Oleh : K.H. Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, PhD.
Mengutip pernyataan beberapa pendapat Ulama
Indonesia diantaranya, K.H. Abdul Mukti, Syech Musa dan K.H. Hasyim
Asy’ari Jombang bahwa pada saat itu:
“Soekarno tidak mau memproklamirkan
Kemerdekaan Republik Indonesia karena dihalangi Inggris, bahwa Indonesia
akan dibuat seperti Hiroshima dan Nagasaki, tapi didorong dan didesak
oleh para Ulama agar Soekarno berani segera memproklamirkan Kemerdekaan
Negara dan Bangsa Indonesia, karena menurut pendapat para Ulama saat itu
(bertepatan dengan hari jum’at legi tanggal 9 Ramdhon 1364 H
bertepatan tanggal 17 Agustus 1945 M), apabila tidak segera
Memproklamirkan Kemerdekaan Negara dan Bangsa kita sekarang, maka kita harus menunggu kemerdekaan Negara dan Bangsa ini selama 300 tahun mendatang”.
Pembukaan
Proklamasi 17 Agustus 1945 atau 9 Ramadhan 1364, pada hari Jum’at Legi,
pukul 10.00 pagi merupakan puncak keberhasilan perjuangan umat Islam
sebagai mayoritas bangsa Indonesia dalam upayanya membebaskan bangsa dan
Negara dari penjajahan Barat dan Timur. Proklamator dengan dorongan
para ulama di Puluhan Pertama Ramadhan sebagai Puluhan Rahmat.
9 Ramadhan 1364 berani membacakan proklamasi, tidak gentar terhadap
Amerika Serikat yang mendemonstrasikan bom pemusnah masal.
Dengan semangat Jihad, dan terpanggil oleh
Bung Tomo melalui Pemberontakan, umat Islam melalui perlawanan terhadap
usaha penjajahan kembali Belanda, yang dibantu oleh Inggris dan AS
dalam Perang Gerilya (1945-1950). Walaupun Bersenjatakan Bambu Runcing yang dianugrahkan oleh Kiai Subehi dari
magelang, Jawa Tengah. Umat Islam Bandung melancarkan serangan heroic,
disertai dengan gerakan bumi hangus membakar rumah dan kota Bandung,
hingga menjadi Bandung Lautan Api. Suatu keberanian yang luar
biasa dan pengorabanan harta yang akbar disertai pengorbanan jiwa dan
raga dalam membela serta menegakkan Proklamator 17 Agustus 1945.
Oleh Karena itu, kemerdekaan oleh para pendahulu, dinilai dan dituliskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terwujudnya hanya karena berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, maka
bangsa dan Negara Indonesia menjadi merdeka. Para ulama bersama
pimpinan nasional sehari setelah Proklamasi, 18 Agustus atau 10 Ramadhan
1364, terdiri dari:
- K.H Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama)
- Ki Bagus Hadikusuma (Muhammadiyah)
- Kasman Singodimejo (Muhammadiyah)
- Mohammad Hatta (Sumatra Barat)
- Teuku Mohammad Hasan (Aceh)
Berhasil merumuskan ideology Pancasila dan
Konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, kemudian diserahkan untuk
disyahkan kepada dan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta, pada hari dan tanggal yang sama, sabtu pahing, 18 Agustus atau 10 Ramadhan 1364. Mungkinkah bangsa Indonesia merdeka, bila tanpa peran aktif para ulama?
Bahasa Indonesia
Satu-satunya bangsa di Asia Tenggara yang menyatakan kemerdekaannya dengan bahasa
sendiri hanyalah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki Bahasa
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari jasa para Ulama. Agama Islam
masuk dari Makkah ke Indonesia, dengan cara yang damai dan melalui jalan
laut niaga, pada abad ke-7. Di pasa yang menggunakan nama hari-hari
Islam: Pasar Senin, Rabu, Kamis, Jum’at dan Ahad, berbahasa komunikasi dengan Bahasa Melayu Pasar. Rasulullah SAW sejak usia 8 hingga 40 tahun, sebelum menjadi Rasul, sebagai wiraniagawan. Karena ulama sebagai warosatul ambiya’, maka berpenghidupan sebagai wiraniagawan pula. Sebagai eksportir dan importer, seperti Wali Songo menetapkan wilayah dakwahnya dipantai-pantai.
Bahasa Melayu ini di Pesantren dikembangkan menjadi Bahasa Ilmu. Setelah berdiri kekuasaan politik Islam atau Kesultanan, digunkana sebagai Diplomatik yang dituliskan dengan Huruf Arab Melayu. Walaupun dalam hubungan diplomatik dengan kerajaan asing lainnya. Di saat Gerakan Nasional (1900-1942), berubaha pula menjadi bahasa Bahasa Jurnalistik yang dipelopori dengan terbitnya bulletin Taman Pewarta (1902-1915) dari Sarikat Dagang Islam-SDI. Di tengah gerakan budaya akan mengutamakan Bahasa Jawa dan nasionalisme Jawa, timbullah reaksinya Sumpah Pemuda, lahirlah pernyataan anatara lain menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa persatuan.
Dari kenyataan sejarah yang demikian, George Mc Tuman Kahin, dalam nasionalism and Revolution Indonesia penggerak utama timbulnya Gerakan Nasional Indonesia artinya gerakan cinta agama, bangsa dan tanah air, dipelopori ulama
yang menjadikan Islam sebagai dasar pengikat kesatuan dan persatuan
bangsa. Hal ini sebagai jawaban terhadap Penjajahan Barat yang
menggunakan agama Katolik dan Protestan sebagai motivasi gerakan imeperialisme dan kapitalismenya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Republik Indonesia berwilayah terbentang dari barat, Sabang hingga timur, Merauke. Sebenarnya sama jarak dari barat, Greenwich London hingga timur, Baghdad Irak. Dari utara, Kepulauan Talaud hingga selata Pulau Rote, sama dengan dari utara, Jerman hingga selata, Aljazair.
Negara Eropa sebenarnya terdiri dari
Negara yang kecil-kecil, Inggris dan Itali serta sama dengan Sumatra
dengan pulau disekitarnya. Francis, Spanyol, Norwegia, hanya sama dengan
Kalimantan Indonesia, dan Negara Gereja Katolk Vatikan, hanya seluas
0,442 km2. Sedangkan kerajaan Protestan Belanda, Belgia,
Swiss hanya sama dengan Provinsi Jawa Barat. Di asia Tenggara, Singapura
hanya seluas dengan DKI Jakarta.
Matahari untuk menyinari seluruh Nusantara
Indonesia, harus terbit tiga kali. Dampaknya terjadi perbedaan tiga
waktu: Waktu Indonesia Barat. Dan WAktu Indonesia Tengah, 1 jam dari
Waktu Indonesia Barat. Selain pasti disyukuri, Indonesia memiliki laut
terbesar dari pada Negara manapun di dunia.
Kondisi geogarfi yang demikian,
dimanfaatkna oleh penjajah, untuk melahirkan gerakan separatis yang
menghendaki negera federalis. Gerakan ini dipimpin penjajahan Kerajaan
Protestan Belanda, Van Mook. Maka para pendahulu Republik Indonesia. Keputusan yang demikian ini, tidak dapat dilupakan jasa, Mohammad Natsir, dari Persatuan Islam, Jong Islamieten Bond, Parpol Masyumi sebagai Perdana Mentri NKRI, 17 Agustus 1950.
Sangsaka Merah Putih
Dakwah ulama didarat dan dilaut tidak
hanya mengajarkan Al-Qur’an dan Hadits ritualnya melainkan dengan
Al-Qur’an dan Hadits itu pula, mengajarkan pembudayaan warna bendera Sang merah Putih yang bermula dari bendera Rasulullah SAW. Sebagai umat Islam sukar mengerti bahwa Bendera Rasulullah SAW terdiri dari dua unsur warna Merah Putih . hal ini terjadi sebagai akibar adanya system deislamisasi dalam penulisan sejarah Indonesia. Dampaknya dapat dikisahkan bahwa Merah Putih bukan warna bendera Rasulullah SAW.penulisan
yang demikian itu untuk mendiskreditkan umat Islam dan dinyatakan bahwa
tidak memiliki andilnya dalam upaya dan perjuangan Indonesia Merdeka.
Termasuk dalam penentuan piranti persatuan dan kesatuan yakni Bahasa Indonesia dan Sang Saka Merah Putih.
Padahal Sang Saka Merah Putih
berasal dari Rasulullah SAW yang dikembangkan oleh umat Islam Indonesia,
sejak abad ke-7 hingga menjadi milik bangsa dan Negara Indonesia. Tentu
sukar memahaminya, baiklah disini kita kaji kembali penuturan Imam
Muslim dalam Shahihnya Kitab Al Fitan, jilid X halaman 340: “Dari
hamisy Qasthalani yang memperoleh beritanya dari Zubair bin Harb, Ishaq
bin Ibrahim, Muhammad bin Mutsanna, Ibnu Basysyar, Mu’adz bin Hisyam,
Qatadah, Abu Qalahh, Abu Asam ‘Ar Rahabiy, Tasuban bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
إِنَّ اللَّهَ
زَوَى لِىَ الأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ
أُمَّتِى سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِىَ لِى مِنْهَا وَأُعْطِيتُ
الْكَنْزَيْنِ الأَحْمَرَ وَالأَبْيَضَ
“Sesungguhnya Allah SWT telah memperlihatkan dunia kepadaku, aku ditunjukkan
pula timur dan baratnya. Kerajaan dunia akan sampai kepada umatku
seperti apa yang diperlihatkan kepadaku dan aku dianugrahi warna yang
Saka Merah Putih”.
Tentu umat Islam Indonesia mengenal ajaran Merah Putih diatas, sejak awal masuknya agama Islam ke nusantara pada abad ke-6 M. Sejak itu pula umat Islam akrab sekali dengan warna merah.tidah
tahu terhadap warna merah seperti sekarang ini. Karena Islam juga
mengajarkan bahwa isteri Nabi dari Nabi adam AS, hingga Rasulullah SAW
disebut merah. Misalnya Siti Hawa RA artinya Merah.
Menurut Ismail Haqqi Al Buruswi dalam Tafsir Ruhul Bayan, menjelaskan
bawa Hawa sama dengan Hautun artinya Merah dan Siti Aisya RA. Sering
dipanggil oleh Rasulullah SAW dengan Humairoh artinya juga Merah. Oleh
Karena itu, para ulama terdahulu di Indonesia, dalam membudayakan dan
mengabdikan Merah Putih, antara lain melalui tiga upacara:
- Setiap pembangunan rumah, pada kerangka atap suhunan dikibarkan Merah Putih dengan harapan mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW.
- Pada setiap tahun baru Islam atau tahun Hijriyah diperingati dengan membuat bubur Merah Putih.
- Pada saat pemberian nama anak juga dengan disertai pembuatan Bubur Merah Putih. Mengapa?
Bubur Merah Putih saat bayi dilahirkan sebagai lambing dari ibu,
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS 96:2)
Selama 9 bulan 10 hari dalam Rahim,
mengkonsumsi darah ibu, merah warnanya. Setelah lahir masih tetep
membutuhkan darah ibu, ASI selama 20 bulan 20 hari warnya putih. Dengan
demikian seorang anak bayi membutuhkan darah ibu yang berwarna merah dan
putih selama 30 bulan (QS. 46:115).
Dengan pengertian 9 bulan 10 hari ditambah
20 bulan 20 hari, sama dengan 30 bulan lamanya. Bagi ibu-ibu yang akan
menyempurnakan pemberisan ASI dapat diperpajang dari 20 bulan 20 hari
menjadi 24 bulan atau 2 tahun (QS. 2:233). Warna busana Rasulullah SAW
yang rangkap dua atau Al-Hullah , berwarna merah. Peristiwa ini dilihat oleh Sayyidina Al Barra RA disebutkannya:
“Sungguh kusaksikan Rasulullah SAW
berbusana merah warnanya dan aku belum pernah melihat busananya
Rasulullah SAWyang seindah itu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori,
Abu Daud, dan Turmudzi. Kalau kita perhatikan lebih lanjut warna sarung
pedang Rasulullah SAW, Sayyidina Ali Ra. Dan Khalid bin Walid Ra. juga
merah.
Penutup
Jasa agung ulama dan umat Islam Indonesia
dalam meraih kemerdekaan, diingatkan segenap generasi oleh para
pendahulu dengan membangun monument Masjid Syuhada, di Ibukota
perjuangan Yogyakarta, Artinya tanpa pengorbanan para Syuhada Indonesia
tidak akan merdeka. Dengan kata lain, untuk apa para Syuhada berkorban?
Jawabnya, agar Indonesia Merdeka. Agar cita-cita yang demikian agung
mulia serta terhormat ini, dipahami generasi selanjutnya, dibangunlah di
ibukota RI Jakarta Masjid Istiqlal Masjid kemerdekaan. Agar lebih
dipahami bahwa ulama sebagai pengawal terdepan perjuangan nasional,
dibangunlah Monumen Nasional dengan didepannya patung Pangeran
Diponegoro yang sedang memacu kuda. Maknanya pengawal terdepan perjuangan nasional Indonesia adalah ulama. Antara
lain Fatahillah, Syarif Hidayatullah, Hasanuddin Imam Bonjor, Teuku Cik
Ditiro, Sisingamangaraja XII, dan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
“Perhatikan lah sejarahmu, untuk hari esok” (QS. 18:29).
“Karena dalam sejarah terdapat didalamnya pelajaran, kebenaran, dan peringatan yang mengukuhkan hatimu (QS. 11:120)
Sumber :
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2005. Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan Republik Indonesia. Majlis Al-Ihya Bogor.
http://www.kmnu.or.id/konten-54-peran-ulama-dalam-merebut-kemerdekaan-indonesia.html