Cuplikan Teks bagian 1 dari novel Rumah Tanpa Jendela yang ditulis oleh Asma Nadia.
Gadis Kecil dan Doanya
Sepasang mata milik seorang gadis cilik tampak khusyuk mengamati sekeliling ruangan putih bersih itu. Berpindah-pindah dari monitor dengan angka-angka yang tidak dia mengerti, yang selalu mengeluarkan bunyi teratur itu, ke selang-selang panjang dengan cairan bening yang mengalir dan bermuara ke pergelangan tangan satu sosok yang terbaring di ranjang. Seseorang yang begitu dicintainya.
Kerabat satu-satunya....
Allah... jangan biarkan dia meninggal.
Matanya berkaca. Butiran air yang ingin tumpah ditahannya sekuat tenaga. Gadis kecil dengan bola mata bulat itu menggigit bibir keras-keras. Berharap dengan begitu genangan air yang siap menderas akan berhenti.
Gadis Kecil dan Doanya
Sepasang mata milik seorang gadis cilik tampak khusyuk mengamati sekeliling ruangan putih bersih itu. Berpindah-pindah dari monitor dengan angka-angka yang tidak dia mengerti, yang selalu mengeluarkan bunyi teratur itu, ke selang-selang panjang dengan cairan bening yang mengalir dan bermuara ke pergelangan tangan satu sosok yang terbaring di ranjang. Seseorang yang begitu dicintainya.
Kerabat satu-satunya....
Allah... jangan biarkan dia meninggal.
Matanya berkaca. Butiran air yang ingin tumpah ditahannya sekuat tenaga. Gadis kecil dengan bola mata bulat itu menggigit bibir keras-keras. Berharap dengan begitu genangan air yang siap menderas akan berhenti.
Dia harus kuat, percuma menangis. Dia harus kuat. lebih baik berdoa. Ibunya dulu sering mengulang-ulang kalimat itu.
“Berdoa, Ra... mengaji. Minta sama Allah.”
“Apa Allah selalu mengabulkan doa?”
Dia ingat perempuan yang melahirkannya tersenyum saat mendengar pertanyaan itu.
“Allah mendengar doa, Ra. Allah nggak pernah menyia-nyiakan doa yang meminta.”
Rara tidak puas, mengejar lagi.
“Tapi, apa pasti dikabulkan, Bu? Rara ingin punya jendela...”
kalimat itu menggantung sejenak sebelum bersuara pelan, “Rara juga ingin Ibu sembuh.”
Perempuan dengan wajah teduh itu menggenggam tangan anak satu-satunya, sebelum berbisik, “Allah pasti mengabulkan setiap doa, Ra. Tapi kadang ada doa-doa lebih penting yang harus didahulukan.”
Tapi Rara ingin Ibu sembuh.... Rara ingin waktu bisa berulang dan peristiwa yang menyebabkan ibunya sakit tidak perlu terjadi.
Seperti membaca pikiran Rara, Ibu mulai mengusap-usap rambut anak semata wayangnya itu.
“Rara bacakan ayat Quran untuk memohon kesembuhan, ya?
Masih ingat?”
Jemari ibu yang bergetar susah payah membuka halaman Alquran yang dibawakan Rara ke pembaringan.
Dan di halaman itu, telunjuk Ibu berhenti. Alquran surat Al Anbiya, ayat 83—84.
Malam hening. Hanya suara jernih Rara yang patah-patah mengaji.
Dan sekarang, ayat yang sama ingin dibacakannya bagi sosok terkasih yang sudah hampir seminggu tak menyapanya lagi.
Jangan mengangis, Ra. Berdoa....
Suara Ibu, entah siapa yang membawanya mampir ke telinga.
Rara menggigit bibirnya lagi. Air mata ini sulit sekali diaturnya.
(Asma Nadi
“Berdoa, Ra... mengaji. Minta sama Allah.”
“Apa Allah selalu mengabulkan doa?”
Dia ingat perempuan yang melahirkannya tersenyum saat mendengar pertanyaan itu.
“Allah mendengar doa, Ra. Allah nggak pernah menyia-nyiakan doa yang meminta.”
Rara tidak puas, mengejar lagi.
“Tapi, apa pasti dikabulkan, Bu? Rara ingin punya jendela...”
kalimat itu menggantung sejenak sebelum bersuara pelan, “Rara juga ingin Ibu sembuh.”
Perempuan dengan wajah teduh itu menggenggam tangan anak satu-satunya, sebelum berbisik, “Allah pasti mengabulkan setiap doa, Ra. Tapi kadang ada doa-doa lebih penting yang harus didahulukan.”
Tapi Rara ingin Ibu sembuh.... Rara ingin waktu bisa berulang dan peristiwa yang menyebabkan ibunya sakit tidak perlu terjadi.
Seperti membaca pikiran Rara, Ibu mulai mengusap-usap rambut anak semata wayangnya itu.
“Rara bacakan ayat Quran untuk memohon kesembuhan, ya?
Masih ingat?”
Jemari ibu yang bergetar susah payah membuka halaman Alquran yang dibawakan Rara ke pembaringan.
Dan di halaman itu, telunjuk Ibu berhenti. Alquran surat Al Anbiya, ayat 83—84.
Malam hening. Hanya suara jernih Rara yang patah-patah mengaji.
Dan sekarang, ayat yang sama ingin dibacakannya bagi sosok terkasih yang sudah hampir seminggu tak menyapanya lagi.
Jangan mengangis, Ra. Berdoa....
Suara Ibu, entah siapa yang membawanya mampir ke telinga.
Rara menggigit bibirnya lagi. Air mata ini sulit sekali diaturnya.
(Asma Nadi
Tapi Rara ingin Ibu sembuh.... Rara ingin waktu bisa berulang dan peristiwa yang menyebabkan ibunya sakit tidak perlu terjadi.
Seperti membaca pikiran Rara, Ibu mulai mengusap-usap rambut anak semata wayangnya itu.
“Rara bacakan ayat Quran untuk memohon kesembuhan, ya?
Masih ingat?”
Jemari ibu yang bergetar susah payah membuka halaman Alquran yang dibawakan Rara ke pembaringan.
Dan di halaman itu, telunjuk Ibu berhenti. Alquran surat Al Anbiya, ayat 83—84.
Malam hening. Hanya suara jernih Rara yang patah-patah mengaji.
Dan sekarang, ayat yang sama ingin dibacakannya bagi sosok terkasih yang sudah hampir seminggu tak menyapanya lagi.
Jangan mengangis, Ra. Berdoa....
Suara Ibu, entah siapa yang membawanya mampir ke telinga.
Rara menggigit bibirnya lagi. Air mata ini sulit sekali diaturnya.
(Asma Nadia, Rumah Tanpa Jendela, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Januari 2011, halaman 1-3) Buku B INDONESIA k13
Seperti membaca pikiran Rara, Ibu mulai mengusap-usap rambut anak semata wayangnya itu.
“Rara bacakan ayat Quran untuk memohon kesembuhan, ya?
Masih ingat?”
Jemari ibu yang bergetar susah payah membuka halaman Alquran yang dibawakan Rara ke pembaringan.
Dan di halaman itu, telunjuk Ibu berhenti. Alquran surat Al Anbiya, ayat 83—84.
Malam hening. Hanya suara jernih Rara yang patah-patah mengaji.
Dan sekarang, ayat yang sama ingin dibacakannya bagi sosok terkasih yang sudah hampir seminggu tak menyapanya lagi.
Jangan mengangis, Ra. Berdoa....
Suara Ibu, entah siapa yang membawanya mampir ke telinga.
Rara menggigit bibirnya lagi. Air mata ini sulit sekali diaturnya.
(Asma Nadia, Rumah Tanpa Jendela, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Januari 2011, halaman 1-3) Buku B INDONESIA k13