perkembangan masyarakat, kebudayaan, maupun pemerintahan pada masa Hindu-Buddha di Indonesia

Daerah yang mendapat pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia dapat dilihat dari kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, seperti Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Tarumanegara di Jawa Barat, Mataram Kuno di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sriwijaya di Sumatera, Kediri di Jawa Timur, Singasari di Jawa Timur, dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Dari beberapa kerajaan tersebut, kita dapat melihat bagaimana perkembangan masyarakat, kebudayaan, maupun pemerintahan pada masa Hindu-Buddha di Indonesia.
1. Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur
Kerajaan Kutai berdiri sekitar tahun 400-500 Masehi, dengan pusat kerajaan terletak pada aliran Sungai Mahakam Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Perkembangan masyarakatnya sudah lebih maju dibanding sebelum ada kerajaan. Kebudayaannya berkembang bersamaan dengan kebudayaan yang sudah ada sebelumnya. Pemerintahannya berkembang seiring dengan perkembangan kerajaan itu sendiri.
Raja yang terkenal adalah Raja Mulawarman, anak dari Aswawarman, cucu dari Kudungga, raja pertama Kutai. Raja Mulawarman adalah penganut Hindu Syiwa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bukti dari salah satu prasastinya yang menyebutkan tempat suci Waprakeswara, yaitu tempat suci yang selalu disebut berhubungan dengan Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu, dan Syiwa.
Bukti yang mendukung adanya Kerajaan Kutai adalah diketemukannya tujuh buah Yupa (tugu batu bertulis untuk peringatan upacara korban) di daerah aliran Sungai Mahakam. Yupa dibuat atas perintah Raja Mulawarman. Kerajaan Kutai mengalami perkembangan yang pesat karena letaknya yang strategis, yaitu sebagai persinggahan kapal-kapal yang menempuh perjalanan melalui Selat Makassar.
2. Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat
Kerajaan Tarumanegara berdiri kurang lebih pada abad ke-5 Masehi, di Jawa Barat dengan rajanya bernama Purnawarman. Kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan yang mendapat pengaruh agama Hindu.
Perkembangan masyarakat yang dulunya hanya hidup berkelompok, dengan adanya kerajaan menjadi lebih tertata. Sedangkan kebudayaannya berkembang saling mempengaruhi dengan kebudayaan lama sebelum masuknya pengaruh Hindu. Pemerintahannya berkembang seiring dengan Perkembangan zaman.
Bukti yang mendukung adanya Kerajaan Tarumanegara, yaitu dengan diketemukannya tujuh buah prasasti di daerah Bogor, di Jakarta, dan di Lebak Banten, serta adanya berita dari Cina. Prasasti-prasasti tersebut adalah Prasasti Ciaruteun, Prasasti Pasir Koleangkak atau Prasasti Jambu, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, Prasasti Muara Cianten, dan Prasasti Cidanghiang atau Lebak.
Prasasti Tugu sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya Kerajaan Tarumanegara, isinya menyatakan letak ibukota Kerajaan Tarumanegara. Prasasti ini juga menerangkan penggalian Sungai Cabdrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada masa pemerintahannya. Penggalian ini dimaksudkan untuk menghindari bencana alam berupa banjir dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
3. Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah dan Jawa Timur
Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah, dengan pusat  lembah Kali Progo, yang meliputi Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Ibukotanya Medang Kamulan, dengan raja yang pertama kali memerintah adalah Raja Sanjaya, penganut Hindu. Sumber berita adanya Kerajaan Mataram Kuno adalah Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 Masehi, dikeluarkan oleh Raja Sanjaya, berisi tentang pendirian sebuah Lingga di Desa Kunjarakunja. Prasasti Canggal menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta.
Keadaan masyarakatnya sudah lebih maju, karena sebenarnya sudah ada kerajaan di Jawa Tengah, namun bukti yang menunjukkannya kurang jelas. Demikian pula perkembangan kebudayaan juga sudah lebih maju. Sedangkan perkembangan pemerintahannya, dapat diketahui dari peninggalan sejarah yang ada, sejak zaman Raja Sanjaya.
Sanjaya menaklukkan daerah sekitar Mataram Kuno, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, bahkan memerangi juga Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Setelah Sanjaya wafat, digantikan oleh putranya yang bernama Panangkaran. Pada masa pemerintahan Raja Panangkaran, agama Buddha mulai masuk ke Jawa Tengah sehingga keturunan Syailendra sudah ada yang memeluk agama Buddha.
Setelah Raja Panangkaran wafat, Kerajaan Mataram Kuno terpecah menjadi dua. Keturunan Syailendra yang beragama Hindu membangun Kerajaan Mataram di Jawa Tengah bagian utara. Mereka membangun candi-candi Hindu, antara lain di kompleks Candi Dieng, yang terdiri atas Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Puntadewa, Candi Nakula, dan Candi Sadewa.
Keturunan Syailendra yang beragama Buddha Membangun Kerajaan Mataram Di Jawa Tengah bagian selatan. Mereka membangun candi-candi Buddha, antara lain Candi Pawon, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sari, dan Candi Borobudur. Candi Borobudur dibangun Pada saat pemerintahan Raja Samaratungga sekitar tahun 850 Masehi.
Raja Samaratungga yang memerintah Mataram Kuno di Jawa Tengah bagian selatan, mempunyai dua orang putera dari isteri yang berlainan.
- Pramodhawardhani, yang kemudian dikawinkan dengan Rakai Pikatan, pengganti Rakai Garung yang memerintah Jawa Tengah bagian utara.
- Balaputradewa, hasil perkawinan Raja Samaratungga dengan seorang puteri dari Kerajaan Sriwijaya. Balaputradewa memerintah Jawa Tengah bagian selatan tahun 833-856 Masehi.
Setelah Raja Samaratungga wafat, kedudukannya digantikan oleh Balaputradewa. Beberapa saat kemudian, terjadi perang saudara di Mataram Kuno dengan wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Perang saudara tersebut antara Pramodhawardhani dengan suaminya (Rakai Pikatan) di satu pihak, melawan Balaputradewa di pihak yang lain.
Pada tahun 856 M, Rakai Pikatan berhasil mengusir Balaputradewa, yang kemudian melarikan diri ke Sriwijaya. Akhirnya Pramodhawardhani bersama-sama suaminya (Rakai Pikatan) dapat memerintah kerajaan dengan tenang. Pramodhawardhani mendirikan Candi Plaosan (Candi Sewu) yang bersifat Buddha. Sedangkan suaminya (Rakai Pikatan) mendirikan bangunan yang bersifat Hindu, dan memprakarsai pem-bangunan Candi Prambanan.
Setelah Rakai Pikatan wafat, berturut-turut yang menggantikannya adalah Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalang, Rakai Watukura Dyah Balitung, Raja Daksa, Raja Tulodong, Raja Wawa (merupakan Dinasti Sanjaya yang terakhir).
Pada tahun 929 M ibukota Mataram Kuno dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok, dengan pusat pemerintahannya di antara Gunung Semeru dan Gunung Wilis. Kerajaan baru ini tidak lagi disebut Mataram, melainkan disebut Medang. Mpu Sindok merupakan raja pertama dari Dinasti Isyana yang memerintah tahun 929-947 M di Kerajaan Medang.
Sebelum pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur, sebenarnya Mpu Sindok sudah sering ditugaskan ke Jawa Timur, termasuk memperoleh kemenangan yang gilang gemilang melawan tentara Sriwijaya di bumi Anjuk Ladang pada tahun 927M. Hal ini dibuktikan dengan adanya Prasasti Anjuk Ladang di Nganjuk Jawa Timur, yang berangka tahun 937 M. Prasasti Anjuk Ladang adalah Tugu Kemenangan Mpu Sindok melawan tentara Sriwijaya yang melibatkan rakyat Anjuk Ladang yang telah membantu perjuangan Mpu Sindok sepuluh tahun sebelumnya.
Raja yang memerintah Mataram Kuno setelah Mpu Sindok adalah Sri Isyanatunggawijaya, Makutawangsawardhana, Dharmawangsa Teguh Anantawikramatungga dewa, dan Airlangga.
Kerajaan Medang dengan meninggalnya Mpu Sindok
seakan tenggelam dalam sejarah, karena raja-raja penggantinya sangat pelit mewariskan bukti peninggalan sejarah bagi generasi sekarang, sehingga menyulitkan penelusurannya. Namun Prasasti Bandar Alim yang ditulis oleh Kaki Manta tahun 907 Caka (985 Masehi), yang ditemukan di Bandar Alim, Desa Demangan, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, yang sekarang disimpan di Museum Trowulan, Mojokerto, paling tidak telah memberikan sumbangan yang tiada terhingga bagi penelusuran sejarah, khususnya Kerajaan Medang.
4. Kerajaan Sriwijaya di Sumatera
Sumber pengetahuan tentang Kerajaan Sriwijaya ada dua, yaitu dari prasasti dan dari berita Cina.  Prasasti-prasasti yang merupakan sumber sejarah keberadaan Kerajaan Sriwijaya ditulis dengan huruf Pallawa dengan menggunakan Bahasa Melayu Kuno. Prasasti-prasasti Tersebut antara lain Prasasti Kedukan Bukit (683 M), Prasasti Talang Tuo (684 M), Prasasti Palas Pasemah, Prasasti Kota Kapur (686 M), Prasasti Karang Berahi (686 M), dan Prasasti Nalanda (India).
Perkembangan masyarakatnya sudah jauh lebih maju, seiring dengan perkembangan kebudayaan maupun perkembangan pemerintahan di Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada abad ke-7 dan ke-8 Masehi, terutama saat diperintah oleh Raja Balaputradewa, yang berasal dari Jawa Tengah. Balaputradewa adalah anak Samaratungga, Raja Mataram Kuno. Ia melarikan diri ke Sriwijaya karena Kalah perang melawan  saudaranya (satu Ayah lain ibu), yaitu Pramodhawardhani dengan suaminya Rakai Pikatan.
Kejayaan Sriwijaya dapat dilihat dari keberhasilannya di beberapa bidang, antara lain di bidang maritim, menguasai jalur perdagangan melalui Selat Malaka, Selat Sunda, Semenanjung Malaya, dan sebagainya. Sriwijaya pun juga menjalin hubungan dagang yang baik dengan India, Cina, dan bangsa-bangsa lain.
Selain menonjol di bidang maritim, Kerajaan Sriwijaya juga maju dalam bidang politik, ekonomi, dan agama Buddha. Dalam bidang politik, Kerajaan Sriwijaya adalah Negara nasional pertama Indonesia, karena wilayahnya luas, meliputi berbagai kepulauan di Indonesia. Dalam bidang ekonomi, Kerajaan Sriwijaya menguasai perdagangan di wilayah perairan Asia Tenggara. Dalam bidang agama Buddha, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi pusat agama Buddha Mahayana di Asia Tenggara, dengan salah satu gurunya yang terkenal bernama Sakyakirti.
Masa keruntuhan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke-12, disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut.
a. Berulangkali diserang Kerajaan Golamandala dari India.
b. Terdesak dari dua jurusan, yaitu Kerajaan Thailand dan Kerajaan Singosari.
c. Banyak raja-raja taklukan yang melepaskan diri, antara lain Ligor, Tanah Genting Kra, Kelantan, Pahang, Jambi, dan Sunda.
d. Mengalami kemunduran perekonomian dan perdagangan, karena bandar-bandar penting melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya.
5. Kerajaan Kediri di Jawa Timur
Airlangga memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua, yaitu Jenggala dan Kediri untuk dua orang putranya agar tidak terjadi pertumpahan darah atau perang saudara. Namun usaha ini tidak berhasil, mereka selalu berselisih. Perang saudara tersebut dimenangkan oleh Kediri. Kerajaan Kediri akhirnya tumbuh menjadi kerajaan besar.
Pada masa Kerajaan Kediri, perkembangan masyarakatnya sudah jauh lebih maju dibandingkan masyarakat yang hidup pada masa-masa sebelumnya. Demikian pula dengan kebudayaannya yang maju pesat seiring dengan perkembangan pemerintahannya.
Raja Kediri yang terkenal adalah Raja Jayabaya (1135-1157). Pada masa pemerintahan Raja Jayabaya, telah ditulis Sebuah Kitab Kakawin dengan nama Bharatayudha Oleh Empu Sedah Yang diteruskan oleh Empu Panuluh Karena Empu Sedah meninggal dunia. Kitab Kakawin Bharatayudha Menggambarkan perang saudara antara Pandawa dan Kurawa. Kitab ini banyak diilhami oleh perang saudara yang Terjadi antara Kerajaan Jenggala melawan Kerajaan Panjalu (Kediri).
6. Kerajaan Singosari
Tumapel di daerah Malang yang masuk wilayah Kerajaan Kediri, dikepalai seorang Akuwu yang bernama Tunggul Ametung, yang mati dibunuh Ken Arok dengan Keris Mpu Gandring. Ken Arok mengadakan pemberontakan dan berhasil membunuh semua penguasa Kediri, termasuk rajanya saat itu, yaitu Kertajaya. Kerajaan dipindah ke Singosari dengan Ken Arok sebagai raja yang pertama, dan pendiri Dinasti Rajasa atau Dinasti Girindra. Ken Arok adalah cikal bakal raja-raja di Singosari dan Majapahit.
Perkembangan masyarakat pada zaman Kerajaan Singosari sudah sangat maju. Demikian pula perkembangan kebudayaan maupun perkembangan pemerintahannya, yang nampak dari peninggalan-peninggalan sejarahnya.
Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222-1227), Karena ia pada tahun 1227 Dibunuh oleh seorang pengalasan atas perintah Anusopati (anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung), dengan menggunakan Keris Empu Gandring. Setelah Ken Arok, yang menjadi raja Singosari berturut-turut adalah Anusopati (1227-1248 M), Tohjaya (1248 M), Ranggawuni/Wisnuwardhana (1248-1268 M), dan Kertanegara (1268-1292 M).
Pada zaman Raja Kertanegara, wilayah kekuasaan Kerajaan Singosari menjadi sangat luas, meliputi seluruh Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Melayu, dan Semenanjung Malaya. Ketika Kertanegara Sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi ke luar Jawa, Raja Kecil Di Kediri Jayakatwang, mengadakan pemberontakan tahun 1292, Mengakibatkan para pembesar kerajaan dan Raja Kertanegara gugur. Kerajaan Singosari yang besar itu akhirnya runtuh setelah pemberontakan Jayakatwang pada tahun 1292.
7.   Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya dengan bantuan Arya Wiraraja, setelah berhasil mengalahkan Jayakatwang dengan bantuan tentara Mongolia, dan setelah membinasakan tentara Mongolia yang kena tipu muslihat Raden Wijaya. Perkembangan masyarakat, perkembangan kebudayaan, dan perkembangan pemerintahan masa Kerajaan Majapahit terbilang sangat maju, bersamaan dengan kebesaran Kerajaan Majapahit itu sendiri.
Raja-raja yang pernah memerintah di Majapahit adalah sebagai berikut.
a. Raden Wijaya (1293-1309 M)
Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja Majapahit yang pertama pada tahun 1293 M. Dari istrinya yang bernama Dara Petak, Raden Wijaya mempunyai anak bernama Jayanegara (Kalagemet). Sedang perkawinan Raden Wijaya dengan Gayatri, lahir Tribhuwanatunggadewi (Bhre Kahuripan) dan Pujadewi Maharajasa (Bhre Daha). Keturunan dari Gayatri inilah yang melahirkan raja-raja di Majapahit.
b. Jayanegara (1309-1328 M)
Pada masa pemerintahannya banyak muncul pemberontakan. Paling berat adalah pemberontakan Kuti (1319) Yang hampir meruntuhkan Majapahit. Kuti berhasil menduduki ibukota Majapahit dan Jayanegara menyingkir ke Bedander. Namun akhirnya pemberontakan dapat dipadamkan dan Jayanegara dapat diselamatkan oleh Pasukan Bhayangkari di bawah pimpinan Gajah Mada.
Atas jasanya ini Gajah Mada diangkat sebagai patih di Kahuripan pada tahun 1321, lalu sebagai Patih di Daha pada tahun 1323. Pada tahun 1328, Jayanegara wafat karena dibunuh oleh Tabib Tanca. Pemberontakan inipun dapat dipadamkan oleh Gajah Mada dan Tabib Tanca dibunuh.
c. Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1350 M)
Raja Jayanegara tidak mempunyai keturunan. Ia digantikan oleh adik perempuan dari ibu yang berbeda (Gayatri), yaitu Bhre Kahuripan yang dinobatkan menjadi Raja Majapahit Dengan gelar Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani. Ia memerintah bersama suaminya Bhre Singasari, dan dibantu Patih Gajah Mada.
Dalam Kitab Negarakertagama, antara lain dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi, telah terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta pada tahun 1331, namun dapat ditumpas oleh Gajah Mada. Kemudian Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Majapahit.
Pada tahun 1350, Tribhuwanatunggadewi menyerahkan kekuasaan Kerajaan Majapahit kepada anaknya yang bernama Hayam Wuruk.
d. Hayam Wuruk (1350-1389 M)
Hayam Wuruk diserahi tahta Kerajaan Majapahit dengan gelar Sri Rajasanegara. Saat itu ia masih berusia 16 tahun. Dalam Menjalankan pemerintahan, Hayam Wuruk Didampingi Mahapatih Gajah Mada, yang menjalankan Pemerintahan sipil dan militer secara lengkap.
Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya ketika rajanya Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Saat itu wilayah kekuasaan Majapahit hampir meliputi seluruh nusantara, termasuk Tumasik (Singapura) dan Semenanjung Melayu. Pengaruhnya bahkan sampai ke Filipina Selatan, Thailand (Champa), dan Indocina.
Peninggalan Hayam Wuruk yang berupa candi adalah Candi Penataran, Candi Sawentar, Candi Sumber Jati (di daerah Blitar), Candi Tikus di Trowulan, Candi Jabung didekat Kraksaan, Candi Tlagawangi dan Candi Surawana di dekat Pare, Kediri. Peninggalan berupa kesusastraan, yaitu Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca, berisi  sejarah Kerajaan Singosari dan Majapahit sampai masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Karya sastra lain, yaitu Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular.
Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran sejak meninggalnya Mahapatih Gajah Mada pada 1364 dan meninggalnya Hayam Wuruk pada 1389. Di samping itu, juga terjadi  perang saudara yang terkenal dengan nama Perang Paregreg.
Ranawijaya merupakan raja Majapahit terakhir yang gagal mengembalikan Majapahit pada kejayaannya. Banyak raja-raja taklukan di bawah Majapahit yang melepaskan diri. Di samping itu, pengaruh agama Islam mulai berkembang di pesisir utara Pulau Jawa, yang diikuti dengan berkembangnya Kerajaan Demak yang beragama Islam. Banyak pejabat Demak keturunan Majapahit yang sudah memeluk agama Islam.