Masih Ingat Metode Ngaji Al-Baghdadiyah? sebelum Iqra'

 Bagi Anda yang lahir antara tahun 80-90 an, masih ingat dengan metode belajar membaca Alquran yang paling umum dipakai guru ngaji Anda? “Alif fathah A, Alif kasrah I, alif Dhummah U, A I U,” begitu salah satu contoh membacanya. Ya! Metode Baghdadiyah atau Turutan. Ada juga yang menyebutnya dengan Alip-alipan karena diawali dengan menghapal huruf-huruf Hijaiyyah.
Anak TPQ (Taman Pendidikan al-Qur’an) zaman sekarang mungkin sudah tidak kenal dengan metode tersebut. Mereka lebih akrab dengan Iqra’, Qiraati, atau yang lain. Selain karena lebih cepat, praktis dan segera terlihat hasilnya, metode-metode selain Baghdadiyyah merupakan solusi percepatan belajar. Menurut pengalaman, anak-anak sekarang kalau sudah lulus SD tidak mau belajar membaca Alquran di TPQ atau musala lagi.



Melihat namanya, metode ini jelas berasal dari Baghdad, Irak. Banyak sumber mengatakan, metode ini ada mulai zaman Daulah Abbasiyah, namun siapa yang menyusun metode ini belum ada sumber yang valid. Meskipun sudah sangat jarang ustad atau guru ngaji yang memakai metode Baghdadiyah, tetapi sebagai metode tertua yang pernah ada, metode ini memiliki keunggulan tersendiri. Ini lima di antaranya:

1. Pola Bacaan yang Unik
Susunan materi belajar dalam buku Baghdadiyyah punya keunikan. Dimulai dari pengenalan huruf Hijaiyyah tanpa harakat. Kemudian mengenal harakat fathah, kasrah dan dhammah sekaligus. Disusul dengan pengenalan harakat tanwin.
Runtutan bab atau pembahasan dalam Bagdadiyyah tampaknya tetap menjadi acuan bagi berbagai metode membaca Alquran modern. Pengenalan huruf mad dan layyin (wawu atau ya’ sukun yang terletak setelah fathah) menyuguhkan satu bab khusus yang sering dinyanykan santri. Bab anakum julukannya. Kurang lebih bacaannya begini, Anakum ainakum iinakum aunakum uunakum. Bagian ini termasuk paling disenangi para santri Baghdadiyah.

2. Penekanan Keterampilan Mengeja
Metode Baghdadiyah juga terkenal dengan ciri khas mengejanya. Setiap huruf berharakat harus dieja baru dibaca perkata. Latihan mengeja inilah yang membuat pengajaran menggunakan metode ini menjadi sangat lambat. Cara mengeja per huruf dan harakat, kemudian menggabungkan hasil ejaan menjadi bacaan perkata memiliki tingkat kesulitan yang lumayan.
Dengan penekanan keterampilan mengeja ini, tidak banyak santri yang bisa setiap hari menyelesaikan perbagian dalam tahap-tahap modul. Satu bagian bisa 2 sampai tiga kali pertemuan.

3. Pengenalan Hitungan Arab
Dalam metode Baghdadiyah ada pengenalan huruf hitung yang beda dari angka pada umumnya. Hitungan tersebut disebut Hisab Abajadun. Hisab Abajadun merupakan hitungan arab yang sering dipakai untuk isyarat hitungan, tahun, atau bilangan tertentu. Fenomena penggunaan kode huruf untuk menyatakan tahun banyak tersebar dalam kitab-kitab berbentuk syair seperti Aqidatul Awwam dan sejenisnya.

Hitungan Abajadun dalam kitab turutan jarang diketahui atau dikenalkan oleh guru ngaji. Hal itu karena memang pengajaran berfokus pada belajar membaca. Terlebih huruf-huruf hitungan itu seperti disamarkan dibalik bacaan bab Abuu tausii jaiha. Ini merupakan bagian penutup dari bagian-bagian metode Baghdadiyah. Bacaannya lumayan menguji. Nah, di bawah tiap kata dalam bagian ini, ditulislah angka-angka nilai huruf tersebut dalam hitungan Abajadun.


4. Santri Hapal Huruf Hijaiyyah
Belajar membaca dengan metode Baghdadiyah selalu diawali dengan pengenalan huruf-huruf Hijaiyyah. Santri yang belum hapal ke 30 huruf hijaiyyah belum akan berpindah ke bagian huruf berharakat. Huruf hijaiyyah jumlahnya 30, dengan dilengkapi huruf hamzah dan lam alif.

5. Penguatan Dasar Tajwid
Metode Baghdadiyyah selain menekankan santri agar baik makhraj hurufnya juga mengenalkan tajwid. Mulai dari bacaan mad, ghunnah dan lainnya. Begitu santri menyelesaikan turutan biasanya dilanjutkan ke bagian juz ‘amma sambil diteliti bacaan dan tajwidnya. Semakin terawasi.



sumber : http://www.datdut.com/metode-baghdadiyah/ http://www.muslimedianews.com/2015/05/masih-ingat-metode-ngaji-al-baghdadiyah.html