Benua
Amerika baru diketahui keberadaannya oleh masyarakat dunia khususnya Eropa pada
sekitar abad ke-15. Oleh karena itu, benua ini sering juga disebut benua atau
dunia baru (a new world). Selain Amerika, sebutan benua atau dunia baru juga
sering diarahkan pada benua Australia yang keberadaannya baru diketahui pada
sekitar abad ke-16.
Pengertian benua baru di sini bukan berarti benua tersebut
baru terbentuk dibandingkan dengan benua-benua lainnya. Pengertian baru di sini
mengarah pada pengetahuan manusia pada saat itu yang baru mengetahui bahwa ada benua
lain selain Eropa, Asia, dan Afrika di dunia ini yaitu benua Amerika dan
Australia. Selain itu, penyebutan dunia baru juga tampaknya menunjukkan pandangan
yang bersifat Eropa sentris dalam pengertian bahwa dengan ditemukannya benua
Amerika dan Australia memberikan dunia baru bagi kelanjutan perkembangan
kehidupan bangsa Eropa. Hal ini bisa kita lihat dari gerakan migrasi
orang-orang Eropa ke kedua benua ini pasca ditemukannya benua Amerika dan
Australia.
Ingat dengan perjanjian Tordesillas yang seolah-olah membagi
dunia ini untuk dua kekuasaan besar pada saat itu yaitu Portugis dan Spanyol. Portugis
berhak melakukan pelayaran ke sebelah barat sementara Spanyol ke sebelah timur.
Benua Amerika ditemukan oleh Christopher Columbus pada tahun 1492 ketika
Columbus menginjakkan kakinya di kepulauan Bahama yang kemudian diberi nama San
Salvador. Columbus adalah seorang berkebangsaan Genoa, Italia, yang mengabdi
pada raja Spanyol. Kedatangannya ke benua Amerika adalah untuk menjalankan
tugas yang diberikan oleh Kerajaan Spanyol dalam rangka mencari jalan menuju
India. Untuk mencapai India, Columbus harus berlayar ke arah timur, sebab arah
barat dengan rute menyusuri pantai benua Afrika merupakan hak yang dimiliki
oleh Portugis. Mengapa India menjadi daerah tujuan utama? Hal ini disebabkan
India merupakan pusat komoditi perdagangan yang sangat digemari oleh bangsa
Eropa pada saat itu yaitu rempah-rempah. Perjalanan menuju India yang dilakukan
oleh Columbus ternyata membawanya ke benua Amerika. Sampai akhir hayatnya
tampaknya Columbus tetap meyakini bahwa daerah itu adalah India bukan benua
lain.
Masyarakat dunia sampai saat ini meyakini bahwa Columbus-lah
penemu benua Amerika. Pendapat tersebut harus kita kritisi kembali. Jauh
sebelum Columbus datang ke Amerika, benua ini sudah dihuni oleh penduduk yang disinyalir
berasal dari daratan Asia yang sampai ke Amerika dengan menyeberangi selat
Bering pada saat terjadinya masa glasial. Mereka kemudian disebut oleh Columbus
sebagai bangsa Indian sebagai akibat kesalahan Columbus menganggap daerah
tersebut adalah India. Orang-orang Indian ini telah mampu mengembangkan
kebudayaan dan peradaban yang sangat tinggi. Coba kamu ingat kembali tentang
hasil-hasil kebudayaan dan peradaban yang telah dihasilkan oleh bangsa Maya,
Inca, Toltec, A tec, dan lain-lain. Artinya sebelum Columbus datang ke Amerika,
di sana telah terbentuk suatu peradaban yang sangat tinggi. Bukti-bukti lain
yang menunjukkan bahwa telah datang bangsa-bangsa lain di Amerika sebelum
kedatangan Columbus bisa diperhatikan dari fakta-fakta berikut ini. Pada awal
abad ke-11, sekelompok penjelajah dari Norwegia yang lebih dikenal dengan
sebutan bangsa Viking, di bawah pimpinan Leif Ericson telah sampai di Vinland,
Amerika Utara. Kemudian pada abad ke-15 sebelum kedatangan Columbus
diperkirakan ekspedisi bangsa Cina di bawah pimpinan laksamana Cheng Ho juga
telah mendarat di benua Amerika. Melihat fakta-fakta tersebut, apakah masih
tepat pernyataan bahwa Columbus sebagai penemu benua Amerika?
Tampaknya pernyataan Columbus sebagai penemu benua Amerika
perlu dimaknai lebih dalam. Termasuk juga unsur Eropa Sentris yang sangat
kental dalam pernyataan tersebut. Pernyataan tersebut perlu dimaknai dari sisi
pengaruh yang ditimbulkan pasca penemuan benua Amerika oleh Columbus, khususnya
bagi Eropa. Penemuan oleh bangsa Viking ataupun oleh bangsa Cina tidak memberikan
dampak apa-apa bagi masyarakat dunia. Hal ini berbeda dengan pasca ditemukannya
benua Amerika oleh Columbus. Penemuan benua Amerika oleh Columbus kemudian
diikuti oleh para penjelajah lainnya seperti Ferdinand Magellan, Hernando
Cortez, Francisco Fizarro, John Cabot, Jacques Cartier, Sir Walter Raleigh,
Amerigo Vespucci, dan lain-lain. Kedatangan para penjelajah ini juga kemudian
diikuti dengan arus migrasi, yaitu perpindahan penduduk dari benua Eropa ke
benua Amerika. Baru setelah proses penjelajahan yang cukup panjang diyakinilah
bahwa daerah yang ditemukan oleh Columbus tersebut adalah suatu benua yang baru
diketahui keberadaannya yang kemudian diberi nama benua Amerika. Penamaan benua
Amerika sendiri diambil dari nama Amerigo Vespucci yang telah berhasil membuat
peta yang dapat menggambarkan keberadaan benua ini secara utuh. Kedatangan para
penjelajah Eropa ke benua Amerika membuka pintu bagi orang-orang Eropa untuk
bermigrasi ke Amerika. Misi para penjelajah datang ke Amerika tidak hanya
didasarkan pada petualangan saja, tetapi mengandung misi yang sangat besar
untuk mencari dan mendirikan daerahdaerah baru bagi negaranya. Hal ini didukung
juga oleh situasi dan kondisi yang terjadi di Eropa pada saat itu. Kebutuhan
akan rempah-rempah yang mendorong pencarian daerah-daerah utama penghasil
rempah-rempah serta semangat reconquista untuk menyebarkan agama Nasrani
menjadi pendorong kuat pencarian dan penaklukan daerah-daerah baru. Hal ini bisa
kita lihat dari proses kolonisasi yang dilakukan oleh negara Portugis dan
Spanyol. Akan tetapi untuk kasus kolonisasi yang terjadi di Amerika bagian
utara yang sekarang ini menjadi Kanada dan Amerika Serikat memiliki sejarah
yang berbeda. Arus migrasi bangsa Eropa yang datang ke Amerika Utara lebih banyak
didominasi oleh adanya keinginan kuat untuk mencari kebebasan di tanah yang
baru.
Pada abad XVII-XIX banyak penduduk Eropa Utara yang
bermigrasi ke Amerika Utara. Adapun yang mula-mula pindah adalah orang-orang
yang merasa tertindas oleh pertentangan agama ataupun politik yang terjadi di negaranya.
Pada abad ke-17, di Inggris terjadi perang agama antara golongan Anglikan dan
Puritan. Raja pada saat itu menganut aliran Anglikan dan menganggap golongan
Puritan dapat mengurangi kewibawaan raja. Oleh karena itu, terjadi penindasan
terhadap golongan puritan. Mereka yang tidak mau tunduk kepada paksaan raja terpaksa
pindah ke Amerika utara dengan tujuan untuk memperoleh kebebasan beragama di
tanah baru. Selain itu, di Prancis juga timbul perang agama antara golongan
Hogenot dengan golongan Katolik. Hal ini juga kemudian mendorong golongan
Hogenot untuk melakukan perpindahan ke Amerika Utara supaya dapat bebas menjalankan
agamanya.
Pemerintahan raja yang absolut dan penindasan-penindasan
dari raja serta kaum bangsawan terhadap rakyat menyebabkan banyak rakyat Eropa melakukan
migrasi ke Eropa. Sejak abad ke-18 dan ke-19, banyak orang Eropa yang
bermigrasi ke Amerika karena ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka
menjual semua hartanya untuk dibawa ke Amerika. Mereka berlayar dengan
kapal-kapal kecil menyeberangi lautan Atlantik. Mereka biasanya pindah secara
berkelompok-kelompok yaitu satu kapal terdiri atas orang-orang yang berasal
dari satu daerah dan setibanya di Amerika mereka mendiami satu tempat yang
sama. Di Amerika, mereka dihadapkan dengan berbagai tantangan dan kesulitan
seperti alam yang berat, hutan belantara yang lebat, binatang buas dan
permusuhan dengan suku-suku Indian.
Kaum imigran ini menempati daerah-daerah di pantai timur
Amerika Utara secara berkelompok sesuai dengan daerah asal mereka. Mereka
mempunyai sifat-sifat dan adat sendiri-sendiri yang berbeda. Daerah-daerah yang
ditempati oleh para imigran ini kemudian lebih dikenal dengan istilah koloni.
Koloni pertama di Amerika utara adalah Jamestown yang terletak di daerah
Virginia. Daerah ini dengan cepat berkembang menjadi daerah makmur setelah
berhasil mengembangkan penanaman tembakau.
Pada abad ke-17, sudah ada beberapa koloni di Amerika Utara
seperti Virginia, Massachussetts, Connecticut, New Hampshire, Maine, Maryland, Carolina,
New Jersey, Pennsylvania, dan lain-lain. Di tiap-tiap koloni itu berkembang
sikap kebebasan, lepas dari tekanan seperti yang mereka harapkan waktu
meninggalkan tanah airnya di Eropa. Koloni-koloni ini merupakan benih dari
munculnya negara Amerika Serikat pada kemudian hari.
Hubungan antara
koloni dengan Kerajaan Inggris
Setiap koloni berdiri sendiri dan terpisah. Tiap-tiap koloni
mempunyai pelabuhan-pelabuhan sendiri yang langsung berhubungan dengan Eropa.
Tiap-tiap koloni membentuk peraturan-peraturan untuk kepentingan mereka
sendiri, juga memilih pemimpin-pemimpin mereka dan Dewan Rakyat sendiri. Tetapi
ada hal-hal yang harus dilakukan secara bersama, umpamanya kegiatan perdagangan,
pelayaran, produksi barang jadi, dan pengadaan mata uang. Hal-hal ini
dilaksanakan secara bersama antarkoloni dan tentu saja memerlukan peraturan
bersama pula.
Keadaan perekonomian di setiap koloni semakin lama
menunjukkan perkembangan yang sangat baik. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan
koloni untuk mengekspor hasil pertanian ke negara-negara Eropa, khususnya
Inggris. Sesudah koloni-koloni di Amerika muncul dan berkembang, raja Inggris menghendaki
agar hubungan kerajaan Inggris dengan koloni-koloni tersebut jangan sampai
terputus. Untuk itu, raja Inggris mengangkat pejabat perwakilan kerajaan
Inggris seperti Gubernur Jenderal serta hakim koloni. Dewan Rakyat yang dipilih
oleh rakyat koloni bersama-sama dengan gubernur membuat peraturan-peraturan
untuk kesejahteraan koloni. Kemudian raja Inggris mulai membuat
peraturan-peraturan melalui gubernur untuk melaksanakan kebijakan yang pada umumnya
sesuai dengan kepentingan Inggris. Dewan penasihat raja Inggris juga sempat
menuntut haknya untuk meninjau kembali pembuatan peraturan-peraturan di koloni.
Hal ini menyebabkan beberapa peraturan di koloni yang telah dibuat bersama
antara Dewan Rakyat koloni dengan Gubernur diubah oleh Inggris untuk
kepentingan Kerajaan Inggris sendiri. Kaum kolonis selalu berusaha untuk
menghindari pembatasan dari Kerajaan Inggris itu.
Sejak pertengahan abad ke-17, Pemerintah Inggris sedikit
demi sedikit mulai mengeluarkan peraturan yang umumnya lebih menguntungkan
Inggris, tetapi pada umumnya kolonis-kolonis tidak mau menaati peraturan yang
dianggap merugikan mereka. Kebebasan politik yang cukup besar di koloni-koloni itu
akhirnya mengakibatkan hubungan mereka dengan Inggris makin jauh dan para
kolonis makin lebih bersifat Amerika daripada Inggris. Hubungan antara kolonis
dengan pihak kerajaan Inggris dilakukan atas dasar faktor-faktor sebagai
berikut.
- Inggris merupakan tanah kelahiran dari mayoritas para kolonis, sehingga secara psikologis terjalin ikatan emosional yang cukup erat dari para kolonis terhadap tanah Inggris;
- Meskipun dalam beberapa hal para kolonis tidak menyukai kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak pemerintahan Kerajaan Inggris dan justru inilah faktor yang mendorong kepindahan para kolonis ke Amerika, akan tetapi para kolonis masih mengakui raja Inggris sebagai raja mereka;
- Beberapa koloni dibentuk atas dukungan dana dari pihak pemerintahan Kerajaan Inggris, sehingga secara otomatis koloni tersebut akan terikat kuat dengan pemerintahan Kerajaan Inggris;
- Para kolonis masih sangat tergantung pada pihak Kerajaan Inggris terutama dalam segi keamanan. Pada masa itu para kolonis hidupnya belum aman karena banyaknya ancaman dari serangan orang Indian dan usaha-usaha perluasan wilayah yang dilakukan oleh negara Eropa lainnya seperti Prancis dan Spanyol. Para kolonis belum memiliki tentara yang dapat diandalkan untuk menjaga keamanan, sehingga masih dibutuhkan bantuan tentara Kerajaan Inggris.
Di antara faktor-faktor tersebut, tampaknya faktor yang
terakhir merupakan hal dominan yang menyebabkan kuatnya ketergantungan para
kolonis terhadap kekuasaan Inggris di Amerika. Hal ini dibuktikan dengan
terjadinya perang antara Inggris dengan Prancis yang dipicu masalah perluasan
kekuasaan kedua negara di Amerika. Masalah inilah yang pada akhirnya juga
memicu gerakan para kolonis untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan
Inggris. Dalam usaha meluaskan pengaruh kekuasaan Prancis di Amerika, lalu Prancis
mengirimkan para pemukim, penjelajah, misionaris serta pedagang ke lembah
sungai St. Lawrence di Kanada sebelah timur. Selain itu, Prancis juga mulai
menguasai lembah sungai Mississippi sampai New Orleans, sehingga daerah
kekuasaan Prancis membentang di sebelah barat koloni Inggris. Hal ini
menyebabkan terhalangnya perluasan daerah pertanian baru bagi koloni Inggris
yang saat itu justru sedang gencar melakukan penjelajahan ke arah barat. Pada
tahun 1754, timbul bentrokan bersenjata antara tentara Prancis dengan anggota
milisi koloni Virginia di bawah pimpinan George Washington. Bentrokan tersebut
pada akhirnya memicu pecahnya perang antara Prancis dengan Inggris. Perang yang
terjadi antara tahun 1756-1763 ini kemudian dikenal dengan sebutan perang laut
tujuh tahun. Hal ini didasarkan pada lamanya perang tersebut yang berlangsung
selama tujuh tahun. Perang ini tidak hanya berlangsung di Amerika saja, melainkan
juga di belahan dunia lainnya yang terdapat kekuasaan Inggris dan Prancis yaitu
utamanya di India. Perang laut tujuh tahun ini dimenangkan oleh Inggris yang
ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Paris pada tahun 1763. Isi
perjanjian Paris 1763 tersebut adalah:
- Kanada dan Lousiana di sebelah timur Mississippi menjadi hak milik Inggris, sedangkan Prancis diberikan daerah di sebelah barat Mississippi;
- Prancis harus menyerahkan semua jajahannya di India kepada Inggris. Akhir peperangan tersebut, kekuasaan Prancis mulai berkurang di Amerika, sehingga Inggris muncul menjadi kekuatan terbesar di Amerika Utara. Setelah menang dari Prancis, wilayah kekuasaan Inggris di Amerika luasnya menjadi dua kali lipat daripada wilayah sebelumnya. Hal ini akan berdampak pada sistem pertahanan dan pemerintahan yang harus dijalankan di koloni-koloni Inggris tersebut. Wilayah yang luas berarti membutuhkan tentara dan pegawai yang banyak serta membutuhkan finansial yang lebih besar untuk mengurus segala keperluan negara.
Gerakan-gerakan
Koloni menuju Kemerdekaan
Kemenangan Inggris dalam perang laut tujuh tahun membawa
dampak yang sangat besar bagi perkembangan kehidupan para koloni selanjutnya. Bagi
para koloni, pengalaman perang laut tujuh tahun membuat mereka lebih berani
untuk menuntut kebebasan yang lebih besar dari kekuasaan Inggris. Hal ini
disebabkan dalam perang laut tujuh tahun tersebut para koloni juga ikut andil
dalam kancah peperangan. Pembentukan milisi-milisi dari setiap koloni
memberikan pengalaman dan keyakinan bagi para koloni bahwa mereka sanggup untuk
mempertahankan keamanan daerahnya sendiri meskipun tanpa bantuan tentara
Inggris. Sebaliknya, pemerintah Inggris sesudah perang membutuhkan lebih banyak
lagi uang untuk mengganti kerugian perang serta untuk mengatur wilayah yang semakin
luas. Untuk menambah sumber keuangan Inggris maka pemerintah Inggris
memberlakukan berbagai pajak terhadap para koloni, di antaranya sebagai
berikut.
- Sugar Act (undang-undang gula), yaitu pemberlakuan pajak untuk mengatur perdagangan gula di daerah koloni. Melalui undang-undang ini, Inggris menetapkan pajak dan bea cukai perdagangan gula.
- Curency Act (Undang-undang keuangan), yaitu pelarangan bagi setiap koloni untuk mencetak mata uang sendiri.
- Stamp Act (Undang-undang Perangko), yaitu pemberlakuan pajak bagi setiap dokumen dan surat-surat penting yang digunakan dalam kegiatan perdagangan.
- Quartering Act, yaitu undang-undang yang berisi tentang kewajiban bagi setiap koloni untuk menyediakan tempat tinggal dan kebutuhan makanan bagi tentara Inggris yang ditempatkan di daerah-daerah koloni.
Untuk mencegah penyelundupan maka kapal perang Inggris di
perairan Amerika ditugaskan untuk menangkap semua penyelundupan serta member kuasa
kepada petugas kerajaan untuk menggeledah dan menangkap siapa saja yang dicurigai.
Pemungutan pajak secara paksa telah menimbulkan kegelisahan di antara para
pedagang yang selama ini telah mengadakan perdagangan dengan luar negeri tanpa
bea apapun. Pemungutan pajak baru ini akan merugikan para pedagang.
Undang-undang mata uang yang melarang surat kredit yang dikeluarkan di
koloni-koloni telah menghambat kelancaran perdagangan karena mereka kekurangan
mata uang sebagai alat pembayaran. Undang-undang perangko yang mengenakan pajak
berupa perangko dan materai bagi surat-surat pos dan surat-surat resmi lainnya
dirasakan oleh masyarakat koloni sebagai beban baru. Demikian juga dengan
Undang-undang yang mengharuskan koloni menyediakan keperluan dan persediaan
bagi pasukanpasukan kerajaan Inggris di koloni dianggap oleh koloni sangat
memberatkan mereka. Timbul reaksi yang cukup hebat di kalangan masyarakat
koloni yang menentang pemberlakuan pajak-pajak tersebut. Reaksi-reaksi tersebut
ditunjukkan oleh berbagai lapisan masyarakat koloni tidak hanya kaum pedagang
saja, seperti wartawan, ahli hukum, pendeta, pengusaha dan lain-lain. Para
pedagang besar bersatu untuk tidak mendatangkan barang-barang dari Inggris,
sehingga perdagangan dengan Inggris merosot secara tajam pada tahun 1765.
Selain itu, sebagian besar penduduk koloni bersepakat untuk memboikot
barangbarang dari Inggris dan sebagai gantinya mereka akan mempergunakan
barangbarang yang dihasilkan sendiri oleh koloni-koloni. Oleh karena itu,
mereka tidak perlu membayar pajak bagi barang-barang yang berasal dari Inggris.
Para koloni menolak membayar pajak karena mereka menganggap
tidak memiliki wakil di parlemen Inggris. Oleh karena itu, mereka tidak berhak
dikenakan pajak untuk kerajaan Inggris. Pada saat itu muncul tuntutan yang
berupa slogan no taxation without representation (tidak ada pajak tanpa adanya
perwakilan pihak koloni). Para koloni baru akan membayar pajak apabila mereka
memiliki perwakilan di dalam parlemen Inggris yang tentu saja akan membawa
aspirasi mereka. Pada tahun 1765, diadakan kongres di antara wakil-wakil koloni
di Amerika. Dalam kongres tersebut, koloni-koloni sependapat untuk
mempersatukan sikap mereka dalam menentang campur tangan parlemen Inggris dalam
urusanurusan Amerika. Kongres ini juga mengajukan resolusi yang berisi bahwa parlemen
Inggris tidak berhak memutuskan untuk memungut pajak dari koloni-koloni, melainkan
hanya badan legislatif koloni masing-masing yang berhak menentukan pajak dari
koloni-koloninya.
Reaksi penolakan masyarakat koloni terhadap pemberlakuan
pajak dari Inggris ini dilakukan juga dengan cara menolak kedatangan para
pejabat pemungut pajak yang ditugaskan oleh pihak Inggris. Reaksi tersebut
bahkan sampai menimbulkan pertumpahan darah seperti ditunjukkan dengan
terjadinya peristiwa yang disebut dengan Pembantaian Boston (The Boston
Massacre) pada tahun 1770. Peristiwa ini terjadi ketika pejabat pemungut pajak dating
ke kota Boston dan mereka kemudian disambut oleh penduduk kota tersebut dengan
mengeroyok dan memukuli para pejabat tersebut. Hal ini kemudian dibalas oleh
pihak Inggris dengan cara mendatangkan sejumlah tentara. Kehadiran pasukan
Inggris tersebut semakin memicu kemarahan penduduk kota Boston, sehingga
terjadilah kerusuhan yang kemudian menewaskan lima orang sipil. Peristiwa
tersebut menggambarkan betapa pemerintah kolonial Inggris telah memaksakan kehendaknya
kepada rakyat Amerika. Untuk sementara ketegangan dapat diredakan dengan
dicabutnya pemberlakuan pajak-pajak tersebut oleh Inggris, kecuali pajak teh.
Inggris mengeluarkan undang-undang teh yang memberikan hak monopoli kepada East
India Company untuk melakukan ekspor teh ke seluruh daerah koloni. Para koloni
memberikan reaksi dengan jalan melakukan boikot seluruh produksiteh Inggris
yang dimasukkan ke koloni. Para koloni meminta agar para agen Inggris tidak
menjual tehnya ke pasar Amerika dan mengembalikan teh-the yang sudah sampai di
Amerika ke Inggris atau ditimbun di gudang-gudang. Akan tetapi para pengusaha
Inggris ini tidak mengindahkan anjuran kaum kolonis dan tetap memasukkan
teh-teh tersebut ke pelabuhan Amerika. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari
para koloni.
Pada malam tanggal 16 Desember 1973, dengan menyamar sebagai
Indian Mohawk, kaum kolonis menaiki tiga kapal Inggris bermuatan teh yang
sedang berlabuh di pelabuhan Boston. Mereka kemudian menceburkan muatan the tersebut
ke laut, sehingga laut kota Boston berubah menjadi lautan teh. Peristiwa ini
oleh kaum kolonis disebut Boston Tea Party (pesta teh Boston) ini sangat menjengkelkan
dan menimbulkan kemarahan bagi Inggris. Peristiwa teh Boston memicu parlemen
Inggris untuk mengeluarkan peraturan-peraturan bagi koloni di Amerika. Peraturan-peraturan
yang kemudian disebut oleh para kolonis sebagai undang-undang paksaan ini
berisi tentang:
- menutup pelabuhan kota Boston sampai muatan tehnya selesai dibayar;
- anggota dewan rakyat Massachussetts akan ditunjuk oleh raja Inggris yang sebelumnya dipilih oleh rakyat koloni itu sendiri;
- anggota dewan juri dalam pengadilan ditunjuk oleh Sherif yang merupakan bawahan gubernur, sedangkan sebelumnya dipilih oleh rapat koloni;
- rapat kota diadakan hanya dengan i in gubernur, sedangkan sebelumnya tidak diperlukan i in.
Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris
itu sangat menyinggung perasaan kaum kolonis terutama penduduk kota Boston.
Penduduk koloni-koloni lain pun memberikan dukungan dengan cara mengadakan
rapat bersama antarkoloni pada tanggal 5 Desember 1774. Rapat yang diadakan di
kota Philadelphia ini kemudian dikenal dengan sebutan Kongres Kontinental Kesatu.
Dalam kongres ini semua delegasi sepakat untuk mengeluarkan deklarasi hak dan
keluhan (Declaration of Right and Grievances) yang berisi pernyataan akan tetap
setia kepada raja, namun tetap menentang hak parlemen Inggris untuk mengenakan
pajak terhadap koloni-koloni di Amerika. Tampaknya para koloni belum memiliki
kesadaran dan keinginan untuk melepaskan diri dari Inggris. Meskipun beberapa
penduduk koloni yang disebut sebagai kaum patriot mengobarkan keinginan
kemerdekaan koloni Amerika dari tangan Inggris. Akan tetapi sebagian besar para
koloni tetap menghendaki adanya hubungan dengan Kerajaan Inggris. Kongres
kontinental Kedua yang diselenggarakan pada tanggal 10 Mei 1775 pun belum
mencapai pada kesepakatan melepaskan diri dari Inggris. Meskipun pada saat itu,
sudah pecah perang antara milisi koloni dengan tentara Inggris, akan tetapi
kesepakatan yang dicapai baru sebatas perlunya mengangkat senjata untuk melawan
kesewenangan Inggris dan belum pada pernyataan kemerdekaan. Pada waktu itu,
orang-orang Amerika sesungguhnya belum insaf akan tujuan perang mereka. Mereka
berperang karena mereka merasa tertindas oleh aturan-aturan Inggris dan bukan
untuk merdeka.
Para patriot Amerika terus berusaha untuk menggugah para
kolonis Amerika untuk menyatakan kemerdekaan dari Inggris. Salah seorang dari
kaum patriot ini adalah Thomas Paine yang membuat sebuah tulisan yang kemudian
diberi judul Common Sense. Tulisan Paine berisi tentang gugatan terhadap system
kerajaan dan Raja Inggris. Melalui tulisannya, Paine menggugah rakyat Amerika untuk
berpikir secara rasional lagi akan maksud dari keberadaan mereka di tanah
Amerika ini. Bentuk Kerajaan Inggris sudah tidak cocok lagi bagi rakyat
Amerika. Oleh karena itu, perlu dibentuk pemerintahan baru yang cocok dengan
kepribadian rakyat Amerika. Pemerintahan baru tersebut adalah pemerintahan yang
berbentuk Republik yang diperintah oleh orang-orang Amerika sendiri. Dengan
demikian, perlu dilakukan pernyataan kemerdekaan dari tangan Inggris. Tulisan
dari Paine ini menarik sekitar 150.000 pembaca di Amerika dan berhasil
mempengaruhi rakyat Amerika untuk mendesak kongres masing-masing koloni
menyatakan kemerdekaan.[gs]
http://www.gurusejarah.com/2015/02/revolusi-amerika.html