pantun lama dan modern

Pada pantun lama, sampiran dan isi memiliki hubungan yang sangat erat. Pantun berikut ini, misalnya, memperlihatkan hal itu.

Jika ada sumur di ladang,
bolehlah kita menumpang mandi.
Jika ada umur yang panjang,
bolehlah kita berjumpa lagi.

Hubungan antara sampiran dan isi pada pantun tersebut tidak hanya pada kesamaan rima: ng/i/ng/i, tetapi juga terletak pada kandungan maknanya. Kemungkinan seseorang dapat menumpang mandi (baris kedua) dan dapat berjumpa lagi (baris keempat) ditentukan oleh dua hal yang memiliki kadar ketermungkinannya sama:

keberadaan sumur di ladang (baris pertama) dan keberadan umur yang panjang (baris ketiga). Padahal, semua orang tahu bahwa tidak semua ladang memiliki sumur dan tidak semua orang memiliki umur (yang panjang). Keberadaan sumur di ladang yang memungkinkan orang dapat menumpang mandi (sampiran), dengan demikian, sangat berkorelasi dengan keberadaan umur panjang yang memungkinkan orang dapat berjumpa lagi (isi). Dengan kata lain, jika tidak ada sumur di ladang dan tidak ada umur yang panjang, harapan (orang) untuk dapat menumpang mandi dan dapat berjumpa lagi itu pun akan sirna.

Dalam perkembangannya (terutama pada pantun modern), hubungan antara sampiran dan isi pantun tidaklah erat, bahkan tidak memiliki hubungan secara subtansi.
Oleh karena itu, meskipun secara subtansi tidak berhubungan, sampiran pantun berikut ini tetap dapat membayangkan isinya.

Air dalam bertambah dalam,
hujan di hulu belum lagi teduh.
Hari kelam bertambah kelam,
sakit di dada belum lagi sembuh.

Berbeda halnya dengan pantun berikut ini.
Anak Pak Dolah makan lepat,
makan lepat sambil melompat.
Nak hantar kad raya dah tak sempat,
pakai sms pun ok wat?

Dalam pantun itu, sampiran (Anak Pak Dolah makan lepat/makan lepat sambil melompat) benar-benar hanya berfungsi sebagai penyedia rima/sajak dan irama untuk isi (nak hantar kad raya dah tak sempat/pakai sms pun ok wat?). Kesan mempermudah pemahaman isi sama sekali tidak tampak karena pilihan katanya terlalu liar, tidak menyarankan sesuatu. Dengan kata lain, pada kebanyakan pantun modern, sampiran dibuat secara asal-asalan (hanya sebagai pelengkap) dan tidak lagi merupakan pembayang isi yang mencerminkan kearifan dan kepiawaian seseorang dalam memahami perilaku alam/suasana sekitar (sebagai latar) yang dijalin dengan penuh logika, wawasan, kewajaran, keindahan, dan perpaduan yang masuk akal (Ensiklopedia Sastra Riau, 2011).

Sumber :  Buku Bahasa Indonesia k13 kelas xi