Berkreasi dalam seni rupa

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembelajaran seni rupa, Viktor Lowenfeld dalam bukunya Creative and Mental Growth, menyimpulkan adanya the visual type dan the haptic type dalam karya para peserta didik. Maka konsep dan praksis pendidikan formal di sekolah menengah atas berusaha mengembangkan kedua tipe tersebut secara konsekuen.

1. Pengembangan Tipe Visual
Pengertian lukisan tipe visual adalah titik tolak penghayatan peserta didik lebih banyak berdasarkan pengamatan atas bentuk alam sekitar. Sehingga faktor eksternal relatif lebih berperan ketika mereka melukis. Ciri-ciri dan corak lukisan mereka mengarah kepada seni lukis realisme atau naturalisme.
Adalah tugas pendidik untuk mengembangkan kemampuan melukis dengan tipe visual ini. Kepada peserta didik diberikan metode pendidikan teori imitative, penguasaan ketrampilan meniru rupa objek lukisan dengan hukum-hukum optik, jadi guru perlu memberikan pengetahuan proporsi, anatomi, perspektif, teori warna, dan permasalahan ketrampilan sebagai bekal yang perlu dipahami peserta didik dalam proses pembelajaran seni lukis.
Antara lain memperlihatkan ilusi ruang, menghadirkan perspektif, memperlihatkan plastisitas gerak objek, proporsi visual, dan penggunaan warna sebagai terjemahan warna objek yang menjadi tema lukisannya.

2. Pengembangan Tipe Haptic
Pengertian lukisan tipe haptic adalah titik tolak penghayatan peserta didik lebih banyak berdasarkan gagasan pribadinya. Sehingga faktor internal lebih banyak berperan. Hal ini terbukti dari karakteristik lukisannya yang lebih dominan sebagai ekspresi perasaan subjektif yang mengarah kepada corak non realistis.
Tidak berupaya menghadirkan ilusi ruang secara optis, tidak perspektivis, gubahan gerak dan proporsi figur ekspresif, penggunaan warna tidak sebagai terjemahan warna objek, melainkan lebih banyak sebagai simbol yang sesuai dengan perasaan subjektifnya. Sama seperti tipe visual, maka tugas guru pula untuk mengembangkan tipe haptic ini.
Termasuk mengembangkan kemampuan melukis peserta didik yang berada di antara kedua titik optimal tipe-tipe tersebut, yang disebut tipe campuran. Jadi sebelum memberikan penilaian karya-karya peserta didik sebaiknya di klasifikasi terlebih dahulu (kelompok tipe visual, dan kelompok tipe haptic).

Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa penilaian karya-karya yang sifatnya haptic tidak bisa dinilai dengan kriteria visual, melainkan dengan kriteria haptic pula. Biasanya hal-hal ini jarang dilaksanakan oleh guru-guru seni rupa, sehingga kerap kali peserta didik yang termasuk tipe haptic dengan sendirinya dirugikan, karena mendapatkan penilaian yang tidak proporsional dari guru seni budaya atau seni rupa.
Jadi dalam pemberian tugas kepada peserta didik, guru memberikan kebebasan mencipta sesuai potensi peserta didik. Pemberian tema berkarya bisa sama, tetapi gaya berekspresi dibebaskan, sehingga setiap peserta didik berkarya sesuai dengan potensi dan kesenangannya.
Dengan proses belajar seperti ini, akan menghasilkan karya-karya peserta didik yang beragam, seperti misalnya, naturalis, realis, dekoratif, impresionis, ekspresionis, organik, liris, dan lain-lain. Bila keberagaman karya peserta didik telah terealisasi sebagai hasil proses pembelajaran, maka kriteria penilaian harus mengacu pada kriteria penilaian tipe visual dan tipe haptik.