Dampak gerhana matahari terhadap bumi

 KOMPAS.com -  Setiap saat, Matahari selalu mengembuskan partikel-partikel bermuatannya ke antariksa, baik saat badai matahari maupun tidak. Aliran partikel bermuatan yang disebut angin matahari itu menyebar ke segala arah hingga tepian tata surya. Saat angin matahari menabrak Bumi, medan magnet Bumi pun akan terpengaruh.

Ketika terjadi ledakan di Matahari yang disebut lontaran massa korona (coronal mass ejection), aliran partikel bermuatan yang menabrak Bumi itu kian bertambah besar. Kondisi itu bukan hanya memengaruhi medan magnet Bumi, melainkan juga bisa melemahkannya hingga menimbulkan badai geomagnetik.

Badai itu bisa menguatkan terbentuknya aurora di daerah lintang tinggi, baik aurora Borealis maupun Australis. Bahkan, badai itu bisa mengganggu satelit yang memengaruhi sistem telekomunikasi di Bumi dan sistem kelistrikan Bumi di daerah dekat kutub.

Saat angin Matahari menabrak Bumi, daerah khatulistiwa tak terlalu berdampak karena medan magnet Bumi atau magnetosfer bersifat seperti tameng. ”Ketika partikel bermuatan menabrak khatulistiwa Bumi, partikel itu dibuang ke kutub Bumi,” kata Kepala Subbidang Magnet Bumi dan Listrik Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Suaidi Ahadi, Kamis (25/2).

Namun, masih ada partikel bermuatan itu yang lolos dan masuk ke wilayah lintang rendah di sekitar khatulistiwa dan lintang menengah yang dinamakan continuous pulsations (Pc) atau pulsa kontinu. Pulsa kontinu yang masuk ke daerah lintang rendah dan menengah adalah Pc3 yang memiliki periode 10-45 detik dan Pc4 dengan periode 45-150 detik. Adapun Pc1 dan Pc2 masuk ke lintang tinggi.

”Saat terjadi badai matahari, Pc3 bisa mengganggu sinyal telepon dan radio, sedang Pc1 dan Pc2 menyebabkan padamnya listrik,” katanya.

Gerhana

Saat Gerhana Matahari, lanjut Suaidi, aliran angin matahari yang menuju Bumi terhalang Bulan. Dalam kasus Gerhana Matahari total (GMT), 9 Maret 2016, yang terjadi di sekitar khatulistiwa, aliran Pc3 dan Pc4 tidak akan muncul di daerah lintang rendah.

Mengutip penelitian P Bencze dkk dalam ”Effect of the August 11, 1999 Total Solar Eclipse on Geomagnetic Pulsations” di Acta Geodaetica et Geophysica Hungarica, 2007, kata Suaidi, selama GMT, aliran Pc3 dan Pc4 memang berubah. Namun, perubahannya tidak signifikan. Meski demikian, data penghitungan medan magnet itu tetap berguna.

Saat GMT, para ilmuwan bisa menentukan nilai medan magnetik Bumi sebenarnya pada titik tertentu di Bumi yang dilintasi jalur totalitas gerhana. Nilai kemagnetan Bumi dipengaruhi banyak hal, dari dalam dan luar Bumi. Karena itu, saat Bulan mengeblok angin matahari, maka medan magnetik asli yang ditimbulkan Bumi bisa diukur.

Pada 9 Maret, BMKG akan mengukur medan magnet Bumi sebenarnya menggunakan magnetometer atau variometer di Tanjungpandan, Kepulauan Bangka Belitung, dan Palu, Sulawesi Tengah.

Hasil pengukuran itu akan dibandingkan dengan pengukuran di stasiun medan magnet Bumi BMKG di enam lokasi yang hanya mengalami Gerhana Matahari sebagian sehingga aliran Pc3 dan Pc4 tetap ada. Keenam stasiun BMKG itu adalah Tuntungan (Sumatera Utara), Tangerang (Banten), Palabuhanratu (Jawa Barat), Kupang (Nusa Tenggara Timur), Manado (Sulawesi Utara), dan Jayapura (Papua).

Menurut Suaidi, data medan magnet Bumi sebenarnya diperlukan untuk menentukan arah dalam navigasi, menentukan ketepatan posisi pengeboran dalam eksplorasi sumber daya mineral, serta memprediksi perubahan iklim. ”Selama ini, faktor perubahan medan magnet Bumi belum dimasukkan dalam pemodelan perubahan iklim,” katanya.

Hampir 200 tahun terakhir, kutub utara magnetik (KUM) Bumi bergeser 200 kilometer. Jika pada 1831 KUM terletak di Semenanjung Boothia, utara Kanada, satu dekade ke depan diperkirakan akan berada di Siberia, Rusia. Padahal, kutub utara dan selatan magnet Bumi adalah sumbu atau poros perputaran Bumi pada porosnya, bukan di kutub geografis.

Pergeseran itu mengubah posisi Bumi terhadap Matahari sehingga panjang musim di sebagian besar permukaan Bumi akan berubah hingga turut memicu perubahan iklim.

Selain itu, besaran medan magnet di setiap titik di muka Bumi berbeda. Karena itu, data medan magnet sebenarnya di Indonesia tidak bisa digunakan berdasarkan data di tempat lain. Kondisi itu membuat GMT kali ini punya nilai kebaruan dalam ranah penelitian geomagnet.

Sementara itu, peneliti geomagnet Pusat Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Mamat Ruhimat, mengatakan, saat gerhana, ketika sinar Matahari terhalang Bulan, proses ionisasi di lapisan ionosfer Bumi akan menurun. Berkurangnya ionisasi membuat arus di ionosfer ikut berubah.

Ionosfer adalah atmosfer bagian atas yang berisi ion-ion positif dan elektron yang diperoleh dari proses ionisasi oleh sinar ultraviolet Matahari. Sehari-hari, saat pancaran radiasi Matahari maksimum, terbentuk empat lapisan ionosfer. Lapisan itu, dari yang paling tinggi ke paling rendah, adalah F2, F1, E, dan D. Gangguan arus biasanya terjadi pada lapisan E di ketinggian 90-140 kilometer.

Karena tertutup Bulan, sinar ultraviolet tak menjangkau atmosfer Bumi sehingga proses ionisasi tak terjadi. Perubahan arus itu bisa memengaruhi variasi harian geomagnet Bumi. ”Seberapa besar perubahan geomagnet itu akan diteliti Lapan di Ternate,” katanya. Penelitian dilakukan bersama BMKG serta tim Universitas Kyushu dan Universitas Nagoya, Jepang.

Elvis V Onovughe dalam ”Geomagnetic Diurnal Variation During the Total Solar Eclipse of 29 March 2006” di International Journal of Astronomy, 2013, menyebut perubahan arus di ionosfer selama Gerhana Matahari dipicu faktor lain, seperti tingkat aktivitas Matahari, tingkat gangguan geomagnetik, kondisi geofisika, dan waktu terjadinya gerhana. (MZW)
sumber : http://sains.kompas.com/read/2016/03/02/18471701/Gerhana.Matahari.Total.Medan.Magnet.Bumi.Pun.Terganggu