Istinbath, pengambilan hukum imam hanafi

Sistem Istinbath Imam Abu Hanifah
Biografi imam Hanafi
a. Awal kehidupan
Abu Hanifah merupakan imam pertama dari keempat imam dan yang paling dahulu lahir juga wafatnya, ia mampu memeperoleh kedudukan yang terhormat dalam masyarakat yang menghimpun factor-faktor positif dan factor-faktor negative, sehingga tidak heran ia di juluki Imam A’zham (pemimpin terbesar), ia juga dikenal sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ra’y (Imam Aliran Rasional)
Beliau dilahirkan di kota Kuffah, pada tahun 80 H (699 M), beliau benama asli Nu’mam bin Tsabit Bin Zhauth Bin Mah, ayah beliau keturunan bangsa persi ( Kabul Afganistan) yang menetap di Kuffah, tsabit bapak dari abu hanifah lahir sebagai seorang muslim dan diriwayatkan dia berasal dari bangsa anbar. Adapula ia mukim di tirtmidz, ada lagi yang mengatakan ia bermukim di Nisa, bisa jadi ia bermukim di tiap-tiap kota itu sementara waktu. Ia adaalah seorang pedagang yang kaya dan taat beragama, sebagai mana ia pernah berttemu dengan ali bin Abi Thalib, lalu sang imam mendoakan dan keturunananya dengan kebaikan dan keberkahan.
b. Pendidikan Imam abu Hanifah
pada masa abu hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad dan Abu Thufail, mereka adalah sahabat-sahabta yang paling akhir wafat, namun abu Hanifah tidak Berguru kepada mereka. Mengapa tidak berguru kepada mereka?, mungkin diantara mereka ada yang sudah wafat sedang abu hanifah masih kecil, seperti Abdullah bin Aufa yang meninggal pada tahun 87 hijriyah sehinggga umur abu hanifah pada waktu itu baru 7 tahun, dan seperti abu Sahl bin Sa’ad yang wafat tahun 88 atau 91 hijriyah dan umur Imam Hanafi baru berumur 11 tahun. Sementara Anas bin Malik wafat pada tahun 90 atau 92 atau 95 hijriyah dank ala itu abu Hanifah berumur 15 tahun dan belum mulai mencari ilmu, ketika itu beliau masih berdagang.
Sampai akhir hayatnya, Imam Abu Hanifah belum mengkodifikasikan metode penetapan hukum yang digunakannya, meskipun secara praktis dan aplikatif telah diterapkannya dalam menyelesaikan beberapa persoalan hukum. Thaha Jabir Fayadl al-‘Ulwani, sebagaimana yang dikutip oleh Jaih Mubarok, membagi cara ijtihad Imam Abu Hanifah menjadi dua cara: cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri, yaitu:
ﺍﻧﻰ ﺁﺧﺬ ﺑﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﺫﺍ ﻭﺟﺪﺗﻪ، ﻓﻤﺎ ﻟﻢ ﺍﺟﺪﻩ ﻓﻴﻪ ﺍﺧﺬﺕ ﺑﺴﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻵﺛﺎﺭ ﺍﻟﺼﺤﺎﺡ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﺘﻰ ﻓﺸﺖ ﻓﻲ ﺍﻳﺪﻯ ﺍﻟﺜﻘﺎﺕ . ﻓﺎﺫﺍ ﻟﻢ ﺍﺟﺪ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻭ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﺧﺬﺕ ﺑﻘﻮﻝ ﺍﺻﺤﺎﺑﻪ ﺍﺧﺬﺕ ﺑﻘﻮﻝ ﻣﺎ ﺷﺌﺖ ﺛﻢ ﻻ ﺍﺧﺮﺝ ﻋﻦ ﻗﻮﻟﻬﻢ ﺍﻟﻰ ﻗﻮﻝ ﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻓﺎﺫﺍ ﺍﻧﺘﻬﻰ ﺍﻻﻣﺮ ﺍﻟﻰ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﻭﺍﻟﺸﻌﺒﻲ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﺴﻴﺐ ‏( ﻋﺪﺩ ﺭﺟﺎﻻ ‏) ﻓﺎﺟﺘﻬﺪ ﻛﻤﺎ ﺍﺟﺘﻬﺪﻭﺍ …
“sesungguhnya aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Qur’an apabila aku mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Qur’an, aku merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Apabila aku tidak mendapatkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, Al-Sya’bi dan ibnu Al-Musayyab, serta yang lainnya, aku berijtihad sebagai mana mereka berijtihad.”
Sahal ibn Muzahim, sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, menerangkan bahwa dasar-dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah dalam menegakkan fiqih adalah: “Abu Hanifah memegangi riwayat orang yang terpercaya dan menjauhkan diri dari keburukan serta memperhatikan muamalat manusia dan adat serta ‘uruf mereka itu. Beliau memegang Qiyas. Kalau tidak baik dalam satu-satu masalah didasarkan kepada Qiyas, beliau memegangi istihsan selama yang demikian itu dapat dilakukan. Kalau tidak, beliau berpegang kepada adat dan ‘uruf. Ringkasnya, dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah, ialah:
a. Al-Qur’an
b. Sunnah Rasulullah SAW (hadits) dan atsar-atsar yang shahih yang telah masyhur di antara para ulama.
c. Fatwa-fatwa para sahabat
d. Qiyas.
e. Istihsan.
f. Adat dan ‘uruf masyarakat.
Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya. Ia selalu mengatakan, “Inilah pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.” Pernah ada orang yang berkata kepadanya, “Apakah yang engkau fatwakan itu benar, tidak diragukan lagi?”. Ia menjawab, “Demi Allah, boleh jadi ia adalah fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi”.
Dari keterangan di atas, tampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau menetapkan hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath’iy dari Al-Qur’an atau dari hadits yang diragukan keshahihannya, ia selalu menggunakan ra’yu. Ia sangat selektif dalam menerima hadits. Imam Abu Hanifah memperhatikan muamalat manusia, adat istiadat serta ‘urf mereka. Beliau berpegang kepada Qiyas dam apabila tidak bisa ditetapkan berdasarkan Qiyas, beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak, maka beliau berpegang kepada adat dan ‘urf. Dalam menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulullah SAW yang banyak mengetahui hadits. Di Kufah kurang perbendaharaan hadits. Di samping itu, kufah sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan Persia, kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya. Karena problema itu belum pernah terjadi di zaman Nabi, atau zaman sahabat dan tabi’in, maka untuk menghadapinya memerlukan ijtihad atau ra’yu. Di Kufah, sunnah hanya sedikit yang diketahui di samping banyak terjadi pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadits, dan karena itu maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual, beliau banyak menggunakan ra’yu. Sedangkan cara ijtihad Imam Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
a. Bahwa dilalah lafaz umum (‘am) adalah qath’iy, seperti lafaz khash
b. Bahwa pendapat sahabat yang “tidak sejalan” dengan pendapat umum adalah bersifat khusus
c. Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
d. Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan shifat
e. Bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya
f. Mendahulukan Qiyas Jali atas khabar ahad yang dipertentangkan
g. Menggunakan istihsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.

Sumber : https://siswady.wordpress.com/makalah/sistem-istinbath-hukum-empat-imam-mazhab/