“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, sinagoge-sinagoge Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah” (QS. Al-Hajj (22): 40).
Saat penaklukkan Baitul Maqdis, penguasa wilayah enggan menyerahkan wilayahnya ke Amr bin Ash sang utusan Khalifah Umar bin Khathab, ia bersikeras menyerahkan langsung pada khalifah. Ia ingin meminta jaminan kepada khalifah demi keamanan rumah ibadah dan kenyamanan dalam beribada umat Kristen.
Benar, Khalifah Umar datang ke kota Eliya (nama klasik Baitul Maqdis) memenuhi permintaan.
Setelah mengumpulkan para pembesar sahabat seperti Abu Ubaidah al-Jarah, Amr bin Ash, Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, dll, lahirlah kesepakatan dari rahim saling menghormati dalam beragama (la ikroha fiddin, tidak ada paksaan dalam agama). Salah satu isi jaminan dari umat Islam yang diwakili oleh khalifah itu adalah:
“…. Gereja dan salib tidak akan diusik, apalagi dirusak dan dirobohkan. Tidak dipaksa masuk Islam dan tidak akan dizalimi….”
Kemudian pada tahun 20 H pasukan Amr bin Ash merangsek ke Mesir. Mereka tidak menduduki rumah penduduk yang mayoritas bangsa Mesir masih Kristen itu. Tidak merampas harta mereka. Justru mereka membuat tenda-tenda (fusthoth) sendiri, sehingga kota ini kemudian menjadi ibu kota Mesir Islam pertama dengan nama Fustat, diambil dari rumah inap para sahabat kala itu.
Saat Islam masuk Mesir, di sana gereja-gereja tua sudah begitu banyak. Salah satu gereja yang begitu cantik, terlebih di ufuk senja, adalah gereja Marg Girgis. Gereja ini konon dibangun di satu atau dua abad sebelum Islam diturunkan.
Amr bin Ash kemudian membangun masjid pertama di Afrika yang tempatnya hanya sepelemparan batu dari gereja Marg Girgis itu. Sesenti pun bangunan gereja tua itu tidak digores.
Orang dahulu memang begitu harmoni. Jika kita temukan ada bangunan masjid berdekatan dengan gereja, barangkali boleh dikatakan kalau itu mengikuti “sunah” para sahabat di Mesir.
Kemudian abad 2 H meletus geger genjik di Mesir. Gubernur Mesir berulah merobohkan gereja-gereja yang dijamin oleh para sahabat saat masuk Mesir itu. Imam Laits bin Saad—seorang tokoh pendiri mazhab fikih Laitsiyah murka. Imam Laits adalah karib Imam Malik bin Anas yang oleh Imam Syafi’i dinilai lebih faqih dari Imam Malik, juga guru dari maha guru Imam Bukhari sehingga nama beliau menjadi manik rantai hadis Imam Bukhari di kitab shahihnya.
Imam Laits memang begitu berkharisma dan berwibawa di mata khalifah Harun Rasyid dan para penguasa. Apa yang dikehendakinya akan diberi jalan. Murka Imam Laits membuat Harun Rasyid mencopot gubernur yang bernama Ali bin Sulaiman itu dan menggantinya dengan gubernur baru.
Program Musa bin Isa, gubernur baru Mesir, adalah membangun kembali apa yang telah dirobohkan oleh gubernur sebelumnya. Ia memasukkan pembangunan tersebut dalam proyek pemerintahan. Selain itu ia juga harus merajut kembali tali kasih dengan umat Kristen yang sempat koyak.
Semua berpijak atas fatwa sang imam. Imam Laits tidak peduli dengan sangkalan para ulama lain yang tidak setuju dengan sikap tersebut. Beliau meyakini bahwa begitulah memang seharusnya. Menjaga rumah ibadah dari segenap kerusakan.
Mufti Agung Mesir Prof. Dr. Shawki Alam menukil dalam buku Himayatul Kanais (menjaga gereja) sebuah rekaman al-Kindi yang mengejutkan dalam al-wulat wal qudhot bahwa Imam Laits dan Ibnu Lahi’ah menegaskan bahwa gereja-gereja di Mesir tidaklah dibangun (ulang) kecuali pada masa Islam.
Wal hasil, dari sejarah singkat di atas, kita bisa menyimpilkan, sebagai agama, Islam tidak ada masalah sama sekali dengan gereja. Lalu kenapa ada orang Islam menghancurkan gereja dan membunuh orang di dalamnya?
Jawabnya tiada lain bahwa orang itu, teroris itu, pelaku bom bunuh diri itu, punya masalah dengan agama, punya masalah dengan pikirannya, punya masalah dengan jiwaannya. Bukan agamanya yang bermasalah!
Alfan Khumaidi