guru adalah harapan dan juga sandaran bagi mayoritas orang; 5) guru adalah penentu arah, pengendali dan pelindung bagi seluruh siswa.

Tetapi ukuran menderita bagi seorang guru tidak semata-mata pada deraan “kemiskinan”, haknya yang sering ditunda tunda, banyak aturan yang mengatur guru, atau banyaknya lembaga, badan, organisasi, dewan atau instansi yang mengawal tugas guru. Tetapi juga terletak pada hilangnya waktu yang dia habiskan bersama dengan keluarga dan orang dekatnya. Mendidik berarti menyerahkan sebagian besar waktunya untuk kepentingan orang banyak. Karena mendidik terkait dengan tugas, ini berarti waktunya akan habis untuk merealisasikan tugas  itu.

Tidak selalu sebuah tugas dengan mudah direalisasikan. Ada saja hambatan yang mungkin dialami. Kadang ada salah sangka, terkait tindakan-tindakan yang diambil oleh seorang guru. Disalahpahami orang lain merupakan derita sendiri bagi seorang guru. Jangan heran banyak guru dipermasalahkan kejalur hukum dan akhirnya dipenjara.

Guru memang `sengaja` disiapkan sebagai seorang pengabdi, tidak boleh lebih. Jangan bayangkan guru berkarir lebih tinggi. Mau masuk arena politik. Jangan mimpi, `mendekati` saja tidak boleh, apa lagi… Mau naik ke struktural, tidak ada `jalur`. Mau menjadi `nara sumber`, `jangan`, dia kan guru`. Guru tidak protes, guru tahu diri

Guru itu tugasnya disekolah. Tidak boleh kemana mana. Jangan coba terlambat, ada malaikat (baca- finger print) pencatat. Jangan coba tidak mengajar 1 (satu) jam pelajaran saja, langsung tidak terima TPG bulan itu kalau tidak diganti. Begitulah nasib guru

Menjadi guru, beda dengan menjadi bos. Seorang bos biasanya tukang perintah, selalu menggunakan kekuasaan, menciptakan rasa takut, selalu menyatakan `aku`, menunjuk `siapa` yang salah, hanya mengetahui hasil, dan mengharap hormat. Sedangkan guru sejati memberikan inspirasi bagi siswanya, bersandar pada niat baik, menciptakan suasana kondusif, selalu menyatakan `kita`, memperlihatkan `apa` yang salah, mengetahui cara menghasilkan sesuatu, dan menumbuhkan rasa hormat.

Tapi, teachers make things happen. Apa yang diharapkan bersama, ditangan guru bisa menjadi kenyataan. Seorang anak manusia yang tidak tahu apa apa, ditangan dingin guru, siswa jadi tahu apa apa. Budaya juga bisa dibentuk guru, siswa bisa jadi lebih percaya sama gurunya dibandingkan dengan orang tuanya. Para guru adalah `pasukan gerak cepat”. Mereka menghadapi fakta di lapangan dan menyikapinya dengan respon yang tepat.

Seorang guru, harus banyak bicara dan banyak bekerja (tidak bisa hanya salah satu saja). Talk more, do more. Sebab, seorang guru harus membelajarkan sekaligus mencontohkan. Guru meraih tujuan yang ingin dicapai melalui siswa yang diajarnya. Guru mendidik siswanya untuk menjadi pemimpin, bukan menjadi pengikut (leaders create leaders). Guru menggunakan setiap kesempatan untuk belajar dan membelajarkan.

Seorang guru dilarang berbuat salah, baik secara pribadi maupun di muka umum. Kepribadian guru tak terpisahkan dengan tingkah laku mereka, tindakannya mempengaruhi nilai-nilai orang lain. Nilai guru adalah universal, yang jadi panutan bagi masyarakat. “Guru kencing berdiri, anak kencing berlari` begitu pepatah yang menunjukan bagaimana panutan guru ditengah masyarakat.

Ketahuilah, guru adalah orang yang berenergi tinggi (high-energy people). Guru bisa membuat sesuatu itu terjadi karena energi guru itu mencerdaskan. Selain berenergi, guru juga menciptakan energi bagi orang lain. Mereka memotivasi dengan sangat antusias dan penuh aksi. Guru mengubah energi negatif menjadi positif. (Handrianto)

Tidak sekedar memiliki kompetensi keilmuan, disiplin dan menguasai tehnolgi informasi, guru mesti memiliki kepribadian yang memiliki sifat moral, mental dan estetika (Handrianto). Karena tugas guru maha berat: mengembangkan potensi siswa yang berbeda beda. Salah sedikit saja `resep guru`, terjadilah malpraktek pendidikan, dan bersiap siap kehilangan satu generasi.

Tidak, tidak ada guru hebat yang lahir di zona nyaman. Tidak ada pencapaian hebat yang lahir dari zona nyaman. Nothing great comes from a comfort zone! Kalau anda guru yang baik maka anda sudah bahagia.

*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah.