TAHAMMUL DAN ADA’ HADITS

Dosen Pembimbing: DR. KH. Fudhaili, MA
Dipresentasikan pada Mata Kuliyah Ulumul Hadits, Pasca Sarjana IIQ tahun 2012/2013 M.
http://abdurobbihi.blogspot.co.id/2013/01/tahammul-dan-ada-dalam-ilmu-hadist.html

TAHAMMUL DAN ADA’ HADITS

BAB 1: Pendahuluan

                Umat Islam sepakat bahwa Hadits menjadi sumber hukum Islam setelah al-Qur’an. Maka dari itu, umat Islam secara intensif mempelajari Hadits Nabi berikut ilmu-ilmu pendukungnya. Jika dalam al-Qur’an, Allah ta’ala telah menjamin kemurniannya secara pribadi, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Hijr: 9;

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya

Berbeda dengan al-Hadits. Meskipun apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad pasti datang dari wahyu Allah subhanahu wata’ala, sebagaiamana disebut dalam Surat an-Najm: 3-6;

Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.  ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Tetapi dalam perjalanannya, suatu hadits telah melalui jalan yang butuh untuk diteliti kebenarannya sehingga bisa diambil dalam menetapkan suatu hukum atau tidak.

Syarat pertama hadits itu dikatakan shahih, sebagaimana disebutkan oleh para Ulama’ Muhadditsin adalah tersambungnya suatu sanad/jalan suatu hadits[1]. Salah satu cara pembuktian tersambungnya sanad adalah dengan mengetahui metode berpindahnya suatu hadits dari satu rawi ke rawi lain. Dalam Ilmu Musthalah hadits, ilmu ini lebih dikenal dengan nama “Thuruq at-Tahammul wa Ada al-hadits”.

                Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), beliau meriwayatkan sebuah hadits marfu’ bahwa Nabi Muhammad bersabda:

حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تَسْمَعُونَ، وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ، وَيُسْمَعُ مِمَّنْ يَسْمَعُ مِنْكُم"

                Kalian mendengarkan dan didengarkan dari kalian dan didengar dari orang yang mendengar dari kalian” (HR.Ahmad)[2]. Syuaib al-Arnauth dalam tahqiqnya menyatakan hadits ini shahih.

                Pada makalah kali ini, penulis akan membahas pengertian tahammul dan ada’, kelayakan seorang perawi dalam menerima dan menyampaikan kembali suatu hadits, metode-metode berpindahnya hadits dari rawi satu ke rawi setelahnya, serta lafadz-lafadz yang digunakan oleh para rawi dalam menyampaikan kembali haditsnya.

                Telah banyak Ulama’ yang menuliskan tema ini, tetapi penulis menemukan satu kitab yang cukup komprehensif membahas tema ini. Kitab ini dikarang oleh Al-Qadhi Iyadh Abu al-Fadhl Iyadh bin Amrun bin Musa bin Iyadh as-Sibti al-Yahshafi (w. 544 H), yang berjudul al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’.

BAB 2: Pembahasan

1. Pengertian Tahammul dan Ada’ Hadits

                Secara etimologi kata tahammul berasal dari kata ( mashdar): تَحَمَّلَ يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً  yang berarti menanggung, membawa[3], atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Secara terminologi tahammul adalah mengambil hadits dari seorang guru dengan cara-cara tertentu[4].

                Sedangkan pengertian ada’, menurut etimologi adalah diambil dari kata اَدَى- يُؤْدِى- اَدَاءٌ  yang berarti menyampaikan sesuatu kepada orang yang dikirim kepadanya[5]. Adapun pengertiannya secara terminologi adalah sebuah proses meriwayatkan hadits dari seorang guru kepada muridnya[6], atau bisa diartikan dengan meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid.

                Ulama’ Hadits sejak dahulu telah menjelaskan bagaimana hadits itu didapat seorang rawi dari gurunya, syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh orang yang mendengar hadits dan menyampaikannya kembali, serta shighat/lafadz yang digunakan dalam menyampaikan hadits.

                Hal ini tidak lain untuk memastikan tersambungnya hadits sampai kepada Nabi Muhammad shallaAllah alihi wa sallam, sehingga akan hilang keraguan dalam diri dan yakin bahwa suatu hadits benar-benar datang dari Nabi. Hal itu menunjukkan bahwa begitu telitinya Ulama’ Hadits dalam menyeleksi kebenaran datangnya suatu hadits.

2. Kelayakan Seorang Perawi

                Yang dimaksud dengan kelayakan seorang rawi adalah kepatutan seseorang untuk mendengar dan menerima hadits serta kelayakannya dalam menyampaikan kembali hadits itu.

Kelayakan seorang perawi terbagi kedalam dua bentuk, yaitu kelayakan tahammul dan kelayakan ada’.

Riwayat Tahammul Anak-Anak yang belum Baligh dan Orang Kafir

Dalam tahammul hadits, tidak disyaratkan seorang rawi itu harus baligh dan muslim, menurut pendapat yang shahih[7]. Sebagaimana dijelaskan as-Suyuthi (w.911 H) dalam Tadrib ar-Rawi[8].

Berbeda dalam ada’, maka  disyaratkan sudah baligh dan muslim. Maksudnya riwayat seseorang itu diterima meskipun saat mendengar hadits itu, seorang tersebut masih dalam keadaan kafir maupun masih belum baligh. Belum baligh disini disyaratkan sudah tamyiz, sebagaimana jika ia sudah bisa membedakan kambing dan keledai[9].

Meskipun ada pula yang mengatakan bahwa riwayat hadits seseorang tidaklah diterima jika waktu memperoleh haditsnya saat belum baligh. Tetapi pendapat ini tidaklah benar. Karena para Ulama’ telah menerima riwayat shahabat padahal saat menerima hadits, mereka belum baligh[10]. Sebagaimana riwayat Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Said bin Yazid dan lainnya.

Al-Kathib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya al-Kifayah telah menjelaskan secara luas, tentang diterima riwayat seseorang yang mendengar hadits saat belum baligh.

Hasan bin Ali bin Abi Thalib telah meriwayatkan hadits dari Nabi, padahal beliau lahir tahun 2 Hijiriyyah[11]. Maslamah bin Mukhallad meriwayatkan hadits dari Nabi. Saat Nabi wafat, maslamah baru berusia 14 tahun.

Salah satu contoh hadits yang diriwayatkan Hasan bin Ali bin Abi Thalib saat masih kecil adalah sebuah hadits yang diriwayatkan al-Khathib al-Baghdadi dengan sanadnya:

أخبرنا أبو سعيد محمد بن موسى بن الفضل بن شاذان الصيرفي ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب الأصم ثنا الحسن بن مكرم ثنا عثمان بن عمر انا ثابت بن عمارة عن ربيعة بن شيبان قال قلت للحسن بن على ما تذكر من رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: حملنى على عنقه فأدخلنى غرفة للصدقة فأخذت تمرة فجعلتها في في فقال ألقها أما علمت انا لا تحل لنا الصدقة

Adapun contoh hadits yang didapatkan rawi saat masih kafir adalah hadits Jabir bin Muth’im[12]:

حديث جبير بن مطعم المتفق عليه أنه سمع النبي صلى الله عليه و سلم يقرأ في المغرب بالطور. وكان جاء في فداء اسرى بدر قبل أن يسلم. وفي رواية للبخاري وذلك أول ما وقر الإيمان في قلبي.


 Sanad
Rawi
Shighat Ada’
1
الخطيب البغدادي
أخبرنا
2
أبو سعيد محمد بن موسى بن الفضل الصيرفي
ثنا
3
أبو العباس محمد بن يعقوب الأصم
ثنا
4
الحسن بن مكرم
ثنا
5
عثمان بن عمر
أنا
6
ثابت بن عمارة
عن
7
ربيعة بن شيبان
قال
8
الحسن بن على
Matan hadits
حملنى على عنقه فأدخلنى غرفة للصدقة فأخذت تمرة فجعلتها في في فقال ألقها أما علمت انا لا تحل لنا الصدقة
Tabel 1: Contoh shighat Ada’ hadits

Apakah ada batas umur tertentu dalam menerima hadits? Sebagian Ulama’ mensyaratkan batas minimal usia 5 tahun. Ada pula yang tidak membatasinya. Batasnya adalah jika sudah tamyiz, sudah paham jika diajak bicara, bisa menjawab jika ditanya, dan bagus pendengarannya[13].

Selain kelayakan tahammul, sebagaimana disebutkan diatas  yaitu kelayakan ada’. Kelayakan ada’ seseorang agar diterima riwayatnya yaitu sebagaimana syarat hadits maqbul (shahih/hasan); yaitu muslim yang baligh, ‘adil dan dhabith[14]. Untuk keterangan lebih detail, bisa merujuk kepada tema syarat-syarat rawi.

3. Metode-metode Tahammul dan Shighat Ada’ Hadits

                Pada umumnya Ulama membagi metode penerimaan riwayat hadits menjadi delapan macam, yaitu: 
1.       as-sama’ min lafdz as-syaikh: pembacaan oleh guru kepada murid
2.       al-qira’ah ‘ala as-syaikh: pembacaan oleh murid kepada guru
3.       al-ijazah: mengijinkan seseorang untuk menyampaikan sebuah hadits atau kitab
4.       al-munawalah: menyerahkan kepada seseorang bahan tertulis untuk diriwayatkan
5.       al-kitabah: menuliskan hadits kepada seseorang
6.       al-i’lam: seorang guru mengabarkan kepada muridnya bahwa ia mendengar suatu hadits
7.       al-washiyyah: mewasiatkan suatu kitab kepada orang lain tentang hadits yang telah diriwayatkannya 
8.      al-wijadah: menemukan suatu tulisan dari seseorang yang di dalamnya terdapat hadits [15].
                Dari kedelapan metode itu, dalam periode shahabat hanya yang pertama saja yang digunakan secara umum[16]. Para murid berada di sisi guru, melayaninya dan belajar darinya. Tak lama kemudian, metode yang paling umum digunakan adalah metode satu dan dua.
                Berikut lebih lanjut penjelasannya:

1.       Sama’ lafdzi as-Syaikh

Bentuk: Seorang guru membacakan hadits, sedangkan murid mendengarkannya. Baik guru itu membaca dari kitab ataupun dari hafalannya, baik murid hanya mendengarkan atau mencatatnya juga[17].

Tingkatan: Metode tahammul ini merupakan tingakat pertama dalam urutan tahammul hadits. Inilah pendapat Jumhur Ulama’[18].

Shighat Ada’: Sedangkan shighat yang digunakan dalam menyampaikan sebuah hadits yang didapatkan dengan metode ini adalah:

§  Sebelum adanya pengkhususan shighat dari masing-masing metode tahammul, lafadz yang digunakan adalah[19]:

حدثني، أخبرني، أنبأني، سمعت فلانا يقول، قال لي فلان، ذكر لي فلان

§  Setelah terjadi pengkhususan istilah shighat tahammul, maka biasanya:
1. Sama’: biasanya menggunakan (سمعت ) dan ( حدثني)
2. al-Qira’ah: biasanya menggunakan (أخبرني)
3. Ijazah: biasanya menggunakan (أنبأني)
4. Sama’ al-Mudzakarah: Sama’ al-Mudzakarah berbeda dengan sama’ at-tahdits. Jika sama’ at-tahdits maka antara guru dan murid sudah mempersiapkan diri sebelumnya. Sedangkan dalam sama’ al-mudzakarah tidak ada persiapan sebelumnya. Biasanya menggunakan (قال لي ) atau ( ذكر لي) [20].
                Biasanya untuk meringkas tulisan, para Ulama’ hanya menuliskan (ثنا) untuk (حدثنا), dan (أنا) untuk (أخبرنا)[21].

2.      al-Qira’ah ‘ala as-Syeikh/’ardhun (العرض)

Bentuk: Seorang murid membaca hadits dan guru mendengarkannya. Baik seorang murid itu membacanya sendiri atau orang lain yang membaca dan dia mendengarkan, baik membacanya dari tulisan ataupun dari hafalan. Begitu juga guru itu mengikuti bacaan murid dari hafalannya atau dia memegang sebuah kitab atau orang lain yang tsiqah[22].

Hukum Riwayat: Meriwayatkan hadits dengan metode ini adalah shahih dan bisa diterima.

Tingkatan: Ulama’ berbeda pendapat tentang tingkatan metode ini dalam tiga pendapat:

1. Sama dengan as-Sama’ (metode pertama). Ini pendapat Malik, al-Bukhari, Yahya bin Said al-Qahthan, Ibnu Uyainah, az-Zuhri, kebanyakan Ulama’ Hijaz dan Kufah[23].
2. Di bawah as-Sama’, Ini adalah pendapat Jumhur Khurasan, as-Syafi’i, Muslim bin Hajjaj, Yahya bin Yahya at-Tamimi. Ini adalah pendapat yang shahih[24].
3. Lebih tinggi daripada as-Sama’. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, dan salah satu pendapat Malik.

Imam Malik memberikan alasan bahwa, jika saja seorang guru salah atau lupa dalam menyampaikan suatu hadits, maka murid tidak bisa membetulkannya. Ada kalanya memang murid tersebut belum mengetahui haditsnya, atau karena keagungan gurunya, jadi murid enggan untuk mengoreksi.

                Berbeda jika murid membacakan hadits di depan gurunya, maka gurunya akan bisa tahu jika murid lupa atau salah dalam membaca hadits[25].

Shighat Ada’:
1. Yang lebih hati-hati: (قرأت على فلان) atau (قرئ عليه وأنا أسمع فأقرَّ به)
2. Boleh saja dengan shighat: (حدثنا قراءة عليه)
3. Adapun yang banyak dipakai Muhadditsin adalah: (أخبرنا)
Ulama’ tidak membolehkan mengganti shighat (أخبرنا) dengan (حدثنا) atau sebaliknya dalam kitab-kitab  yang sudah ditulis[26].

Nampaknya, metode ‘ardh ini merupakan praktik yang paling umum sejak awal abad kedua[27]. Dalam praktik ini, salinan-salinan diberikan oleh guru sendiri, karena banyak dari mereka memiliki juru tulis (katib atau warraq) sendiri, atau merupakan milik murid yang menyalinnya lebih dahulu dari kitab asli.

3.      al-Ijazah

Arti kata Ijazah dalam terminologi hadits adalah memberikan izin, baik dalam tulisan maupun hanya lafadz saja kepada seseorang untuk menyampaikan hadits atau kitab berdasarkan otoritas Ulama’ yang memberikan izin.
Ijazah ini bisa dengan musyafahah antara guru dan murid, atau pemberian izin dari guru dalam bentuk tulisan, baik murid ada atau tidak ada di depan guru[28].

Bentuk: Seorang guru berkata kepada muridnya, (أَجَزْتُ لك أن تروي عني صحيح البخاري), saya memberi ijin untukmu meriwayatkan dariku kitab Shahih Bukhari.

Macam-Macam Ijazah dan Hukumnya:
                Ada beberapa macam Ijazah, tapi Ijazah yang diterima riwayatnya dan dipakai oleh Kebanyakan Ulama’ adalah jika Ijazah itu dari seorang guru kepada murid yang tertentu atas sesuatu yang tertentu pula. Misalnya: Saya mengijazahkan kepadamu kitab Shahih Bukhari.
                Menurut imam Malik dan beberapa Ulama’, Ijazah seperti ini derajatnya sama dengan as-Sama’[29]. Disebutkan dalam kitab al-Ilma’[30] oleh al-Qadhi Iyadz (w. 544 H), sebuah riwayat sampai kepada Imam Malik bin Anas:

أخبرنا أبو طاهر الأصبهاني مكاتبة قال حدثنى أبو الحسين الطيورى أخبرنا أبو الحسن الفالى أخبرنا ابن خربان أخبرنا ابن خلاد أخبرنا أبو جعفر أحمد بن إسحاق بن بهلول أخبرنا إسماعيل بن إسحاق سمعت إسماعيل بن أبى أويس يقول سألت مالكا عن أصح السماع فقال قراءتك على العالم أو قال المحدث ثم قراءة المحدث عليك ثم أن يدفع إليك كتابه فيقول أرو عنى هذا.
               
Adapun Ijazah yang lain, misalnya Ijazah kepada orang yang tak tertentu, atau atas sesuatu yang tidak tertentu pula, misalnya: Seorang guru berkata, Aku mengijazahkan hafalanku, aku mengijazahkan kepada semua orang yang hidup di zamanku, maka para Ulama’ tidak mengambil riwayat dari hal tersebut. Meskipun ada pula yang membolehkan mengambil riwayat dari Ijazah seperti itu, tetapi pendapat ini adalah pendapat yang lemah.
Shighat Ada’:
1.  Yang lebih baik adalah menggunakan lafadz: (أجاز لي فلان)
2. Boleh juga menggunakan lafadz: (حدثنا إجازة) dan (أخبرنا إجازة)
3. Para Muhaddits banyak yang memakai lafadz: (أنبأنا)

4.      al-Munawalah

al-Munawalah disini maksudnya adalah menyerahkan kepada seseorang bahan tertulis untuk diriwayatkan.
Bentuk: al-Munawalah terbagi menjadi dua:
1. al-Munawalah disertai dengan Ijazah.
Inilah bentuk Ijazah tertinggi, dimana seorang guru memberikan kitab kepada muridnya disertai izin untuk meriwayatkannya. Sebagaimana guru berkata kepada muridnya, Kitab ini saya meriwayatkannya dari guru saya, maka sekarang riawayatkanlah dari saya. Setelah itu, kitab menjadi milik murid atau guru hanya meminjamkan saja kitabnya untuk disalin[31].
2. al-Munawalah tidak disertai dengan ijazah.
                Bentuknya adalah seorang guru memberikan kitab kepada muridnya. Hukum meriwayatkan hadits dengan al-Munawalah yang tidak disertai ijazah ini adalah tidak diterima, menurut pendapat yang shahih. Sedangkan al-munawalah yang disertai ijazah adalah diterima, dia berada dibawah as-Sama’ dan al-Qira’ah ala as-Syeikh.
Shighat ada’:
1.       Lebih baik menggunakan lafadz: (ناولني),  jika munawalah disertai dengan ijazah, maka dengan lafadz (ناولني وأجاز لي).
2.       Boleh juga dengan lafadz: (حدثنا مناولة), (أخبرنا مناولة وإجازة).

5.      al-Kitabah

Yang dimaksud dengan al-kitabah di sini adalah aktivitas seorang guru menuliskan hadits, baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain[32].
Macam al-kitabah ini oleh para Ulama’ hadits dibagi menjadi dua, sebagaimana dalam al-Munawalah:
1. Disertai dengan pemberian Ijazah. Sebagaimana perkataan seorang guru kepada muridnya: Saya ijazahkan kepadamu hadits yang telah aku tuliskan kepadamu[33].
2. Tidak disertai pemberian ijazah. Sebagaimana seorang guru menuliskan hadits kepada seseorang tetapi tidak disertai ijazah untuk meriwayatkannya.

                Mengenai hukum meriwayatkan hadits metode ini, jika disertai ijazah, maka diterima sebagaiamana seperti al-munawalah yang disertai ijazah, karena pada prinsipnya hampir sama antara al-kitabah dan al-munawalah[34]. Sedangkan jika tidak disertai ijazah, maka sebagian Ulama’ tidak memperbolehkan meriwayatkannya, seperti al-Qadhi Abu al-Mawardi as-Syafi’i (w. 450 H) dalam kitabnya al-Hawi dan al-Amidi (w. 631 H).

Sedangkan sebagian Ulama’ ada membolehkan meriwayatkan hadits dari al-kitabah, meskipun tidak disertai ijazah. Karena ada tanda-tanda yang bisa diketahui dari al-kitabah bahwa orang yang memberikan tulisannya kepada orang lain, artinya boleh untuk diriwayatkan. Ini pendapat yang shahih, sebagaimana diungkap oleh Dr. Mahmud at-Thahhan[35]. Sebelumnya, Al-Qadhi Iyadh al-Yahshafi (w. 544 H), dalam kitabnya al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, juga menyatakan kebolehan riwayat dengan metode ini[36].

Karena sejatinya tulisan kepada seseorang adalah berbicaranya seseorang kepada orang lain, tetapi dengan media yang berbeda.

Bahkan Al-Qadhi Iyadh al-Yahshafi (w. 544 H) menceritakan sebuah perdebatan antara Imam Syafi’i (w. 204 H) dengan Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), yang disaksikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H); terkait al-kitabah:

حدثنا أحمد بن محمد الحافظ من كتابه قال أخبرنا أبو الحسين الصيرفى أخبرنا أبو الحسن الفالى أخبرنا أبو عبد الله بن خربان أخبرنا القاضى أبو محمد بن خلاد أخبرنا الساجى أخبرنا جماعة من أصحابنا، أن الشافعى ناظر إسحاق بن راهوية وابن حنبل حاضر في جلود الميتة إذا دبغت. فقال الشافعى: "دباغها طهورها"، واستدل بحديث ميمونة: "هلا انتفعتم بإهابها". فقال إسحاق: "حديث ابن عكيم كتب إلينا النبى صلى الله عليه و سلم لا تنتفعوا من الميتة بإهاب ولا عصب أشبه أن يكون ناسخا لحديث ميمونة لأنه قبل موته بشهر".
فقال الشافعى: "هذا كتاب وذاك سماع". فقال إسحاق: "كتب النبى صلى الله عليه و سلم إلى كسرى وقيصر، وكان حجة عليهم". فسكت الشافعى.

                Suatu ketika Imam Syafi’i (w. 204 H) berdebat dengan Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) tentang pemanfaatan kulit bangkai. Imam Syafi’I berkata bahwa kulit bangkai bisa dimanfaatkan jika sudah di-dibagh atau samak. Beliau berdalil dengan hadits dari Maimunah. Sedangkan Ishaq bin Rahawaih membantahnya dengan sebuah hadits yang didapat dari Ibnu Akim, bahwa Nabi Muhammad shallAllah alaihi wa sallam pernah menulis tulisan kepada Ibnu Akim untuk tidak memanfaatkan kulit bangkai meskipun sudah disamak.

Apakah untuk memastikan tulisan seorang guru itu dibutuhkan sebuah bukti?
Sebagaimana kita ketahui zaman dahulu belum ada mesin tik atau komputer, artinya semua tulisan dikerjakan dengan tangan. Sebagian Ulama’ mewajibakan adanya bukti atas sebuah tulisan. Adapun sebagian Ulama’ yang lain menyatakan bahwa bukti itu cukup dari pengetahuan dari orang yang mendapatkan tulisan; bahwa tulisan itu asli hasil dari gurunya. Karena tulisan tangan itu berbeda dari satu orang dengan orang lain. Pendapat kedua ini adalah pendapat yang shahih menurut Dr. Mahmud at-Thahhan[37].

Shighat Ada’:
1. Menggunakan lafadz: (كتب إلي فلان)
2. Boleh juga menggunakan lafadz: (حدثني فلان كتابة) atau (أخبرني كتابة).

6.      I’lamu as-Syeikh at-Thalib

Cara selanjutnya adalah al-i’lam, yaitu tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya atau kebolehan meriwayatkannya. Atau jika seorang murid berkata kepada gurunya “Ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja[38].
Hukum Riwayat:
1.       Boleh: Sebagaimana dikatakan oleh Banyak Ahli Hadits dan Fiqih. Seperti Ibnu Juraij, Ibnu as-Shabbagh as-Syafi’I, Abu al-Abbas al-Walid bin Bakr al-Maliky[39].
2.       Tidak boleh: Ini pendapat yang dianggap shahih oleh Dr. Mahmud at-Thahhahan[40], karena menurut beliau seorang guru mengabarkan kepada muridnya atas sebuah riwayat tanpa disertai ijazah, itu menandakan adanya suatu cela dalam hadits.
As-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya; Tadrib ar-Rawi yang mensyarah kitab an-Nawawi (w. 676 H) yang berjudul at-Taqrib wa at-Taisir li Makrifati Sunani al-Basyir an-Nadzir mengungkapakan bahwa an-Nawawi (w. 676 H) menshahihkan pendapat kedua, yaitu tidak menerima riwayat metode ini.
Adapun Al-Qadhi Iyadh al-Yahshafi (w. 544 H) telah menjelaskan dengan panjang terkait perbedaan Ulama’ atas hukum riwayat metode ini dalam kitabnya[41]. Beliau lebih cenderung membolehkan riwayat metode ini, karena jika guru mengabarkan kepada murid, bahwa suatu hadits itu termasuk hadits yang didengar oleh dirinya sendiri, maka itu sama halnya guru itu memberikan hadits kepada muridnya. Meskipun tidak disertai ijazah.
Bahkan jika seorang guru mengatakan kepada muridnya, “ini adalah riawayat yang saya dengar, kalian jangan meriwayatkannya dari saya” maka larangan ini tidak jadi pengahalang bagi muridnya untuk meriwayatkan hadits itu, jika memang hadits itu shahih. Karena jika hadits itu shahih, maka larangan meriwayatkan oleh guru itu tidak karena haditsnya, tetapi karena hal lain. As-Suyuthi (w. 911 H) menyandarkan pendapat ini kepada pendapat Ahli Dzahir[42].
Adapun shigat ada’ yang dipakai dalam metode ini adalah: lafadz (أعلمني شيخي بكذا).

7.       al-Washiyah

Al-washiyyah adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya.
Adapun hukum riwayat hadits dengan metode ini ada dua pendapat:
1. Boleh: Ini adalah pendapat Ulama’ terdahulu. Tetapi pendapat ini tidak benar. Sebagaimana diungkapan, an-Nawawi (w. 676 H) yang dinukil oleh as-Suyuthi (w.  911 H)[43], al-Qadhi Iyadh (w. 544 H)[44], dan oleh Ulama’ saat ini, Dr. Mahmud at-Thahhan[45].
2. Tidak boleh: Ini adalah pendapat yang shahih oleh para Ulama’ ahli Hadits.
                Syeikh Hasan bin Abdurrahaman ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), dalamkitabnya[46] al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa’iy, mengungkapkan sebuah riwayat:

حدثني أحمد بن مردويه الضرير شيخ من أهل رامهرمز حدثنا الحسن بن حابس البناء وهو من أهل رامهرمز ثنا حماد بن زيد قال: "أوصى أبو قلابة فقال ادفعوا كتبي إلى أيوب إن كان حيا وإلا فاحرقوها".
Shighat Ada’:
Lafadz yang digunakan dalam riwayat wasiat ini adalah: (أوصى إلي فلان بكذا) atau boleh juga (حدثني فلان وصية)

8.      al-Wijadah

Sedangkan cara terakhir adalah ­al-wijadah. Al-wijadah adalah seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh seseorang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya[47]
Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Sedangkan pendapat yang shahih adalah tidak membolehkan riwayat dengan wijadah, karena ada inqitha’ sanad. Bahkan jika seorang rawi ketahuan hanya mendapati tulisan hadits seseorang, lalu dengan sengaja meriwayatkannya dengan shighat yang mengindikasikan bertemu atau mendengar secara langsung, misal “haddatsana” atau “akhbarana”, maka bisa saja rawi itu dianggap mudallis, dan haditsnya tidak akan diterima.
Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) mencontohkan beberapa nama Ulama’ yang mendapatkan tulisan atau kitab seseorang, tetapi tidak pernah mendengar langsung. Dianataranya:

أخبرنا محمد بن إسماعيل أخبرنا القاضى محمد بن خلف أخبرنا أبو بكر المطوعى أخبرنا أبو عبيد الله الحاكم أخبرنا محمد بن صالح القاضى حدثنا المستعينى أخبرنا عبد الله بن على المدينى عن أبيه قال قال عبد الرحمن بن مهدى،كان عند مخرمة كتبا لأبيه لم يسمعها منه.

Makhramah mendapati kitab dari bapaknya, tetapi dia tidak pernah mendengar darinya[48].

                Sedangkan shighat yang dipakai dalam dalam wijadah adalah: lafadz (وجدت بخط فلان) atau (قرأت بخط فلان) lalu disebutkan sanad dan matan.

                Inilah kedelapan metode Tahammul hadits beserta shighat yang digunakan dalam ada’-nya.

Lebih mudahnya, bisa dilihat dalam tabel berikut:

Tahammul
Shighat Ada’
Keterangan
1
Sama’
حدثني، حدثنا، سمعت، قال لي، ذكر لي
Biasanya Ulama’ meringkas (حدثنا) dengan (ثنا) atau (نا)
2
‘Ardh
أخبرنا، حدثنا قراءة عليه، قرأت على فلان، قرئ عليه وأنا أسمع فأقرَّ به
Biasanya Ulama’ meringkas (أخبرنا) dengan (أنا) kadang (أرنا)
3
Ijazah
أنبأنا، أجاز لي فلان، أخبرنا أو حدثنا إجازة
4
Al-Munawalah
ناولني، ناولني وأجاز لي، أخبرنا مناولة وإجازة، حدثنا مناولة
5
Al-Kitabah
كتب إلي فلان، أخبرني كتابة، حدثني كتابة
6
Al-I’lam
أعلمني شيخي بكذا
7
Wasiat
أوصى إلي فلان بكذا، حدثني فلان وصية
8
Wijadah
وجدت بخط فلان، قرأت بخط فلان
Tabel 2: Tahammul beserta shighat ada’nya

Tentu penggunaan lafadz ada’ ini bukanlah hal yang disepakati oleh seluruh Ulama’ hadits terdahulu. Karena masing-masing Ulama’ dari beberapa daerah di Arab memiliki ciri khas masing-masing. Tetapi tabel diatas hanya mencoba mempermudah saja atas identifikasi metode tahammul.

Kitab al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) yang berjudul, al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, sepertinya kitab yang sangat luas berbicara tentang hal ini. Disana disebutkan perbedaan para Ulama’ terkait lafadz yang digunakan masing-masing Ulama’ dalam shighat ada’.

Untuk lebih luasnya, pembaca bisa merujuk langsung kepada kitab tersebut[49].
Mungkin agar lebih jelasnya, penulis akan paparkan contoh-contoh hadits beserta shighat ada’nya, yang penulis nukil dari kitab ar-Ramahurmuzi[50].
1.       Dengan lafadz (سمعت)
حدثنا همام بن محمد ثنا محمد بن عقبة السدوسي ثنا سفيان بن عيينة عن عمرو بن دينار قال سمعت سعيد بن جبير يقول سمعت ابن عباس يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يخطب يقول: أنكم ملاقو الله حفاة عراة مشاة غرلا
2.       Dengan lafadz (حدثنا) atau (أن فلانا حدثه)
حدثنا عبدان وجعفر بن محمد الخاركي قالا ثنا هدبة بن خالد ثنا حماد بن الجعد ثنا قتادة أن محمد بن سيرين حدثه أن أبا هريرة حدثه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قضى في المصراة إذا اشتراها الرجل فحلبها فهو بالخيار ان شاء أمسك وان شاء ردها ومعها صاعا من تمر
3.      Dengan lafadz (أنبأني فلان)
حدثني أبي وابن زهير قالا ثنا يحيى بن حكيم المقوم ثنا أبو داود ثنا شعبة قال أنبأني حماد بن أبي سليمان وعبد العزيز بن صهيب وعتاب مولى هرمز وسليمان التيمي انهم سمعوا أنس بن مالك يحدث أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
4.       Dengan lafadz (قال لي فلان) dan (أخبرني فلان)
حدثنا أحمد بن يحيى الحلواني ثنا عبيد بن حناد ثنا عبد الرحمن بن أبي الرجال عن اسحاق بن يحيى بن طلحة بن عبيد الله قال قال لي ثابت الأعرج أخبرني أنس بن مالك عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: لا تزال هذه الأمة بخير ما إذا قالت صدقت وإذا حكمت عدلت وإذا استرحمت رحمت
5.       Dengan lafadz (وجدت في كتاب فلان)
حدثنا ابن زهير ثنا محمد بن عثمان بن مخلد قال وجدت في كتاب أبي بخطه عن سلام أبي المنذر عن مطر عن عطاء عن جابر قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أفطر الحاجم والمحجوم

Itulah beberapa contoh hadits dengan shighat ada’ masing-masing.

4. Lafadz (عن) dalam Sanad

Ada hal yang perlu disampaikan juga disini terkait penggunaan lafadz (عن) dalam suatu sanad hadits. Sebenarnya hal ini adalah pembahasan hadits muan’an atau muannan; dimana seorang rawi menggunakan lafadz (عن) dalam sanadnya. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam al-Baiquni dalam mandzumammahnya[51]:

مُعَنْعَنٌ كَعَنْ سَعِيدٍ عَنْ كَرَمْ ***وَمُبْهَمٌ ما فِيْهِ راوٍ لَمْ يُسَمْ

                Dalama tahammul dan ada’, lafadz (عن) tidak menjelaskan apakah tahammulnya itu dengan metode sama’, al-Qira’ah, al-Ijazah atau yang lainnya. Begitu juga dengan lafadz (أن).

                Al-Hafidz al-Iraqi (w. 806 H) dalam Nadzam Alfiyyahnya, sebagaimana disyarah oleh Zainuddin Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad bin Zakariyya al-Anshari (w. 926 H), Fathu al-Baqi bi Syarhi Alfiyati al-Iraqi, menjelaskan tentang hadits mu’an’an dan muannan[52];

- وَصَحَّحُوا وَصْلَ مُعَنْعَنٍ سَلِمْ ... مِنْ دُلْسَةٍ رَاويْهِ، والِلِّقَا عُلِمْ
- وَبَعْضُهُمْ حَكَى بِذَا إجمَاعَا ... و (مُسْلِمٌ) لَمْ يَشْرِطِ اجتِمَاعَا
- لكِنْ تَعَاصُراً، وَقِيلَ: يُشْتَرَطْ ... طُوْلُ صَحَابَةٍ، وَبَعْضُهُمْ شَرَطْ
- مَعْرِفَةَ الرَّاوِي بِالاخْذِ عَنْهُ، ... وَقيْلَ: كُلُّ مَا أَتَانَا مِنْهُ
- مُنْقَطِعٌ، حَتَّى يَبِينَ الوَصْلُ، ... وَحُكْمُ (أَنَّ) حُكمُ (عَنْ) فَالجُلُّ
- سَوَّوْا، وَللقَطْعِ نَحَا (البَرْدِيْجِيْ) ... حَتَّى يَبِينَ الوَصْلُ في التَّخْرِيجِ

                Ulama’ membenarkan tersambungnya sanad hadits dengan lafadz (عن), jika memang bukan dari rawi yang mudallis, atau diketahui bertemunya kedua rawi hadits.

                Maka mengetahui metode tahammul dan shighat ada’ ini menjadi sangat penting, agar hadits yang diriwayatkan itu benar-benar tersambung sanadnya tanpa ada tadlis dari seorang rawi yang mudallis.

                Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang terindikasi mudallis, maka haditsnya tidak diterima kecuali jika dia mengungkapkan benar-benar mendengar dari rawi sebelumnya. Salah satu shighat yang menunjukkan keburaman itu adalah lafadz (عن).

Salah satu manfaat mengetahui “shighat tahammul dan ada’” dalam Ulumu al-Hadits adalah untuk mengetahui diterima atau tidaknya riwayat seorang mudallis Tadlis al-Isnad. Al-Imam an-Nawawi (w. 676 H) membagi tadlis menjadi dua bagian; Tadlis Isnad dan Tadlis Syuyukh[53].

Tadlis Isnad oleh al-Imam as-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya Alfiyatu as-Suyuthi fi Ilmi al-Hadits[54] diartikan sebagai berikut:

164-تَدْلِيسُ الاِسْنَادِ بِأَنْ يَرْوِيَ عَنْ *** مُعَاصِرٍ مَا لَمْ يُحَدِّثْهُ بِـ"أَنْ"
165-يَأْتِي بِلَفْظٍ يُوهِمُ اتِّصَالا *** كَـ"عَنْ" وَ"أَنّ" وكذاك"قالا"
166-وَقِيلَ: أَنْ يَرْوِيَ مَالَمْ يَسْمَعِ ***بِهِ وَلَوْ تَعَاصُرًا لَمْ يَجْمَعِ

Tadlis Isnad adalah jika seorang Rawi meriwayatkan hadits dari orang yang hidup sezaman dengannya, padahal hadits itu tidak ia dapatkan darinya, dengan lafadz yang seolah-olah menandakan ittishal/bersambung, seperti “عَنْ”, dan “أَنَّ” atau dengan lafadz “قال”.

Jika terbukti seorang rawi melakukan tadlis dalam Isnad, maka para Ulama’ berbeda pendapat tentang status rawi tersebut. Sebagian Ulama’ Ahli Hadits menolak periwayatan orang tersebut secara muthlak. Tetapi yang lebih shahih menurut al-Imam an-Nawawi[55] (w. 676 H) dan diikuti oleh al-Imam as-Suyuthi[56] (w. 911 H) adalah ditafshil/diperinci.

Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) telah menuliskan nama-nama para rawi yang dianggap mudallis, dalam kitabnya yang berjudul Thabaqat al-Mudallisin.

Ibnu Hajar membagi tingkatan mudallis menjadi 5 tingkatan. Pada tingkatan ketiga, yaitu Orang-orang yang sering melakukan tadlis, maka para Ulama’ tidak mengambil hadits darinya kecuali jika orang tersebut menjelaskan bahwa dia mendengar langsung dari rawi atasnya (Tahammul dan Ada’ dengan shighat sama’/mendengar). Seperti: Abu az-Zubair al-Makkiy[57].

Lebih lengkap, Ibnu Hajar membagi tingkatan Mudallisin menjadi 5 tingkatan, sebagai berikut:

5. Thabaqat al-Mudallisin Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)

             Mudallisin menurut Ibnu Hajar al-Asqalani[58] (w. 852 H) terbagi menjadi 5 tingkatan:

1.       Orang-orang yang tidak pernah disifati dengan tadlis kecuali sangat jarang. Seperti Yahya bin Said al-Anshari
2.       Orang-orang yang meskipun pernah melakukan tadlis, tetapi oleh para Ulama’ masih dimasukkan dalam kitab shahihnya karena keimamannya. Seperti: as-Tsauri. Atau orang-orang yang tidak mentadlis kecuali dari orang yang tsiqah, seperti: Ibnu Uyainah.
3.       Orang-orang yang sering melakukan tadlis. Para Ulama’ tidak mengambil hadits darinya kecuali jika orang tersebut menjelaskan bahwa dia mendengar langsung dari rawi atasnya. Seperti: Abu az-Zubair al-Makkiy
4.       Orang-orang yang oleh para Ulama Ahli Hadits telah disepakati tidak diterima riwayatnya, karena sering mengambil hadits dari orang-orang yang dhaif. Seperti:  Baqiyyah bin al-Walid
5.       Orang-orang yang dhaif bukan karena tadlis, tetapi karena hal lain. Maka haidtsnya ditolak meskipun dia menjelaskan telah mendengar dari rawi atasnya.
Selain Ibnu Hajar, telah banyak Ulama’ lain yang menuliskan nama-nama Mudallisin oleh Ulama’ sebelum beliau, sebagaiaman dijelaskan Ibnu Hajar sendiri[59]; Seperti Syeikh Husain bin Ali al-Karabisi, an-Nasa’i, ad-Daraquthni, Syamsudin ad-Dzahabi, al-Hafidz Abu Mahmud Ahmad bin al-Maqdisi, Waliyuddin Abu Zur’ah, Burhanuddin al-Halabi, al-Hafidz al-Iraqi.

             Secara lebih detail, Ibnu Hajar menghitung nama-nama Mudallisin menjadi 152 orang. Nama-Nama itu adalah:

A. Tigkatan pertama, berjumlah 33 orang.

             Contohnya:

1.       Ahmad bin Muhammad binYahya bin Hamzah ad-Dimasyqi, telah banyak meriwayatkan dari Bapaknya dan Kakeknya. Tetapi Abu Hatim ar-Razi pernah mendengar Ahmad bin Muhammad bin Yahya berkata, “saya tidak pernah mendengar dari bapak saya sedikitpun”. Abu Awanah al-Ishfirayini berkata: Bapak dari Ahmad bin Muhammad bin Yahya mengijazahkan kepada anaknya, lalu dari situ Ahmad meriwayatkan hadits, tetapi tidak mengatakan bahwa hadits yang didapat dari bapaknya hanya dengan jalan ijazah.
2.       Ishaq bin Rasyid al-Jazari, beliau menggunakan shighat “haddatsana” dalam hal wijadah. Ishaq meriwayatkan dari az-Zuhri. Suatu ketika Ishaq ditanya, “apakah engkau bertemu az-Zuhri?”, beliau menjawab,”Suatu ketika saya pergi ke Baitul Maqdis dan menemukan sebuah kitab disana”.

B. Tingkatan kedua, berjumlah 33 orang.

             Contohnya:

1.       Sufyan bin Said at-Tsauri, al-Faqih al-Hafidz[60]. Imam an-Nasa’i mengatakan bahwa beliau mudallis, al-Bukhari mengatakan, sangat sedikit tadlisnya.
2.       Sufyan bin Uyainah al-Hilali al-Kufi al-Makki, Ahli Fiqih dari Hijaz. Beliau tadlis, tetapi tadlisnya hanya kepada rawi yang tsiqah.
3.       Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i, seorang Ahli Fiqih yang masyhur dari kalangan Tabi’in dari kawasan Kufah. Al-Hakim menyebutkan bahwa Ibrahim an-Nakha’i melakukan tadlis, Abu Hatim ar-Razi mengatakan bahwa Ibrahim an-Nakhai tidak pernah ketemu shahabat kecuali Aisyah RadliyaAllahu anhu dan juga tidak pernah mendengar hadits darinya.[61]

C. Tingkatan ketiga, berjumlah 50 orang.

             Contohnya:

1.       Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud. Seorang yang tsiqah, Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Abdurrahman tidak pernah mendengar hadits dari bapaknya. Ali bin al-Madini mengatakan, Abdurrahman pernah mendengar dua hadits dari bapaknya yaitu hadits tentang ad-dhab dan ta’khir waktu shalat. Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa Abdurrahman ketika bapaknya meninggal baru usia 6 tahun.

Ibnu Hajar meringkas bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Abdurraman dari bapaknya dengan lafadz “sama/mendengar langsung” itu ada 4 hadits. Padahal hadits Abdurrahman dari bapaknya dalam kitab as-Sunan itu ada 15 hadits, dan dalam kitab al-Musnad ada 17 hadits. Kebanyakan dari hadits itu dengan shighat “mu’an’an”.

2.       Maimun bin Musa al-Mar’i, murid dari Hasan al-Bashri. An-Nasa’i, ad-Daraquthni mengatakan bahwa Maimun ini seorang mudallis.

D. Tingkatan keempat, berjumlah 12 orang.

                Contohnya:

1.       Hajjaj bin Arthah, seorang Ahli Fiqih dari Kufah. An-Nasa’i, Ibnu al-Mubarak, Yahya bin al-Qatthan, Yahya bin Ma’in, dan Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa Hajjaj seorang mudallis dari rawi-rawi yang dhaif. Abu Hatim ar-Razi mengatakan bahwa ketika Hajjaj meriwayatkan hadits dengan shighat “haddatsana” maka haditsnya shalih tetapi tidak kuat.

2.       Athiyyah bin Sa’ad al-Aufi al-Kufi, seorang Tabi’in tetapi lemah hafalannya dan terkenal tadlis yang jelek.

E. Tingkatan kelima, berjumlah 24 orang.

Jadi jumlah secara keseluruhan oleh Ibnu Hajar (w. 852 H) ada 152 orang.

             Contohnya:
1.       Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya al-Aslami, salah seorang guru Imam Syafi’i. Jumhur Ulama’ mengatakan bahwa dia termasuk mudallis, sebagaimana dikatakan Imam Ahmad dan ad-Daraquthni
2.       Jabir bin Yazid al-Ja’fi, Jumhur Ulama’ mengatakan bahwa dia lemah. Sebagaiama dikatakan Ibnu Hibban.
3.       Abdullah bin Mu’awiyah bin Ashim bin Mundzir bin Zubair bin Awwam. Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia mudallis.


BAB 3: Penutup

Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa kelayakan seorang perawi itu harus memiliki kelayakan tahamul dan ada’. Adapun kelayakan tahamul itu harus tamyiz dan bisa memberikan jawaban atas pembicaraan atau pertanyaan. Sedangkan kelayakan ‘ada adalah periwayat hadits harus islam, baligh, adil, dan dhabt.

Adapun metode-metode tahammul dan ada’ hadits ada delapan yaitu as-sama’, al-qiraah, al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-i’lam, al-washiyyah dan al-wijadah. As-sama’ merupakan metode paling tinggi kualitasnya dibandingkan metode-metode lainnya. Dalam pengklasifikasian kualitas metode periwayatan ini ulama berbeda pandangan antara satu dengan lainnya.

Makalah ini berusaha memaparkan dan menjelaskan tentang tahammul dan ada’ hadits hanya secara global dan tidak terlalu mendalam sebagaimana di dalam buku-buku yang membahas tentang ini.

Oleh karena itu, maka makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan dan perlu akan adanya perbaikan. Allahu a’lam.

waAllahu al-Muwaffiq ila aqwami at-thariq.[085641414687]


DAFTAR PUSTAKA

                Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsiah, t.t), tahqiq Abdul Wahab Abdullatif
Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-Asqalani as-Syafi’i (w. 852 H), Thabaqat al-Mudallisin, (Umman: Maktabah al-Manar, 1983 M), Cetakan I, Tahqiq Dr. Ashim bin Abdullah al-Quryuti.
Ahmad bin Ali bin Tsabit Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilmi ar-Riwayah, (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, t.t), Tahqiq Ibrahim Hamdi al-Madani
Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah as-Syaibani (w. 241 H), Musnad Ahmad bin Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurthubah, t.t)
                Al-Qadhi Iyadh Abu al-Fadhl Iyadh bin Amrun bin Musa bin Iyadh as-Sibti al-Yahshafi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, (Kairo: Dar at-Turats, 1970 M, tahqiq As-Sayyid Ahmad Shaqr
Hasan bin Abdurrahaman ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa’iy, (Baerut: Dar al-Fikr, 1404 H), Tahqiq Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib
Ibnu as-Shalah al-Hafidz Abu Umar Utsman bn Abdurrahman bin Musa al-Kurdi as-Syahruzuri (w. 643 H), Muqaddimah Ibnu as-Shalah, (Lebanon: Maktabah al-Farabi, 1984 H)
Ibrahim Musthafa, Ahmad az-Zayyat dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Dar ad-Dakwah Majma’ al-Lughat al-Arabiyyah, t,t)
                M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003)
                Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Jeddah: Makthabah al-Haramain, 1985 M)
Muhammad bin Mukram bin Mandzur al-Mishri, Lisanul Arab, (Baerut: Dar Shadir, t.t)
                Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), At-Taqrib wa at-Taisir li Ma’rifati Sunani al-Basyir wa an-Nadzir, (Lebanon: Dar al-Kitab al-Arabi, 1985 M)
Zainuddin Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad bin Zakariyya al-Anshari (w. 926 H), Fathu al-Baqi bi Syarhi Alfiyati al-Iraqi, (Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1422 H), Tahqiq Abdullathif Hamim




[1] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, hal. 63
[2] Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah as-Syaibani (w. 241 H), Musnad Ahmad bin Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurthubah, t.t), juz 1, hal. 321
[3] Muhammad bin Mukram bin Mandzur, Lisanul Arab, (Baerut: Dar Shadir, t.t), juz 11, hal. 174
[4] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Jeddah: Makthabah al-Haramain, 1985 M), hal. 157
[5] Ibrahim Musthafa, Ahmad az-Zayyat dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Dar ad-Dakwah Majma’ al-Lughat al-Arabiyyah, t,t), Hal.10
[6] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 157
[7] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 157
[8] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsiah, t.t), tahqiq Abdul Wahab Abdullatif, juz 2, hal. 8
[9] Ahmad bin Ali bin Tsabit Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilmi ar-Riwayah, (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, t.t), Tahqiq Ibrahim Hamdi al-Madani, hal. 65
[10] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 4
[11] Ahmad bin Ali bin Tsabit Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilmi ar-Riwayah, hal. 55
[12] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 4
[13] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 158
[14] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 145
[15] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 8
[16] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 45
[17] Al-Qadhi Iyadh Abu al-Fadhl Iyadh bin Amrun bin Musa bin Iyadh as-Sibti al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, (Kairo: Dar at-Turats, 1970 M, tahqiq As-Sayyid Ahmad Shaqr,  hal. 68
[18] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 69, Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 8
[19] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 159
[20] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 159
[21] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 53
[22] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 12
[23] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 71
[24] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 180
[25] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 74
[26] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 22
[27] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 53
[28] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 88
[29] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 79
[30] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 88
[31] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 162
[32] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 55
[33] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 163
[34] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 55
[35] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 163
[36] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 84
[37] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 163
[38] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 109
[39] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 59
[40] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 165
[41] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 115
[42] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 59
[43] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 60
[44] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 115
[45] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 165
[46] Hasan bin Abdurrahaman ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa’iy, (Baerut: Dar al-Fikr, 1404 H), Tahqiq Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib,  hal. 459
[47] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 117
[48] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 118
[49] Bisa juga download kitab di: http://archive.org/details/AlilmaIlaMarifahUsulAlriwayah. diakses pada: 6 Januari 2013
[50] Hasan bin Abdurrahaman ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa’iy, hal. 472
[51] Umar Thaha bin Muhammad bin Futuh al-Baiquni ad-Dimasyqi as-Syafi’i (w. 1080 H), Mandzumat al-Baiquni, bait ke-13
[52] Zainuddin Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad bin Zakariyya al-Anshari (w. 926 H), Fathu al-Baqi bi Syarhi Alfiyati al-Iraqi, (Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1422 H), Tahqiq Abdullathif Hamim, juz 1. Hal. 208
[53] Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), At-Taqrib wa at-Taisir li Ma’rifati Sunani al-Basyir wa an-Nadzir, (Lebanon: Dar al-Kitab al-Arabi, 1985 M), hal.4
[54] Jalaluddin as-Suyuthi, Alfiyatu as-Suyuthi fi Ilmi al-Hadits, bait ke 164-166
[55] Yahya bin Syarah an-Nawawi (w. 676 H), at-Taqrib wa at-Taisir li Ma’rifati Sunani al-Basyir an-Nadzir, hal. 4
[56] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, hal. 164
[57] Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-Asqalani as-Syafi’i (w. 852 H), Thabaqat al-Mudallisin, (Umman: Maktabah al-Manar, 1983 M), Cetakan I, Tahqiq Dr. Ashim bin Abdullah al-Quryuti, hal. 13
[58] Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-Asqalani as-Syafi’i (w. 852 H), Thabaqat al-Mudallisin, hal. 13
[59] Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-Asqalani as-Syafi’i (w. 852 H), Thabaqat al-Mudallisin, hal. 15
[60] Sebagaimana dikatakan juga oleh al-Imam as-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya, Asma’ al-Mudallisin, (Baerut: Dar al-Jail, t.t), Tahqiq Mahmud Muhammad Mahmud Hasan Nashar, hal. 51
[61] Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-Asqalani as-Syafi’i (w. 852 H), Thabaqat al-Mudallisin, hal. 28

sumber : http://abdurobbihi.blogspot.co.id/2013/01/tahammul-dan-ada-dalam-ilmu-hadist.html