Dalam
sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Walisongo adalah perintis awal
dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dipelopori Syeikh
Maulana Malik Ibrahim. Walisongo adalah pelopor dan pemimpin dakwah
Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk menjalankan dakwah Islam
ke seluruh Nusantara sejak abad ke-15. Walisongo terdiri dari sembilan
wali; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri,
Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan
Kalijaga.
Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau Waliya yang berarti qaraba
yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian. Dalam Al-Qur’an
istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat, teman atau pelindung.
Al-Qur’an menjelaskan: “Allah pelindung (waliyu)
orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung
(auliya) mereka ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya
kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Baqarah: 257).
Selanjutnya kata songo menunjukkan angka hitungan Jawa yang berarti sembilan, angka bilangan magis Jawa yang diambil dari kata Ja yang memiliki nilai tiga dan wa yang bernilai enam. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kata songo berasal dari kata sana yang diambil dari bahasa Arab, tsana (mulia) sepadan dengan mahmud
(terpuji). Pendapat ini didukung oleh sebuah kitab yang meriwayatkan
kehidupan dan hal ihwal para wali di jawa yang dikarang oleh Sunan Giri
II.
Meskipun tidak membawa bendera tertentu kecuali Islam dan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah,
metode dakwah yang digunakan Walisongo adalah penerapan metode yang
dikembangkan para sufi Sunni dalam menanamkan ajaran Islam melalui
keteladanan yang baik. Aliran teologinya menggunakan teologi Asy’ariyah,
sedangkan aliran sufistiknya mengarah pada Al-Ghazali. Jejak yang
ditinggalkan Walisongo itu terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang
termuat dalam tulisan-tulisan para murid dalam bahasa Jawa yang dikenal
dengan primbon, yang menggambarkan hakikat aliran tasawuf yang mereka
anut dan kembangkan. Hal ini juga didasarkan pada manuskrip yang
ditemukan Drewes yang diperkirakan ditulis pada masa transisi dari
Hinduisme kepada Islam, yakni pada masa Walisongo hidup. Dalam manuskrip
yang menguraikan tasawuf itu terdapat beberapa paragraf cuplikan dari
kitab al-Bidayah wa al-Nahayah karya al-Ghazali.
Kendati
demikian, metode dakwah yang dilakukan para wali berbeda-beda. Metode
yang dilakukan Sunan Kudus tampak unik dengan mengumpulkan masyarakat
untuk melihat lembu yang dihias sedemikian rupa sehingga tampil bagai
pengantin itu kemudian diikat di halaman masjid, sehingga masyarakat
yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun
menyaksikan lembu yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu.
Sesudah mereka datang dan berkumpul di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu
menyampaikan dakwahnya. Cara ini praktis dan strategis untuk menarik
minat masyarakat yang masih banyak menganut agama Hindu. Seperti
diketahui, lembu merupakan binatang keramat Hindu.
Terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang keras dan gigih menentang dakwah Islamiyah, para wali menerapkan metode al-mujadalah billati hiya ahsan (berbantah-bantah dengan jalan yang sebaik-baiknya).
Mereka diperlakukan secara personal, dan dihubungi secara istimewa,
langsung, bertemu pribadi sambil diberikan keterangan, pemahaman dan
perenungan (tadzkir) tentang Islam. Cara ini dilakukan oleh
Raden Rahmat atau Sunan Ampel ketika berdakwah kepada Adipati Aria Damar
dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat, Aria
Damar masuk Islam bersama istri dan seluruh penduduk negeri yang
dipimpinnya.
Metode
itu dipergunakan pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah mengajak
Adipati Pandanarang di Semarang. Mulanya terjadi perdebatan seru, tetapi
perdebatan itu kemudian berakhir dengan rasa tunduk Sang Adipati untuk
masuk Islam. Kejadian mengharukan ketika Adipati rela melepaskan jabatan
dan rela meninggalkan harta dan keluarga untuk bergabung dalam dakwah
Sunan Kalijaga.
Beberapa
wali bahkan telah membuktikan diri sebagai kepala daerah seperti
misalnya Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kudus yang berkuasa di
daerah-daerah di sekitar kediaman mereka. Kekuatan diplomasi dan
kemampuan dalam berhujjah atas kekuatan pemerintahan Majapahit yang
sedang berkuasa ditunjukkan oleh Sunan Ampel, Sunan Gresik dan Sunan
Majagung. Alhasil, Prabu Brawijaya I (Raja yang sedang berkuasa di
Majapahit saat itu) memberi izin kepada mereka untuk memilih
daerah-daerah yang disukai sebagai tempat tinggal. Di kawasan baru
tersebut mereka diberi kebebasan mengembangkan agama, menjadi imam dan
bahkan kepala daerah masyarakat setempat.
Dari
penjalasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, metode yang
digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah ada tiga macam, yaitu:
1. Al-Hikmah (kebijaksanaan) : Al-Hikmah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u (objek dakwah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Gudus.
2. Al-Mau’izha Al-Hasanah
(nasihat yang baik) : memberi nasihat dengan kata-kata yang masuk ke
dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh
kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain
sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluh hati
yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan
kebaikan daripada larangan dan ancaman. Inilah yang dilakukan oleh para
wali.
3. Al-Mujadalah Billati Hiya Ahsan (berbantah-bantah
dengan jalan sebaik-baiknya) : tukar pendapat yang dilakukan oleh dua
pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan
agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi
dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan
menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui
kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut.
sebagaimana dakwah Sunan Ampel kepada Adipati Aria Damar dan Sunan
Kalijaga kepada Adipati Pandanarang.
Peran
Wali Sanga dalam penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Jawa nampaknya
tidak dapat di sangkal lagi. Besarnya jasa mereka dalam mengislamkan tanah Jawa
telah menjadi catatan yang masyhur dalam kesadaran masyarakat Islam Jawa. Ada
yang menganggap “Wali Songo” lah perintis awal gerakan dakwah Islam di
Indonesia. Karena jika dilihat pada fase sebelumnya, Islamisasi di Nusantara
lebih dilaksanakan oleh orang-perorangan tanpa manajemen organisasi. Tetapi
dalam kasus Wali Sanga ini, aspek manajemen keorganisasian telah mereka
fungsikan. Yakni, mereka dengan sengaja menempatkan diri dalam satu kesatuan
organisasi dakwah yang diatur secara rasional, sistematis, harmonis, tertentu
dan kontinyu serta menggunakan strategi, metode dan fasilitas dakwah yang
betul-betul efektif.
Widji
Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa..” mengisyaratkan bahwa
apabila berita tentang Wali Sanga dikumpulkan dan dipelajari, antara lain dari
serat Wall Sanga dan dari Primbon milik Prof. K.H.R. Moh. Adnan, maka
didapati suatu kesimpulan, bahwa secara keseluruhan -kecuali Syeik Siti Jenar-
Wali Sanga merupakan satu kesatuan organisasi. Yaitu organisasi yang dapat
diidentikkan sebagai panitia ad hoc atau kanayakan (kabinet)
urusan mengislamkan masyarakat Jawa. Dalam hal ini, setiap orang dari mereka
memegang peranan dan bertanggungjawab sebagai ketua bagian, seksi atau nayaka
(menteri) dan sebagainya dalam organisasi dakwah Wali Sanga itu. Dan mereka
sering berkumpul bersama, mengadakan sesuatu, merundingkan berbagai hal yang
berkenaan dengan tugas dan perjuangan mereka. Bukti lain yang menunjukkan Wali
Sanga sebagai kesatuan organisasi, adalah peristiwa pembangunan masjid Demak,
dimana dalam peristiwa itu tercermin sebuah kerjasama dan gotong royong tmtuk
kepentingan dan tujuan yang lama; yaitu untuk kepentingan syiar agama Islam.
Untuk
menunjukkan bahwa lembaga dakwah Wali Sanga bersifat teratur dan kontinyu,
Saudi Berlian dalam menyunting bukunya Widji Saksono, menunjukkan paling tidak
lembaga Wali Sanga telah mengalami empat kali periode sidang penggantian
`pengurus’. Periode I: Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad al-Kubra,
Muhammad al-Maghribi, Malik Israil, Muhammad al-Akbar, Hasanuddin, Aliyuddin
dan Subakir. Periode II: Komposisi kepengurusan dilengkapi oleh Raden
Rahmad Al Rahmatullah (Sunan Ampel) menggantikan Malik Ibrahim yang telah
wafat, Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) menggantikan Malik Israil yang telah wafat,
Syaril Hidayatullah menggantikan Al-Akbar yang telah wafat. Periode III:,
masuk Raden Paku (Sunan Girl) menggantikan Ishaq yang pindah ke Pasai, Raden
Said (Sunan Kalijaga) menggantikan Syeikh Subakir yang kembali ke Persia, Raden
Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) menggantikan Maulana Hasanuddin yang telah Wafat,
Raden Qasim (Sunan Drajat) menggantikan Aliyuddin yang telah wafat. Periode
IV: masuk Raden Hasan (Raden Fatah) dan Fathullah Khan, keduanya
menggantikan Ahmad Jumad al-Kubra dan Muhammad al-Maghribi. Periode V:
masuk Sunan Muria. Tidak dijelaskan tokoh Ini menggantikan siapa, tetapi besar
kemungkinan menggantikan Raden Fatah yang naik tahta sebagai Sultan I Demak
Selanjutnya,
dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa, Wali Sanga telah menggunakan beberapa
strategi dan metode dakwah. Di antaranya adalah dengan memobilisasi semua alat ta’tsir
psikologis yang berupa sensasi, conciliare, sugesti, hipnotis sampai
de cere. Karena sensasi inilah, masyarakat awam dipaksa secara halus
untuk menaruh perhatian kepada para Wali dan mengesampingkan yang lainnya.
Karena conciliare, publik akhirnya mengganggap penting apa saja yang
datang dari para Wall. Karena sugesti, rakyat didorong berbuat sesuatu sehingga
bergerak tanpa banyak tanya. Karena hipnotis, rakyat terpukau akan segala
sesuatu yang bermerk para Wall tanpa banyak selidik dan kritik. Selanjutnya
karma de cere,-para Wali dapat mengendalikan dan mengarahkan awam
sebagai obyek dakwahnya ke mana raja yang mereka kehendaki. Selain strategi
yang bersifat psikilogis, Wali Sanga juga menerapkan strategi (pendekatan)
politis. Ini tercermin dalam langkah-langkah yang diambil terutama oleh Raden
Patah ketika mendirikan Kerajaan Demak (Sofwan, 2000: 258).
Widji
Saksono mencatat, bahwa Wali Sanga meneladani pendekatan Rasulullah SAW. dalam
berdakwah, yaitu Bil Khikmati wal maudzotil khasanati wa jaadilhum billatii
hiya akhsan. Wali Sanga memperlakukan sasaran dakwah, terutama tokoh
khusus, dengan profesional dan istimewa, langsung pribadi bertemu pribadi.
Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (tazkir) tentang
Islam, peringatan-peringatan dengan lemah lembut, bertukar pikiran dari hati ke
hati, penuh toleransi dan pengertian. Metode Ini dapat dilihat pada kasus Sunan
Ampel ketika mengajak Ariya Damar dari Palembang masuk Islam. Juga pada Sunan
Kalijaga ketika mengajak Adipati Pandanarang di Semarang untuk masuk Islam.
Dalam
pendekatan Bil Hikmah, Wall Sanga menggunakannya dengan jalan
kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer, atraktif dan sensasional.
Pendekatan Ini mereka pergunakan terutama dalam menghadapi masyarakat awam.
Dalam rangkaian Ini kita dapati kisah Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekaten-nya.
Atas usul Sunan Kalijaga, maka dibuatlah keramaian Sekaten atau Syahadatain
yang diadakan di Masjid Agung dengan memukul gamelan yang sangat unik, baik
dalam hal langgam dan lagu maupun komposisi instrumental yang telah lazim
selama ini. Begitu juga dakwah Sunan Kudus dengan lembut yang dihias secara
unik dan nVentrik. Apabila kedua pendekatan ini tidak berhasil, barulah mereka
menempuh jalan lain yaitu Al-Mujadalah billati hiya ahsan. Pendekatan
ini terutama diterapkan terhadap tokoh yang secara terus terang menunjukkan
sikap kurang setuju terhadap Islam.
Wali
Sanga juga memakai strategi tarbiyyah al-’ummah, terutama sebagai upaya
pembentukan dan penanaman kader, serta strategi penyebaran juru dakwah ke
berbagai daerah. Sunan Kalijaga misalnya, mengkader Kiai Gede Adipati
Pandanarang (Sunan Tembayat) dan mendidik Ki Cakrajaya dari Purworejo, kemudian
mengirimnya ke Lowanu untuk mengislamkan masyarakat di sana. Sunan Ampel
mengkader Raden Patah kemudian menyuruhnya berhijrah ke hutan Bintara, membuat
perkampungan dan kota baru dan mengimami masyarakat yang baru terbentuk itu.
untuk penyebaran juru dakwah dan pembagian wilayah kerja Wali Sanga,
digambarkan oleh Mansur Suryanegara, mempunyai dasar pertimbangan geostrategis
yang mapan sekali. Pembagian itu memakai rasio 5 : 3: 1.
Jawa
Timur mendapat perhatian besar dari para Wali. Di sini ditempatkan 5 Wall
dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai
Wali perintis, mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah wafat, wilayah
ini diambil alih oleh Sunan Girl. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di
Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di
Sedayu. Berkumpulnya kelima Wali di Jawa Timur adalah karna kekuasaan politik
saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri di Kediri dan Majapahit di
Mojokerto.
Di
Jawa Tengah, para Wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria. Sasaran
dakwah para Wali di Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang di Jawa Timur. Di
Jawa Tengah, dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan Hindu dan Budha sudah tidak
berperan, tetapi realitas masyarakatnya masih banyak dipengaruhi oleh budaya
Hindu dan Budha. Sehingga dalam berdakwah, Wali Sanga di Jawa Tengah ini banyak
menggunakan instrumen budaya lokal, seperti wayang, gong gamelan dan lain-lain,
untuk dimodifikasi sesuai dengan ajaran Islam. Saat berlangsung aktivitas
ketiga Wali tersebut, pusat kekuasaan politik dan ekonomi beralih ke Jawa
Tengah, ditandai dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit dan munculnya Kerajaan
Demak, yang disusul kemudian dengan lahirnya Kerajaan Pajang dan Mataram II. Perubahan
kondisi politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti
geostrategis yang menentukan.
Sedangkan
di Jawa Barat, proses islamisasinya hanya ditangani oleh seorang Wali, yaitu
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan pertimbangan saat itu
penyebaran ajaran Islam di Indonesia Barat, terutama di Sumatera dapat
dikatakan telah merata bila dibandingkan dengan kondisi Indonesia Timur. Adapun
pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, hal
itu tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan jalan perdagangan rempah-rempah
sebagai komoditi yang berasal dari Indonesia Timur. Dan Cirebon
merupakan merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa Tengah, Indonesia
Timur dan Indonesia Barat. Oleh karna itu, pemilihan Cirebon dengan
pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, mempunyai nilai geostrategis,
geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan Islam selanjutnya.
Demikianlah
beberapa strategi dan pendekatan yang dipakai oleh Wali Sanga dalam menyebarkan
Islam di tanah Jawa. Dan apabila dikaji lebih mendalam, maka akan didapati
beberapa bentuk metode dakwah Wali Sanga, di antaranya: Pertama, melalui
perkawinan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi di antaranya bahwa Raden Rahmad
(Sunan Ampel ) dalam rangka memperkuat dan memperluas dakwahnya, salah satunya,
dengan menjalin hubungan geneologis. Beliau menekankan putrinya, Dewi
Murthosiah dengan Raden Ainul Yakin dari Giri. Dewi Murthosimah dengan Raden
Patah. Alawiyah dengan Syarif Hidayatullah. Dan putrinya yang lain, Siti
Sarifah dengan Usman Haji dari Ngudung.
Kedua, dengan
mengembangkan pendidikan pesantren. Langkah persuasif dan edukatif ini
mula-mula dipraktekkan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, kemudian
dikembangkan dan mencapai kemajuannya oleh Sunan Ampel di desa Ampel Denta,
Surabaya.
Ketiga, mengembangkan
kebudayaan Jawa dengan memberi muatan nilai-nilai keislaman, bukan saja pada
pendidikan dan pengajaran tetapi juga meluas pada bidang hiburan, tata sibuk,
kesenian dan aspek-aspek lainnya. Seperti Wayang, Sekatenan, Falasafah wluku
lan pacul Sunan Kalijaga.
Keempat, metode dakwah melalui sarana prasarana yang berkaitan dengan
masalah perekonomian rakyat. Seperti tampilnya Sunan Majagung sebagai nayaka
(mentri) unison ini. Beliau memikirkan masalah halal-haram, masak-memasak,
makan-makanan dan lain-lain. Untuk efesiensi kerja, beliau berijtihad dengan
menyempurnakan alat-alat pertanian, perabot dapur, barang pecah-belah. Begun
juga Sunan Drajat tampil dengan menyempurnakan alat transportasi dan bangun
perumahan.
Kelima, dengan
sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan Girl tampil sebagai ahli
negara Wali Sanga, yang menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman
tata cara keraton. Begitu juga Sunan Kudus yang ahli dalam perundang-undangan,
pengadilan dan mahkamah. Sebagai penutup untuk pembahasan tentang islamisasi
Jawa oleh Wali Sanga, setidaknya ada dua faktor elementer yang menopang
keunggulan don keistimewaan dakwah para Wali. Pertama, inklusivitas para
Wali dalam melihat ajaran Islam. Kedua, potensi dan keunggulan vang
dimiliki oleh para Wali. -Mereka telah membuktikan diri sebagai mujtahid yang
memahami Islam tidak saja sebagai teori abstrak, tetapi juga sebagai realitas
historic kemanusiaan.
Metode-metode tersebut sejalan dengan Firman Allah SWT :“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl : 125).
sumber: http://obedjustin.blogspot.co.id/2013/01/metode-dakwah-wali-songo.html